• Wednesday, 23 May 2018
  • Reza Wattimena
  • 0

Zen itu memang “telanjang”. Sebagai salah satu aliran dari ajaran Buddha, Zen memang sangat unik. Ia “telanjang” (bebas) dari berbagai kata, konsep, ritual, dan aturan, yang banyak sekali ditemukan, tidak hanya di aliran lain dalam ajaran Buddha, tetapi juga di dalam agama dan tradisi yang lain. Zen adalah pengalaman langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya, sebelum segala konsep, kata, aturan, dan ritual tercipta.

Pengalaman Zen menunjuk langsung ke inti pikiran kita sebagai manusia. Inti pikiran ini sejatinya kosong. Ia seperti ruang hampa luas yang bisa menampung segalanya, tanpa kecuali. Penderitaan pun bisa ditampung, tanpa halangan.

Ini juga sejalan dengan temuan terbaru di bidang astrofisika. Sembilan puluh lima persen dari seluruh tata alam semesta yang ada, termasuk di dalamnya jutaan bintang, ribuan galaksi, dan jutaan planet, adalah ruang kosong (empty space). Dari ruang kosong inilah lahir segala yang ada. Pada satu ketika, semuanya pun akan kembali ke ruang kosong tersebut.

Dengan menunjuk ke inti pikiran kita sebagai manusia, Zen juga mengajak kita semua untuk memahami jati diri kita yang asli (true self). Jati diri asli ini terletak sebelum segala identitas sosial yang diberikan oleh keluarga ataupun masyarakat kita. Ia adalah kesadaran murni (pure awareness) yang terletak di balik segala pikiran dan emosi yang muncul. Jika kita paham dan mengalami langsung jati diri asli ini, maka kita akan bebas dari kelekatan terhadap pikiran dan emosi yang muncul. Pendek kata, kita terbebas dari penderitaan hidup.

Sebagai pengalaman, hubungan antara guru dan murid Zen ditandai dengan transmisi antar pikiran. Ini seperti dua sahabat yang sudah saling mengerti satu sama lain, walaupun tidak ada kata dan konsep yang disampaikan. Komunikasi tertinggi memang dilakukan dalam hening. Justru, kata dan konsep yang terlalu banyak akan menciptakan salah paham.

Baca juga: Zen Klasik yang Modern

Zen itu telanjang, karena ia telanjang dari segala kelekatan. Kelekatan terhadap barang materi, pikiran, dan emosi adalah sumber dari penderitaan. Ketika itu semua dilepas, orang akan langsung merasakan kebebasan. Bahkan, Zen itu sendiri harus dilepas, supaya orang sungguh bisa mengalami jati diri sejatinya yang berada sebelum segala bentuk konsep dan pikiran.

Setelah itu, pertanyaan yang mesti kita ajukan adalah, “Apa yang bisa saya lakukan, guna membuat lingkunganku menjadi lebih baik?” Dengan pertanyaan ini, kelekatan terhadap kekosongan pun dilepas. Orang kembali ke masyarakat untuk berkarya demi kebaikan bersama. Ia membawa kejernihan sekaligus bebas dari semua kelekatan di dalam karyanya.

Ia pun bisa menggunakan konsep, kata, pikiran, emosi, dan barang-barang materi di dalam karyanya dengan jernih dan bebas. Ritual dan aturan pun digunakan seperlunya untuk menolong semua makhluk. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Jadi, apalagi yang kita tunggu?

Reza A.A Wattimena

Pelaku Zen, tinggal di Jakarta

 

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *