Pandemi COVID-19 yang masih berlangsung di Indonesia hingga saat ini membuat saya belum bisa merayakan Waisak di wihara terdekat. Apalagi sekarang masih di tanah perantauan dan belum bisa pulang ke kampung halaman. Tapi, inilah waktu yang berharga untuk saya merenung dan menilik lebih jauh ke dalam diri saya sebagai umat Buddha.
Sebelum-sebelumnya saya tidak terlalu suka untuk sembahyang dan bisa dikatakan sembahyang kalau ada perayaan hari besar saja, seperti Asadha, Magha Puja, Waisak, dan Kathina. Setelah saya renungi lagi, apa gunanya saya hidup tapi saya tidak pernah memberi hormat pada Guru Agung Buddha Gotama. Bukan rasa menyesal yang saya rasakan, lebih ke “rasa bersalah” pada sendiri. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mencari tahu puja bakti online untuk perayaan Waisak 2565 Tahun Buddhis ini. Yes, akhirnya ketemu!
Pada Rabu, 26 Mei lalu saya mengikuti pembacaan paritta pemberkahan secara online via youtube Sangha Theravada Indonesia. Saya teringat pesan Dhamma yang disampaikan Bhikkhu Jotidhammo tentang empat hal yang menyebabkan kebahagiaan kebersamaan dalam persaudaraan atau biasa disebut sebagai sanghavatthu, yakni dana, piyavaca, atthacariya, dan upasamo.
Empat sebab kebahagiaan bersama
Dengan berdana kita bisa membiasakan sifat baik demi persaudaraan. Dana tidak hanya ditujukan untuk satu pihak yang kita senangi saja, tapi juga untuk banyak pihak yang patut menerimanya tanpa pilih kasih.
Berdana itu tidak melulu materi saja, tapi bisa berupa waktu, kesempatan, dan tenaga. Misal kita memberikan kesempatan untuk orang lain mengungkapkan idenya dalam suatu pertemuan ataupun kita bisa membantu tetangga yang sedang pindahan rumah. Terlihat sederhana memang, tapi dengan berbagi hidup akan menjadi lebih indah karena kita tidak hanya memikirkan diri sendiri.
Piyavaca, adalah ucapan yang menyenangkan bisa menimbulkan kebahagiaan dalam kebersamaan seperti kata-kata yang menghargai dan menghormati. Namun, sebaliknya ucapan yang tidak baik seperti suka berbohong, mencela, dan menghina orang lain bisa menimbulkan perpecahan.
Sederhana memang kalau kita memanggil salah satu teman dengan sebutan “eh, si kurus, makan yang banyak dong biar nggak kayak tengkorak jalan. Btw maaf ya, bercanda doang kok!” Meski sudah pakai kata maaf karena bercanda, tapi sama saja, perkataan kita itu seperti paku yang ditancapkan pada balok kayu kemudian dilepas dan masih ada bekas yang tidak akan pernah pulih. Toh balok kayunya ditambal pun masih meninggalkan luka. Jadi, berhati-hatilah dengan lidah kita. Jangan sampai melukai hati orang lain.
Atthacariya, yakni melakukan hal yang bermanfaat untuk kepentingan bersama. Sifat egois bisa menyebabkan kita tidak punya teman, misalnya kita lebih suka membuang sampah di pekarangan tetangga padahal di depan rumah sudah ada tempat sampah, yang ada malah permusuhan dengan tetangga yang terjadi.
Berbeda kalau kita suka membantu tetangga membuang sampah, maka kerukunan akan lebih terjaga. Sebenarnya ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan secara bersama-sama untuk meningkatkan persaudaraan, seperti menanam pohon yang nanti manfaatnya tidak hanya untuk kita sebagai manusia, tapi juga untuk kelestarian alam — udara sejuk, lingkungan menjadi asri, dan membantu pasokan sumber air.
Kalau kita hidup di lingkungan perdesaan, kita bisa juga melakukan ronda malam untuk menjaga keamanan desa. Selain itu, kita juga bisa berdialog untuk menyelesaikan masalah agar tidak terjadi kesalahpahaman. Menanam pohon dan meronda terlihat sederhana, tapi tindakan itu akan membawa makna untuk kehidupan bersaudara.
Upasamo, yakni praktik sifat tidak sombong. Sifat sombong membuat kita terlihat gagah di awal bermain peran, tapi setelah itu kita menjadi bukan siapa-siapa lagi. Kita bisa saja memamerkan harta benda yang dimiliki, kita bisa saja merasa angkuh karena bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, bahkan kita bisa merasa angkuh karena memiliki tubuh yang ideal.
Tapi, masalahnya adalah, apakah harta benda kita akan kekal? Apakah pekerjaan kita sudah diteliti dengan baik? Apakah standar tubuh ideal itu menjamin kebahagiaan? Jawabannya, semua itu tidak berlaku.
Kesombongan dalam berbagai hal hanya akan membuat kita dijauhi orang lain. Untuk itu kita harus memiliki kerendahan hati. Kita tidak perlu pamer harta, tapi sering-seringlah berdana untuk membantu sesama. Kita tidak perlu bekerja cepat bila tidak tepat dan cermat. Kita pun tidak perlu pamer tubuh ideal karena ia akan lapuk pada waktunya.
Jadi…
Pesan Dhamma dari Bhikkhu Jotidhammo membuat saya semakin merenung, apakah saya sudah menjaga ucapan? Jangan-jangan saya pernah menyakiti hati orang lain dengan ucapan yang tidak benar.
Apakah saya sudah membantu orang lain saat mereka dalam kesulitan? Jangan-jangan saya hanya diam saja melihat seorang nenek kesulitan menyeberang jalan raya.
Apakah saya masih memiliki kesombongan? Hmm, jangan-jangan selama ini saya masih angkuh terhadap teman-teman.
Saya akan mencoba memperbaiki diri agar bisa menjadi orang yang bisa menciptakan kebahagiaan bersama. Tapi, apakah sudah cukup kalau saya hanya mengembangkan empat sebab kebahagiaan bersama tanpa dasar apa pun?
Bhikkhu Jotidhammo juga menuturkan resep untuk mewujudkan kebahagiaan dalam kebersamaan apabila kita memiliki cinta kasih, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Berdana harus penuh cinta kasih dan kebijaksanaan, jangan sampai membuat diri sendiri kesusahan, maka berdanalah semampu kita. Bila mau menyelesaikan masalah maka harus bijaksana juga, agar tidak merugikan pihak manapun dan masalah cepat selesai.
Selamat Waisak 2565 Tahun Buddhis, semoga kita semua bisa mempraktikkan sebab-sebab kebahagiaan dalam persaudaraan agar Indonesia tetap kokoh bersatu.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara