• Monday, 24 June 2013
  • Sutar Soemitro
  • 0

Dharmatalk pada hari Minggu, 23 Juni 2013 dalam Buddhist Festival 2013 di SSCC Supermal Pakuwon Indah Surabaya membahas tema “The Three Yanas: The Culture and Tradition Within Buddhist Path”.

Hadir tiga pembicara dari tiga aliran agama Buddha, yaitu Ajahn Sujato (Theravada), Bhiksu Bhadra Pala (Mahayana), dan Bhiksu Bhadra Ruci (Vajrayana). Mereka ditemani oleh Heru Suherman Lim sebagai moderator dan Johan Kurnia sebagai penerjemah.

Ajahn Sujato adalah bhikkhu kelahiran Perth, Australia, yang merupakan murid Ajahn Brahm dan sekarang menjadi sekretaris Ajahn Brahm di Bodhinyana Monastery, Australia.

Ajahn Sujato yang dulunya seorang pemusik profesional, mengaku perkenalannya dengan Buddhisme terjadi secara tidak sengaja. Ketika itu ia sedang berwisata ke Thailand. Seperti kebanyakan turis, ia juga terpesona oleh banyaknya vihara di negara tersebut. Kemudian temannya menyarankannya mencoba ikut retret selama 26 hari. Melihat biayanya yang sangat terjangkau, tidak sulit baginya untuk memutuskan ikut serta, walaupun tidak tahu apa tujuannya.

Setelah seminggu ikut retret meditasi, pada suatu malam ketika sedang minum teh, ia mendapatkan suatu pengalaman yang begitu berkesan. “Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa begitu damai, tenang, dan bahagia. Saya bisa melihat segala sesuatu dengan sangat jelas,” kenang Ajahn Sujato.

“Perkenalan saya dengan Buddhisme bukan melalui ajaran, teori Dhamma, atau tradisi budaya, melainkan melalui pengalaman meditasi, ‘Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha’,” kata Ajahn Sujato.

Usai retret ia merasa bimbang apakah akan meneruskan lebih jauh pengalaman spiritualnya mempelajari agama Buddha atau kembali ke kehidupan biasa. Selama retret hanya diajarkan tentang meditasi, tak diajarkan tentang Buddhisme sama sekali. Kemudian ia membaca salah satu bagian kitab suci Tipitaka, Majjhima Nikaya. Ia merasa sangat nyaman karena penjelasannya sangat masuk akal, mirip seperti pengalaman meditasinya.

Menurutnya, ketika ia ditahbis menjadi bhikkhu di Thailand, ia belum mengetahui ada banyak tradisi dalam agama Buddha. Ia baru menyadari hal itu ketika suatu ketika ia pergi ke Malaysia.

Baginya, walaupun agama Buddha memiliki banyak tradisi, namun semuanya memiliki kesamaan, yaitu tujuan belajar agama Buddha adalah untuk memutus penderitaan. “Belajar berbagai tradisi ujungnya adalah mengakhiri kemelekatan dan untuk membebaskan diri dari penderitaan,” jelas Ajahn Sujato.

Kemudian ia memberi contoh adanya para selebritis dan figur publik yang merasa mendapatkan manfaat dari Buddhisme, seperti dipamerkan dalam Buddhist Festival kali ini. Ia menerangkan, “Mereka mungkin tidak secara resmi masuk agama Buddha, tapi agama Buddha banyak memberi manfaat bagi mereka.”

Ia juga memberi contoh perusahaan raksasa dunia seperti Google juga menjalankan ajaran Buddha, yaitu dengan memiliki ruang khusus meditasi dan program meditasi berjalan bagi karyawannya. “Mereka bukan Buddhis, tapi mempraktekkan cara Buddhis untuk mengembangkan welas asih dan agar bahagia. Tidak penting labelnya. Mereka praktekkan, mereka bahagia,” Ajahn Sujato menekankan.

Sementara itu Bhiksu Bhadra Pala, kepala Mudita Center Jakarta, yang lebih akrab dipanggil Suhu Xian Bing bercerita tentang pengalamannya sewaktu menuntut ilmu di Srilanka bersama dengan anggota Sangha dari berbagai tradisi. “Keadaannya sangat harmonis sekali. Bisa diskusi bareng, kerjasama bareng. Tapi begitu saya balik ke Indonesia, esktrimnya (sektarian –red) luar biasa,” tutur Suhu Xian Bing.

Berdasarkan pengamatannya, umat Buddha sebenarnya tidak peduli kebaktian di vihara tradisi apa pun, karena yang dicarinya adalah kebahagiaan.

“Anda boleh memilih apa pun untuk practice, tapi keterbukaan pikiran harus diutamakan,” pesan Suhu Xian Bing.

Sementara Bhiksu Bhadra Ruci yang menjadi pembicara terakhir, berkali-kali mengundang tawa hadirin dengan gaya bicaranya yang ceplas ceplos dan terkadang meledak-ledak. Kepala Kadam Choeling Bandung ini menyoroti isu sektarian dari sudut pandang sejarah. “Isu Tri Yana adanya hanya di Indonesia, di luar negeri tidak ada!” ujarnya tegas.

Menurutnya, agama Buddha di luar negeri, terutama di Eropa justru lebih harmonis. Ia merasa miris melihat umat Buddha di Indonesia justru saling berselisih dengan sesama umat Buddha karena perbedaan tradisi tersebut, “Ribut ga karuan. Apa sih yang diributin?”

Baginya, apakah seseorang Mahayana atau Hinayana, bukan tergantung jubahnya, melainkan tergantung aspirasinya. Karena bukan tidak mungkin jika ada orang yang berjubah Theravada, tapi ternyata memikirkan kebahagiaan orang banyak. Itu artinya ia memiliki jiwa Bodhisattva –ajaran Mahayana.

Sebaliknya, orang yang mengaku dirinya Mahayana yang belajar tentang Bodhicitta, pasti harus juga mengerti tentang duka dan sebab duka yang merupakan inti dasar ajaran Theravada.

“Kita mau tahu kita Vajrayana, Mahayana atau Hinayana, kita harus belajar. Itu adalah tingkat pemahaman, kapasitas seseorang,” jelas Bhiksu Bhadra Ruci.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *