• Saturday, 30 September 2023
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Dok. Panitia

Bhikkhu senior asal Australia, Bhante Shravasti Dhammika melakukan kunjungan ke Indonesia untuk membabarkan Dhamma. Salah satu lokasi yang beliau kunjungi adalah acara Dhammatalk di Vihara Buddhayana Dharmawira Centre (BDC) Surabaya Jl. Raya Panjang Jiwo Permai No.44, Tenggilis Mejoyo Kota Surabaya, Rabu (6/9/2023) malam pukul 19.30 WIB.

Acara bertema “Jejak Langkah di Hamparan Debu” diikuti sekitar 100 umat Buddha Surabaya dan juga disiarkan secara live streaming melalui YouTube. Umat yang datang hadir dalam acara berasal dari  kalangan muda-mudi, mahasiswa luar kota maupun luar pulau hingga orang tua sementara sebagian lainnya mengikuti secara online.

“Kebetulan Bhante Dhammika sedang berkunjung ke Indonesia maka tercetuslah Dhamma talk ini untuk menambah wawasan dari umat Buddha masa kini mengenai sisi manusiawi sang Buddha yang sesuai dengan Sutta dan Vinaya, sehingga para umat mampu memahami kisah dari kehidupan Sang Buddha dan bisa menerapkan sifat-sifat luhur tersebut dalam diri masing-masing,” ungkap Sukina, panitia acara.

Melalui penerjemah Hendra Lim, Bhante Shravasti Dhammika membabarkan kehidupan Buddha berdasarkan narasi dalam Sutta dan Vinaya tanpa tambahan. Mengungkapkan kisah-kisah penting dari kehidupan Buddha, serta menyoroti pendekatan humanis Bhante Dhammika dalam memahami interaksi Buddha dengan orang lain.

Dengan detail dan mendalam, Bhante Dhammika mengungkap bagaimana Buddha menjawab pertanyaan, berhubungan, dan mengajar berbagai individu. Ini menunjukkan sisi manusiawi Buddha yang penuh belas kasih dan kebaikan, memberikan wawasan modern tentang kehidupan Guru besar ini berdasarkan sumber-sumber awal.

Jejak Langkah di Hamparan Debu

Mengawali ceramah, bhante memaparkan bahwa beliau mengenal ajaran Buddha di usia 18-19 tahun. Sejak itu beliau tertarik kepada Dhamma dan juga kepada Buddha, siapa Buddha sebenarnya, siapa sesungguhnya Buddha yang telah mengajarkan Dhamma.

“Saya tertarik untuk mendalami siapa Buddha, siapa Dia sesungguhnya. Dan saya membaca Tripitaka ada sakitar 50 volume/jilid. Setiap kali saya menemukan catatan yang berhubungan dengan kehidupan Buddha, untuk mengetahui Dia siapa, saya catat, buat catatan,” papar bhante.

Sumber yang bhante gunakan adalah Tripitaka yang berbasis Pali, bukan yang Mahayana, Sansekerta, atau Tibet. Bhante menjelaskan bukan berarti teks-teks tersebut selain Pali salah atau kliru, tetapi menurut bhante catatan Pali lebih dekat ke sumber awalnya. Dalam artian Tripitaka Pali waktunya lebih dekat dengan sumber awal dibandingkan dengan teks-teks yang lain. “Jadi sekali lagi, bukan berarti teks yang tidak digunakan atau selain Pali salah, bukan. Itu yang penting,” tegas bhante.

Bhante mengaku ketika mempelajari Tripitaka beliu menemukan ada dua pandangan berbeda tentag Buddha yaitu Buddha popular, yang banyak orang-orang tahu dan Buddha yang ada dalam catatan Tripitaka atau catatan-catatan awal. Dan dua jenis Buddha ini berbeda.

Buddha yang poluler dan kebanyakan orang tahu, bhante mengibaratkan seperti Superman tetapi tidak punya jubah sayap dan special underwear. “Untuk contoh kalau mau ke 7-eleven Buddha tidak jalan tatapi terbang, duduknya di lotus bukan di bangku. Tidak perlu nyalain lampu karena di kepalanya sudah ada cahaya. Itulah Buddha menurut legenda secara tradisi dan pendapat secara popular.”

Berbeda dengan Buddha sebagaimana yang telah digambarkan dalam catatan Pali awal. Ketika bhante mengumpulkan semua informasi dari Tripitaka, sangat menarik bagaimana bhante bisa melihat seperti apa Buddha sesungguhnya. Menurut bhante, Buddha sesungguhnya normal seperti orang biasa pada umumnya. “Pertama-tama Buddha adalah manusia. Secara fisik Buddha seperti kita, normal, tetapi secara filosofi, secara psikologis tentu beliau sangat mendalam.”

Banyak hal yang cukup mencengangkan dari apa yang bhante Dhammika paparkan. Seperti hal mengenai Ibu Pangeran Siddharta, Ratu Mahamaya yang dikisahkan pernah mimpi gajah putih sebelum mengandung bayi calon Buddha. Kisah itu menurut bhante ternyata tidak ada di Tripitaka.

“Kita juga belajar bahwa Ibu Buddha melahirkan dengan berdiri. Karena rasa penasaran, saya melakukan riset dan memang cara melahirkan di setiap budaya itu berbeda, ada yang berdiri, ada yang berbaring, kemudian ternyata ada juga yang duduk. Dan diceritakan bahwa Ratu Mahamaya itu berpegangan pada sebatang pohon. Dan dari cerita ini setengahnya bisa dikatakan benar, dan setengahnya masih berupa mitos. Karena digambarkan melahirkannya dari samping, itu yang dikatakan setengahnya benar dan setengahnya boleh dikatakan mitos.”

Hal lain adalah mengenai nama Siddharta. Bhante manyatakan itu benar, akan tetap nama tersebut tidak ditemukan di manapun di Tripitaka. Meskipun memang disebutkan dalam Tripitaka bahwa nama keluarganya adalah Gautama. “Jadi sekali lagi ada setengah yang tepat, setengahnya lagi kita harus pertanyakan kebenarannya.”

Lebih lanjut bhante menjelaskan arti kata Gautama, dimana Gau artinya sapi, Tama artinya terbaik. Gautama berarti sapi yang terbaik. Hal ini sesungguhnya ini menunjukan bahwa sapi atau hewan ternak pada masa itu memiliki peran yang penting. Umat Buddha juga mengenal nama ayahnya Suddhodana, yang dikenal sebagai Raja, tetapi sayangnya itu juga tidak tercatat di Tripitaka.

“Jadi, kata Raja, sekarang kita terjemahkan sebagai Raja yang diketahui orang banyak. Tapi dulu di masa kehidupan Buddha, Raja sebenarnya lebih pas sebagai pemimpin, sebenarnya Suddhodana adalah orang yang dipilih untuk memimpin dan ada masanya mungkin 10 tahun. Kalau dia memimpin dengan baik bisa dipertahankan, tapi kalau kurang baik bisa saja digantikan. Ratusan tahun kemudian bergeser maknanya menjadi Raja seperti yang kita ketahui.”

Nama gadis muda yang dinikahi Siddharta, Yasodhara. Nama tersebut menurut bhante juga tidak ditemukan juga di Tripitaka. Dalam Tripitaka disebutkan bahwa ada perkawinan, tapi tidak ada cerita perkawinannya. Begitu juga dengan kisah ayah Pangeran Siddharta yang khawatir kalau anaknya akan lebih tertarik pada bidang agama dan menjadi pertapa, lalu dibangunkan istana megah, yang intinya untuk menjauhkan anaknya dari memikirkan hal-hal keagamaan. Dikisahkan Pangeran Siddharta kemudian pergi ke Kota Kapilavastu bersama kawan-kawannya kemudian melihat empat perisitiwa, orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang pertapa. Bhante menyampaikan ini cerita yang menarik, sayangnya tidak ada di Tripitaka awal.

“Jadi begini, jangan salah paham. Saya tidak mengatakan itu tidak benar, saya mengatakan itu tidak ditemukan dalam catatan-catatan yang paling awal. Ada satu sutta dimana Buddha mangatakan bahwa dia memikirkan tentang usia tua (menjadi tua), kemudian sakit, kematian dan cara untuk keluar mengatasi masalah ini. Belakangan ada orang yang membaca sutta ini lalu mengubah dari usia tua menjadi orang tua, dari adanya penyakit menjadi orang sakit, dari kematian menjadi orang mati, lalu jalan untuk mengatasi itu semua menjadi pertapa.”

Pengubahan ini, bhante melanjutkan, menjadikan kisahnya lebih manusiawi. Selanjutnya terdapat kisah Pangeran Siddharta meninggalkan anak dan istri. Bhante menerangkan ada satu sutta yang menyatakan orang-orang itu menangis karena Siddharta akan pergi, atau orang-orang berusaha mencegahnya untuk pergi. “Jadi, bisa dibayangkan di situ ada satu skenario dimana Siddharta ini minta ijin kepada bapaknya, bapaknya kaget kemudian menyalahkan ibunya.”

“Dari kisah ini bisa kita lihat bahwa ada sesuatu benar-benar terjadi dan ada yang bentuknya legenda. Dan juga, ini ada di Tripitaka, bagaimana kita megetahui beliau berlatih sangat serius sebagai pertapa dengan makan sangat sedikit dan sebagainya, kemudian suatu hari beliau memutuskan bahwa cara ini tidak akan berhasil. Beliau pun kemudia berjalan, makan yang cukup, yang layak, tiba di sebuah tempat dan duduk di bawah pohon kemudian bertekad tidak akan bangkit sebelum mencapai sesuatu, mencapai penggugahan.”

Setelah memaparkan kisah-kisah yang tidak ada di Tripitaka, bhante melanjutkan penjelasan kisah-kisah yang terdapat di Tripitaka, salah satunya kisah Pengeran Siddharta duduk dengan anggun, tenang, kemudian ada banyak wajah seram menyerang beliau, berusaha mencegahnya mencapai penggugahan. Kisah ini ada di Tripitaka, ada di dalam sutta. Menurut bhante, di sutta tercatat bahwa Mara menyerang beliau bersama dengan pasukannya. Dan nama-nama pasukannya itu adalah keserakahan, kesombongan, suka gosip, dan berbagai jenis nama yang lain.

“Jadi, kisah ini kita lihat secara literal, secara tertulis, atau bisa secara metafora, secara perumpamaan. Secara literal, secara tertulis kita bisa pertanyakan kebenarannya, tetapi secara metafora kita bisa terima. Kalau anda bisa menggali sutta-sutta anda akan menemukan ada yang secara tertulis itu tidak tepat, tetapi secara metafora itu benar.”

Kembali pada kisah setelah melahirkan dari samping, bhante melanjutkan bahwa bayi Siddharta yang baru lahir berjalan di atas tujuh bunga Teratai. Cerita tersebut ada di Tripitaka, yang bhante memaknainya secara simbolis. Tujuh langkah karena dalam Tripitaka ada tujuh faktor untuk mencapai penggugahan. Lalu bunga teratai, simbol bahwa Siddharta berada di tempat yang kotor tetapi tidak tercemar. “Teratai di semua tradisi India bermakna pemurnian atau kesucian, semakin kotor tempatnya dia akan semakin bersih.”

“Kalau kita melihat ini hanya secara literal kita tidak akan menemkukan makna sesungguhnya yang ingin disampaikan. Makna peristiwa ini adalah bahwa anak ini akan menjalankan, mempraktikkan tujuh faktor untuk mencapai penggugahan kemudian akan merealisasi penggugahan itu sendiri,” lanjut bhante.

“Jadi, semakin saya mempelajari, semakin saya mendalami, semakin saya baca, ada banyak hal yang dulu diajarkan, diberitahukan kepada saya, itu ternyata tidak ada. Tetapi juga ada banyak hal yang diberitahu dan diajarkan kepada saya ternyata ada.”

Menegaskan hal ini, bhante mengatakan bahwa ada satu sutta yang menarik yaitu Kalama Sutta. Inti dari sutta tersebut sebenarnya adalah Buddha mengundang para pengikutnya untuk mempertanyakan, apakah ini benar, apakah ini tepat. Bhante menilai ini adalah satu sikap yang perlu dimiliki oleh umat Buddha. Jadi, alih-alih umat hanya menerima, hendaknya bertanya, ini benar apa tidak. Sikap demikian, bhante melihat agak kurang dalam masyarakat Buddha.

Sikap kritis ini pula yang mendorong bhante membaca dan mempelajari Buddha Dhamma selama 40 tahun dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Dari proses ini bhante mengaku belajar banyak yang dulu tidak diketahuinya.

“Jadi kalau kita lihat Buddha secara populer, yang sebagaimana digambarkan dalam cerita dan legenda, dia seorang laiki-laki yang jatuh cinta, perang melawan mara di bawah pohon Bodhi. Itu adalah sebuah bentuk karakterisasi, sedangkan kalau kita lihat lebih dalam lagi ada sisi yang lain, sisi yang lebih manusiawi. Dan sisi yang ini kemudian membuat saya melihat bahwa beliau juga manusia yang mampu mencapai penggugahan. Saya juga manusia, berarti saya juga punya potensi untuk juga merealisasi penggugahan itu.”

Labih memperjelas inti ceramahnya, bhante mengakhiri ceramah dengan menceritakan dua kisah dari Tripitaka yang merupakan kisah favorit bhante. Kisah pertama dimana Buddha sedang ceramah dan tiba-tiba bersin. Sewaktu Sang Buddha bersin orang-orang menjawab panjang umur, seperti tradisi di India waktu itu.

“Lalu Buddha kemudian bertanya, apakah kalau ada orang bersin kemudian orang-orang lain berkata panjang umur, kemudian orangnya menjadi panjang umur? Kemudia orang-orang berkata tidak. Lalu, Buddha berkata ya sudah jangan lakukan itu lagi. Itu cerita pertama yang saya suka.”

Cerita kedua, ada satu peristiwa dimana Buddha diundang dalam sebuah acara, sebelum masuk ke dalam gedung Beliau membersihkan kaki, baru kemudian jalan masuk. Bhante menilai hal biasa saja.

“Akan tetapi menurut legenda tidak ada cerita ini, Buddha tidak mencuci kaki sendiri karena kaki Buddha tidak pernah kotor. Karena kalau kita lihat kan ada semacam tanda-tanda keajaiban bahwa debu tidak bisa menempel pada tubuh Buddha, atau cerita bahwa kalaupun ada debu nempel nanti dewa yang membersihkan, dijilatin mungkin, itu menurut legenda. Tetapi di dalam sutta, ada perisitiwa dimana Buddha mencuci kakinya sendiri.”

Dari proses belajarnya, bhante mengetahui dan menyadari sesuatu yang dulu tidak diketahui tentang Buddha. Oleh karena itu bhante berpesan kepada umat Buddha untuk belajar lebih banyak sehingga wawasan berkembang. Salah satu wawasan mengenai Buddha juga bisa didapatkan dari buku yang pernah ditulis oleh Bhante Shravasti Dhammika

“Katika anda baca bukunya, anda akan mendapatkan gambaran Buddha secara legenda dan Buddha secara realistis. Dengan demikian kita akan mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang Beliau. Dengan belajar hal baru kita akan mendapatkan pengetahuan baru,” tutup bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *