• Monday, 26 October 2015
  • Robin Dharmawan
  • 0

Seringkali Bhikkhu Pannyavaro ditanya apa manfaat belajar Dhamma. “Jika kita tiap minggu datang ke vihara untuk kebaktian, mendengarkan ceramah Dhamma, tanpa adanya perubahan, itu hanyalah berlaku seperti hiburan. Hiburan spiritual,” jelas Bhikkhu Pannyavaro dalam Dharma talk di Vihara Dharma Suci, Pantai Indah Kapuk, Jakarta pada Sabtu (24/10).

“Namun jika kita mengalami perubahan sikap menjadi lebih baik, di situlah manfaat mendengarkan Dhamma,” lanjut Bhante.

Umat Buddha diajarkan sila-samadhi-panna. Sila untuk mengatasi kekotoran-kekotoran batin yang kasar. Kalau kita berlatih sila, kita mengendalikan kekotoran batin yang kasar. Namun kekotoran batin itu belum hilang karena masih ada dalam bentuk halus. Oleh karena itu kita harus berlatih meditasi untuk membersihkan pikiran kita. Namun kekotoran batin pun masih belum hilang, masih ada yang lebih halus. Di situlah kita perlu berlatih meditasi dengan lebih mendalam (vipassana bhavana) hingga muncul panna (kebijaksanaan).

Bhante Pannyavaro memulai pembahasannya dari sila.

Kita memiliki tiga saluran kamma: pikiran, ucapan, dan perbuatan. Jika kita melakukan pikiran yang buruk, tidak ada orang lain yang dirugikan. Namun pikiran kita menjadi buruk dan menumpuk. Jika kita melakukan perbuatan buruk, orang lain yang merasakan dirugikan. Mengapa kita tidak boleh melakukan perbuatan buruk? Kalau kita melakukan perbuatan buruk terus-menerus, lama-lama akan menjadi kebiasaan. Saat sudah menjadi kebiasaan, ia mulai menagih, “Ayo lagi.. Ayo lagi..” Di situlah timbul apa yang disebut kemelekatan (upadana). Karena perbuatan buruk menimbulkan kenikmatan, dari kenikmatan itulah timbul kemelekatan.

Kita hidup dikendalikan oleh alam bawah sadar hampir 90%. Contohnya, jika kita melihat jam di dinding rumah. Suatu saat jamnya dipindahkan oleh kita, dengan kesadaran kita. Namun saat kita terburu-buru mau lihat jam, kita bisa lupa kalau jamnya sudah dipindahkan. Padahal kita tidak dalam keadaan mabuk, sadar, namun karena dikuasai oleh alam bawah sadar kita, kita bisa melakukan kesalahan. Begitu juga kebiasaan kita menceritakan orang lain atau bergosip.

Saat kita berpikir untuk mencuri, kita mengisi pikiran kita dengan keburukan, “Mencuri.. mencuri.. mencuri..” Saat kita menceritakan orang lain mencuri, kita juga mengisi pikiran kita dengan keburukan, “Mencuri.. mencuri.. mencuri..” Jadi, berhati-hatilah dalam menceritakan orang lain.

Buddha mengajarkan empat hal, yaitu “(1) Untuk hal yang buruk yang belum dilakukan, jangan dilakukan; (2) Untuk hal yang buruk yang pernah dilakukan, berhentilah; (3) Untuk hal yang baik yang belum dilakukan, lakukanlah; (4) Untuk hal yang baik yang pernah dilakukan, lakukanlah terus.”

Seperti pemain sirkus, bisa berjalan di atas tali yang diletakkan di ketinggian 10-20 meter sambil membawa galah, tidak terjatuh. Siapa yang bisa membuat dia tidak terjatuh? Hanya dia sendiri yang bisa dengan terus menerus berlatih dari tingkat yang lebih mudah terlebih dahulu dan memiliki jaring pengaman. Guru sirkusnya hanya memberikan petunjuk-petunjuk.

Demikianlah Buddha hanya mendorong kita untuk menjadi baik. Siapa yang mau mengendalikan hal yang buruk dalam diri kita? Hanya kita sendiri. Seperti juga kebiasaan-kebiasaan kita tidak mudah dihentikan kalau tidak ada tekad, usaha terus-menerus.

Itulah gunanya sila, untuk menghentikan yang buruk-buruk.

20151026 Bhikkhu Sri Pannyavaro Berhati-hatilah dengan Kebiasaan Buruk_2

Latihan yang kedua, meditasi (samadhi). Meditasi apa pun juga yang kita latih, apa gunanya? Untuk membersihkan pikiran kita dari yang buruk-buruk. Pikiran itu lebih ganas dan lebih buruk daripada ucapan dan perbuatan. Mungkin kita tidak berani berucap dan berbuat ke masyarakat karena takut malu, namun di dalam pikiran siapa yang tahu?

Kita bisa berpikir sangat buruk, sangat jorok, namun tidak ada yang tahu. Bahkan orang yang bisa membaca pikiran orang lain pun hanya berfokus ke orang tertentu, baru ia bisa tahu. Tapi umumnya orang lain tidak tahu. Karena itulah pikiran sangat berbahaya.

Saat latihan meditasi kita sudah baik, pikiran kita terfokus pada satu obyek, namun pikiran buruk kita bisa masuk ke dasar pikiran kita yang terdalam, di mana akar kekotoran batin kita berada. Itulah kenapa kita membutuhkan panna (kebijaksanaan). “Tahu pikiran itu baik, tahu pikiran itu buruk. Di situlah panna,” jelas Bhante.

Pikiran kita seperti gelas air yang kotor. Sila berfungsi untuk mencegah air kotor itu tidak keluar dari gelas. Samadhi adalah untuk mengendapkan kekotoran. Saat kotorannya ada di dasar gelas, seperti itulah kekotoran batin kita, seperti lobha dosa moha berada di dasar pikiran kita. Di sinilah perbuatan-perbuatan buruk yang telah menjadi kebiasaan bahkan dari kehidupan-kehidupan yang lampau berada.

Bagaimana cara menghilangkan kekotoran itu? Lubangi dasar gelasnya. Di situlah kotoran keluar, dan saat sudah keluar, tutup lubangnya. Itulah panna.

Bhante Pannyavaro menyimpulkan, “Pertama, jangan berbuat yang buruk. Karena jika kita sering melakukannya, akan dapat menjadi kebiasaan buruk dan sulit dikendalikan. Kedua, lakukanlah yang baik-baik dengan kesadaran. Kesadaran itu adalah memperhatikan, khususnya dalam kegiatan kita hidup sehari-hari dan itu adalah meditasi.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *