“Belajar Dhamma adalah utama, mengerti Dhamma sangat mendapat perhatian dalam ajaran guru agung kita Buddha Gotama. Pengertian benar adalah unsur pertama dalam jalan mulia berunsur delapan. Tetapi Ibu, Bapak dan Saudara, pengertian semata tidaklah cukup, hanya mengerti tidak membawa banyak kemajuan untuk batiniah kita, hanya mengerti tidak banyak membawa kemajuan di dalam diri kita. Praktik Dhamma yang benar harus dimulai tidak semata dengan pengertian, tetapi dengan saddha, dengan keyakinan,” ujar Bhikkhu Sri Pannyavaro memulai ceramah Dhamma pada perayaan Kathina di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah pada Minggu (23/10).
Menurut Bhante Pannyavaro, untuk memahami Dhamma dengan benar diperlukan sikap menerima pengertian, “Saudara mengerti, dan pengertian adalah sesuatu yang penting, tetapi terimalah pengertian itu. Saddha adalah sikap untuk menerima pengertian, dan sikap untuk menerima pengertian itulah awal dari kemajuan batin kita.”
Di dalam Angutara Nikaya disebutkan ada empat macam keyakinan. Pertama, kamma saddha. Guru agung kita menjelaskan ada perbuatan baik yang berguna bagi diri kita dan orang lain, dan ada perbuatan buruk yang merugikan. Tidak ada perbuatan yang abu-abu, yang ada hanyalah perbuatan baik dan buruk. Itulah keyakinan umat Buddha yang pertama. Kedua, kamma vipaka saddha. Perbuatan-perbuatan itu memberikan akibat. Kebaikan membuahkan kebahagiaan, keburukan mengakibatkan penderitaan. Guru agung kita pernah menegaskan, tidak pernah mungkin para bhikkhu, keburukan membuahkan kebahagiaan. Dan tidak pernah mungkin, kebaikan membuahkan penderitaan. Perbuatan baik membuahkan kebahagiaan dan keburukan mengakibatkan penderitaan, semua perbuatan menimbulkan vipaka.
Ketiga, kammasakata saddha. Perbuatan itu, si pembuatnya sendiri yang akan memetik akibatnya, bukan orang lain. Keempat, Thatagatha bodhisattva. Bahwa guru agung kita, Tathagata mencapai pencerahan sempurna (bodhi). Pencerahan sempurna itulah yang Beliau ajarkan kepada kita. Guru agung kita bukanlah seorang filsuf, ajaran Beliau bukan hasil pemikiran intelektual Beliau, tetapi ajaran Beliau adalah pencapaian pencerahan sempurna.
“Secara ringkas, keyakinan umat Buddha itu adalah yakin terhadap hukum karma dan yakin guru agung kita Buddha Gotama mencapai pencerahan,” jelas Bhante.
Bhante Pannyavaro melanjutkan, “Ibu, Bapak dan Saudara, keyakinan itu memberi dampak yang sangat besar bagi kita untuk tidak berbuat yang buruk dan banyak melakukan perbuatan baik. Sila sesungguhnya adalah pengendalian diri kita (samvara). Kita mengendalikan diri dari perbuatan yang buruk bukan semata-mata perintah kitab suci, tetapi kita yakin bahwa keburukan itu menghancurkan kita, menghancurkan diri kita, dan juga menghancurkan orang lain dan menghancurkan lingkungan.
“Tetapi Saudara, seperti disebutkan di depan, tidak hanya mengendalikan diri dari yang buruk, tetapi menambah perbuatan baik. Salah satu cara menambah kebajikan yaitu dengan cagga (kemurahan hati). Cagga itu tidak hanya sekadar memberi, cagga itu adalah memberi untuk melatih diri melepaskan ikatan, memberi untuk melatih diri menghancurkan attachment. Itulah cagga pemberian dengan tujuan tertinggi.
“Oleh karena itu, Ibu, Bapak dan Saudara, cobalah perhatikan, bukan persoalan materi yang Anda berikan, bukan persoalan barang yang Anda berikan sedikit atau banyak, tetapi memberilah dengan pengertian yang tertinggi. Saya yakin pengertian ini hanya ada pada ajaran guru agung Buddha Gotama,” jelas Bhante.
Menurut Bhante, dalam ajaran Buddha, tujuan berdana bukan hanya sekadar untuk mendapat ketenaran sosial. “Memberi yang paling rendah memberikan dampak sosial, saudara dicintai dan dikenal oleh orang banyak. Dalam bahasa Pali dikatakan, ‘Dadang piyohoti’, orang yang memberi akan dicintai. Tetapi bukan sekadar itu tujuan kita memberi, kecuali nanti pada tahun 2017 banyak orang memberi supaya dicintai, supaya kalau Saudara masuk di bilik kecil itu coblos nama dia. Umat Buddha tidak akan memberi dengan tujuan seperti itu,” jelas Bhante.
Memberi yang lebih tinggi bertujuan untuk hidup sejahtera, setelah kematian dilahirkan di alam dewa. Tetapi ada tujuan yang tertinggi, memberi untuk kebersihan batin, memberi untuk kebebasan dari penderitaan.
“Saya ingin mengumpamakan tiga macam tingkatan memberi ini dengan kita kalau mengambil makanan. Dalam bahasa Pali, makanan yang kita makan setiap hari, nasi soto, nasi pecel, nasi goreng disebut dengan kabhalingga ahara, makanan yang berbentuk materi. Tetapi Ibu, Bapak dan Saudara, ada bermacam-macam tujuan saudara-saudara kita dan kita makan. Tujuan yang paling rendah adalah makan untuk enak, makan untuk mencari kenikmatan. Tidak salah, Ibu, Bapak dan Saudara, tetapi kalau Saudara makan hanya untuk mencari enak, makanan itu akan menghancurkan kesehatan Saudara. Yang benar adalah makan untuk sehat. Saya makan bukan hanya enak, tetapi supaya fisik kita sehat. Karena dengan fisik sehat, maka fisik yang sehat itu jauh lebih enak daripada makan enak.
“Apakah ada yang lebih tinggi? Ibu, Bapak dan Saudara, di dalam Dhamma sering dijelaskan, mereka-mereka yang sering bermeditasi mencapai tingkat yang cukup tinggi, apalagi mereka yang sudah mencapai niroda sampati, tujuh hari-tujuh malam mereka tidak perlu makan, hanya sekadar duduk bahkan nafas pun berhenti. Tetapi Arahat ini belum meninggal dunia, demikian juga sering dikatakan dengan kalimat ‘piti bagang’, kalau orang bermeditasi kemudian merasakan kegiuran-kenikmatan meditasi, mereka tidak memerlukan makan. Itulah sesungguhnya makanan yang sangat tinggi, bukan semata-mata makanan materi yang kita makan.
“Seperti itulah kita berdana, meskipun hanya sesuap nasi, sepotong kain, berdanalah dengan cagga. Berdana untuk melepaskan attachment, berdana untuk mengurangi kemelekatan, karena suatu saat nanti kalau perubahan terjadi, kita harus meninggalkan kehidupan ini. Tidak ada yang bisa kita bawa, apa pun, termasuk materi sekecil apa pun. Oleh karena itu, berdana tidak sekadar berdana, berdana untuk melepas, berdana untuk mengurangi attachment, berdana untuk melatih mengurangi keterikatan, berdana untuk meninggalkan keduniawian ini dengan sederhana. Itulah tujuan berdana yang tertinggi.
“Itu dapat kita latih kalau kita cukup mempunyai kearifan, kalau kita cukup mempunyai pannya. Dan pannya itulah mahkota ajaran guru agung kita yang memberikan nilai kebajikan kita, tidak sekadar kebajikan, tetapi kebajikan yang nilainya sangat tinggi yang akhirnya membawa kita pada kebebasan. Kita makan tidak hanya enak, kita makan untuk kesehatan, dan akhirnya kita tidak membutuhkan makanan itu lagi.
“Oleh karena itu, marilah Ibu, Bapak dan Saudara untuk praktik Dhamma yang tiada henti. Dalam Dhammapada 50, ‘Jangan mencari kesalahan orang lain, jangan mencari apa yang orang lain sudah lakukan atau yang belum. Marilah kita melihat diri kita, apa yang sudah saya lakukan dan apakah yang belum kita lakukan.
“Tetapi Bhante, apakah kita tidak boleh mengajari orang lain? Apakah tidak boleh mengingatkan orang lain, membimbing orang lain? Kenapa tidak. Marilah kita memberikan bimbingan kepada orang lain dengan contoh teladan. Tidak sekadar nasehat, tetapi berikanlah mereka contoh teladan. Marilah melihat diri sendiri, apakah yang sudah saya lakukan dan belum lakukan. Marilah kita memberikan keteladanan kepada orang lain, karena itu bermanfaat bagi diri kita dan orang lain,” tutup Bhante.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara