• Thursday, 8 February 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Pada 1003, tercatat dalam kitab Songshi, Raja Sriwijaya Sri Cudamanivarmadeva memohon pada Kaisar Song Zhenzong untuk diberi nama vihara. Kaisar Zhenzong memberikan nama Chengtian Wanshou (承天萬壽) layaknya nama vihara-vihara Chan (Zen) masa Song pada vihara yang akan dibangun di tanah Sriwijaya itu.

Catatan-catatan Tiongkok adalah yang paling lengkap merekam berbagai macam aktivitas monastik Buddhis di Nusantara, termasuk silsilah Vinaya di negeri ini.

Dari kitab Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan (南海寄歸內法), kita bisa membaca bahwa biksu Tiongkok Yijing mencatat di Sumatra dan Jawa sudah terdapat 3 silsilah Vinaya yang kita kenal sekarang ini di Indonesia: Dharmagupta (yang dipakai Mahayana Tiongkok), Mulasarvastivada (yang dipakai Mahayana Tibet), dan Sthavira (Theravada).

Biksu Yijing menyebut bahwa Arya-mulasarvastivada-nikaya terdiri dari 4 subdivisi: Kasyapiya, Mahisasaka, Dharmaguptaka, dan Mulasarvastivada. Keempat-empatnya juga dipraktikkan di Tiongkok, di Yangzi Jiang, Guangdong dan Guangxi.

Baca juga: Nusantara adalah Pusat Buddhadharma Mahayana-Vajrayana

Jadi ketika Yijing menyebutkan banyaknya Arya-mulasarvastivada-nikaya di Jawa dan Sumatera, maka silsilah Dharmagupta juga sudah termasuk di sana. Berikutnya Yijing juga menyebutkan adanya Arya-sthavira-nikaya (Theravada) dan Arya-mahasamghika-nikaya baru diperkenalkan di tanah Jawa dan Sumatera.

Gunavarman, biksu yang berperan besar dalam penahbisan anggota Sangha di Tiongkok, menyebarkan baik Sarvastivada, Dharmagupta, maupun Mahayana pertama kalinya di pulau Jawa.

Biksu-biksu asli Nusantara seperti Jnanabhadra dan Sakyakirti maupun pendatang dari India seperti Vajrabodhi, Amoghavajra, Atisa, dan banyak lainnya, semuanya menjalankan silsilah Sarvastivada dan Mulasarvastivada.

Biksu-biksu Mahayana Tiongkok yang datang ke Nusantara seperti misalnya Yijing, umumnya menjalankan Vinaya Dharmagupta. Agak berbeda adalah Suvarnadvipa Dharmakirti dari Sumatera yang adalah biksu dari silsilah Mahasamghika-nikaya.

Sebelum kedatangan Atisa dan sebelum Mulasarvastivada diperkenalkan di Tibet, biksu Yijing tercatat yang pertama lengkap menerjemahkan Mulasarvastivada Vinaya ke dalam bahasa Tionghoa dengan judul Genben Shuo Yiqie You Bulu (根本說一切有部律).

Kitab ini dipakai oleh para biksu Vajrayana Shingon di Tiongkok dan Jepang: Amoghavajra, Vajrabodhi, Huiguo, Kukai, Myozui, Gakunyo. Mereka semua mengikuti Mulasarvastivada Vinaya. Maka dari itu, Tiongkok sering disebut sebagai rumah bagi 5 silsilah Vinaya (Wuda Guanglu 五大律): Dharmagupta, Mahasamghika, Mahisasaka, Sarvastivada, dan Mulasarvastivada.

Dengan hadirnya penahbisan anggota Sangha Thailand, Tiongkok, dan Tibet di Indonesia, dewasa ini kita sudah menyaksikan silsilah Dharmagupta, Mulasarvastivada, dan Theravada telah kembali ke Nusantara.


Gerbang suci Vihara Ratu Boko, Jogja. G Sinaga

Ratu Boko: vihara theravada Abhayagiri pusat mahayana

Di Jawa Tengah telah ditemukan catatan prasasti tentang pendirian Abhayagiri-vihara (无畏山寺) di sebuah bukit dan setelah diteliti ternyata catatan tersebut merujuk pada Ratu Boko yang memang didirikan dengan gaya arsitektur Abhayagiri Srilanka, sebuah pusat Mahayana dengan garis silsilah penahbisan Theravada.

Menurut catatan Yuanzhao di Zhenyuan Xinding Shijiao Mulu (貞元新定釋教目錄), tercatat kisah antara dua orang biksu Mulasarvastivada bernama Amoghavajra (不空, 705-774) dan Vajrabodhi (金剛智, 671-741) yang sama-sama pernah belajar di Abhayagiri Srilanka.

Melalui jalur maritim yang normal, keduanya bertemu satu sama lain di Jawa. Alkisah Amoghavajra pergi belajar pada Vajrabodhi di She-po (Jawa), yang kemungkinan besar lokasinya adalah Vihara Ratu Boko. Sudah lumrah bagi para biksu yang berasal dari Abhayagiri Srilanka untuk berdiam di Ratu Boko ketika datang di Nusantara.

Baca juga: Relief Gandawyuha Bukti Sejarah Tua Toleransi di Nusantara

Guru-murid ini saling bertemu di pulau Jawa, bercengkerama Dharma di kepulauan Indonesia. Setelah menetap di Jawa untuk beberapa saat, mereka berlayar menuju Tiongkok dan menyebarluaskan ajaran Tantra di sana yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya aliran (Mantrayana Timur) Zhenyen atau Shingon sebagaimana yang masih dapat kita temui di Jepang.

Transmisi ajaran dilestarikan dari Amoghavajra kepada Huiguo (746-805) yang kemudian menjadi guru dari Kukai (弘法大師,774-835), pendiri Shingon di Jepang. Saat ini silsilah mandala Shingon pertama dapat dilihat di Indonesia di Chan Forest, Puncak, Jawa Barat.

Hendrick Tanuwidjaja

Penulis dan executive editor majalah Buddhis Sinar Dharma, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *