“Tujuan berdana bagi umat Buddha bukan untuk mendapatkan pahala, akan tetapi untuk membersihkan kilesa atau kekotoran dalam batin kita, keserakahan, dan kebencian. Karena pada saat kita berdana tidak mungkin muncul kebencian, pada saat kita memberi tidak akan muncul keserakahan. Memberi dan membenci tidak akan muncul secara bersamaan. Oleh sebab itu, kalau kita memberi dengan benar, keakuan dan keserakahan akan berkurang,” ujar Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam ceramah Dhamma Kathina Puja di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah.
Minggu (1/11), lebih dari 2000 umat Buddha dari seluruh Indonesia menghadiri puja persembahan dana kepada bhikkhu Sangha di Vihara Mendut. Acara yang dilaksanakan di halaman Vihara Mendut dengan Dhammasala sebagai altar utama ini dihadiri oleh 10 bhikkhu Sangha.
Di Vihara Mendut terdapat tiga bhikkhu yang melaksanakan vassa, yaitu Bhikkhu Sri Pannyavaro, Bhikkhu Dhammaratano, dan Bhikkhu Santacitto.
“Selama tiga bulan penuh para bhikkhu telah menyelesaikan masa vassa dengan baik. Selama tiga bulan itu pula, para bhikkhu telah banyak memberi kursus Dhamma dan memberikan pembinaan kepada para umat di sekitar Vihara Mendut. Oleh sebab itu, sekarang adalah saatnya untuk memberi penghormatan dengan mempersembahkan empat kebutuhan pokok bhikkhu kepada Sangha,” ujar Ketua Panitia, Budiyono Raharjo.
Dalam ceramah Dhammanya, Bhikkhu Sri Pannyavaro menguraikan tujuh kekayaan yang dapat membimbing umat memperoleh kekayaan spiritual dan kesejahteraan.
“Kalau dalam perayaan Kathina tahun-tahun yang lalu, para bhikkhu selalu mengulang uraian tentang arti penting memberi, maka pada perayaan Kathina kali ini, saya akan menjelaskan uraian yang sedikit berbeda, yaitu tentang kekayaan,” ujar Bhante Pannya.
“Kekayaan yang pertama menurut Guru Agung kita Buddha Gotama adalah kekayaan keyakinan,” lanjut Bhante. Kalau tidak dilandasi dengan keyakinan, seseorang belajar Dhamma hanya untuk mengetahui, bukan untuk mempraktikkan. Keyakinan kepada Buddha Dhamma dan Sangha itulah kekayaan yang pertama.
Tetapi, tidak ada nilainya kalau hanya yakin. Memang benar keyakinan membuat kita bersujud, keyakinan membuat kita bernamaskara meletakkan tubuh kita di lantai, keyakinan menuntut kita berbakti, tetapi itu tidak cukup.
“Anda juga harus mengerti dengan benar Buddha, Dhamma dan Sangha supaya keyakinan Anda bukan hanya sekadar formalitas, hiburan spiritual. Belajar untuk mengerti dengan benar, dengan jelas, siapa yang kita yakini inilah kekayaan yang kedua.
“Belajar itulah yang membuat kita mengerti manfaat dari praktik Dhamma, dan memberi adalah praktik Dhamma yang paling awal. Kalau Anda berkecukupan materi tetapi untuk memberi sulit, sangat berhitung, kikir, maka dia belum kaya. Dia takut memberi karena menginginkan lagi dan lagi, memberi itu adalah kekayaan yang ketiga.
“Dan kekayaan yang keempat adalah mempunyai pengendalian diri atau kekayaan sila. Dana memang mulia tetapi mempunyai pengendalian diri lebih terpuji,” jelas Bhante.
Bhante memberikan contoh, “Ada seseorang yang suka memberi, suka menolong, tidak kikir dalam bahasa daerah dikatakan lomo. Kalau suka menolong, suka memberi tetapi juga suka membunuh, orang ini tidak miskin dan tidak kekurangan, tetapi hidupnya dalam bahaya, hidupnya sering diancam. Mungkin dia punya sakit tidak bisa disembuhkan atau umurnya tidak panjang.”
“Contoh lain, Anda suka memberi, suka menolong, tetapi Anda mencuri, Anda korupsi, maka hidup Anda tidak akan tenang juga. Bisa saja Anda masuk penjara. Oleh sebab itu sangat baik apabila orang suka memberi, suka menolong, tidak kikir, tapi juga menghindari pembunuhan, tidak mencuri, menjaga baik keluarga, tidak berbohong, dan juga tidak mabuk-mabukan,” jelas Bhante.
Tarikan untuk melanggar sila memang sulit untuk dihindari karena kadang-kadang membawa kenikmatan. Oleh sebab itu Buddha memberikan dua tips untuk menghindari godaan itu. “Malu berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat. Inilah kekayaan yang kelima dan enam,” ujar Bhante.
Mempunyai kebijaksanaan adalah kekayaan ketujuh. Mempunyai kebijaksanaan artinya mengetahui sifat universal dari segala sesuatu yaitu tidak kekal (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa inti yang kekal (anatta). Anicca, dukkha dan anata bukan hanya sebatas ajaran filosofi, namun juga mempunyai aspek psikologis, mempunyai aspek ke dalam diri seseorang.
Semua persoalan di dunia ini tidak kekal. “Sakit pun tidak kekal, iya Bhante kalau sembuh, kalau meninggal tidak kekal juga to?” tanya Bhante. Ketidakkekalan itulah yang membuat kita bertahan, itulah dampak psikologis mengerti anicca dalam diri kita. Sedangkan dukkha, jangan membuat orang lain mengalami dukkha dan jangan membuat diri Anda menderita, inilah manfaat kita mengerti dukkha.
“Anatta, semua tidak ada inti yang kekal. Apakah arti penting anatta kepada diri kita? Buang semua keakuan, aku sudah berjasa, aku sudah punya pengetahuan lebih, aku sudah jujur, aku sudah menolong, aku sudah berbuat tanpa pamrih, buang semua itu. Mengapa? Karena keakuan adalah kekotoran batin yang terbesar. Jangan remehkan keakuan, keakuan melahirkan keserakahan, keakuan melahirkan kebencian,” jelas Bhante.
Mengakhiri ceramah Dhammanya, Bhante Pannyavaro mengutip kata-kata Buddha, “Pria maupun wanita, wanita atau pria yang mempunyai tujuh kekayaan itu, aku menyatakan dia tidak miskin, hidupnya tidak akan pernah sia-sia.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara