Bagi sejumlah orang, 2020 boleh jadi menjadi tahun yang nyata kelam. Terutama untuk mereka yang harus merelakan diri kehilangan sanak saudara karena tak terselamatkan dari keganasan virus corona.
Bagi mereka yang tengah berkutat dan berharap bisa sembuh dari sakit karena virus. Mereka yang harus melapangkan dada dan menerima kenyataan di-PHK oleh perusahaan atau tempat di mana mereka selama ini mencari nafkah. Serta mereka yang dibayang-bayangi kemungkinan buruk lainnya akibat situasi sulit seperti ini.
Situasi ini pada akhirnya memberi efek pada banyak lini dan sektor kehidupan, selain yang utama pada kesehatan dan keselamatan itu sendiri. Salah satu aktivitas lainnya yang juga terdampak adalah rutinitas keagamaan.
Umat Buddha kini harus menahan diri untuk tidak menginjakkan kaki di wihara demi menghindari keramaian, mengikuti protokol kesehatan dari pemerintah, setidaknya sebelum wacana New Normal benar-benar diterapkan di wihara yang biasa mereka datangi.
Pandemi dan antusiasme umat Buddha belajar dhamma
Kemajuan teknologi beserta kelebihannya menunjukkan peran serta fungsinya dengan baik dan positif. Banyak wihara yang akhirnya melakukan serangkaian kegiatan seperti biasa melalui layanan virtual.
Kita bisa melihat dari banyaknya sebaran informasi yang beredar atau unggahan di media sosial mengenai jadwal kelas Dhamma yang nyaris selalu ada setiap pekan. Beberapa wihara bahkan rutin mengadakan Dhammasākacchā Online setiap malam dan dengan jumlah partisipan yang tidak sedikit, terlebih ketika mengundang narasumber kawakan.
Semangat yang ditunjukkan oleh umat Buddha mengikuti kelas Dhamma secara online merupakan fenomena menarik. Jika sebelumnya umat Buddha terpisah oleh jarak dan tersekat gedung wihara masing-masing, kini mereka disatukan oleh media sosial.
Sekarang siapapun bisa dengan leluasa mengikuti kegiatan yang ada cukup dari setatapan layar gawai. Internet menunjukkan eksistensi dan kuantitas mereka secara tak langsung.
Roda kehidupan
Kita sering mengandaikan hidup tak ubahnya sebuah roda yang terus berputar. Ada kalanya kita di atas, hidup seperti menawarkan sejuta kebahagiaan tak berkesudahan. Ada masanya kita berada di bawah, pengalaman pahit seakan membuat kita tersungkur hingga titik terendah dari sebuah kenyataan hidup.
Ada saatnya kita merasa hidup seperti percuma, stagnan, dan tak punya arti apa-apa. Perputaran ini membuktikan bahwa tidak ada kondisi yang permanen.
Semuanya berubah sewaktu-waktu, dan lebih jauh mengisyaratkan pesan penting yaitu sebesar apapun kita menaruh harapan pada hal-hal baik, kita tidak pernah bisa mencegah sesuatu yang buruk tidak terjadi menimpa kita. Pun sebaliknya seburuk apapun kondisi yang kita alami saat ini pasti akan berubah pada waktu mendatang.
Hidup tengah menunjukkan kenyataan dari siklusnya melalui petaka dari sebuah pandemi. Kita sedang berada di posisi dasar, dalam masa sulit, dan bahwa begitulah sejatinya kehidupan. Seperti roda yang berputar.
Sang Buddha sudah mengingatkan kita soal ini. Bahwasanya ada kondisi-kondisi yang silih berganti dan tak terhindarkan selama kita masih menjadi bagian dari kehidupan. Ragam kondisi itu adalah Delapan Kondisi Dunia, yaitu untung-rugi, masyhur-tidak terkenal, dipuji-dicela, dan suka-duka.
Semuanya bisa datang kapan saja. Berputar, seperti roda. Tidak ada seorang pun yang bisa memonopoli keadaan sebagaimana yang diinginkan. Seperti roda, kehidupan berputar dengan presisi di antara ketidakpastian di dalamnya.
Satu hal yang sangat pasti, di ujung sana ada pemberhentian yang kita disebut sebagai kematian. Sang Buddha bersabda, dalam untaian indah syair Dhammapada 128, “Tidak dapat ditemukan suatu tempat di dunia ini bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari kematian.”
Kita pasti mengalami kematian. Tidak ada tempat bersembunyi darinya. Senada dengan itu, di lain kesempatan Beliau mengatakan bahwa kehidupan tidaklah pasti, kematianlah yang pasti.
Musibah akan terus ada sepanjang peradaban itu ada. Jika menilik kejadian silam, kita akan mendapati kisah dan fakta bahwa musibah semacam ini terjadi bukan kali pertama dan pasti tidak pula menjadi yang terkahir kalinya.
Di masa hidup Sang Buddha, kita familiar dengan kisah petaka yang pernah terjadi di Vesali. Kisah yang kemudian diyakini menjadi awal mula tersabdakannya wejangan Ratana Sutta. Seiring berjalannya waktu fakta kemudian mencatatkan sederet kasus yang pernah terjadi dari masa ke masa.
Semuanya hanya datang dengan wujud dan waktu berbeda, tetapi memiliki satu kesamaan yakni menjadi sumber bagi penderitaan. Berbicara soal penderitaan, ia adalah kenyataan pasti yang menjadi paket lengkap dari kehidupan, lagi-lagi, yang tidak bisa kita hindari.
Kenestapaan akan selalu kita dapati sepanjang hayat. Itu berlaku bagi siapapun tanpa terkecuali, tidak pernah mengenal bulu. Perbedaannya, antara seorang praktisi Dhamma dan yang bukan, terletak pada cara pandang dalam melihat dan menyikapi itu semua.
Seorang yang terlatih dalam pemahaman benar akan melihat bahwa segala sesuatunya terjadi karena banyak sebab dan dapat berubah kapan saja. Dengan pemahaman seperti itu dan disertai upaya, ia tidak akan terlalu dirundung oleh kesedihan dan ketakutan yang berlebihan ketika tengah mengalami cobaan hidup.
Sebagaimana ia juga tidak akan terlalu berlebihan melekati semua jenis kebahagiaan duniawi yang sementara. Sementara itu, seorang yang tidak terlatih akan menunjukkan sikap sebaliknya. Itu semua merupakan proyeksi dari apa yang ada dalam batin seseorang yang belajar Dhamma dan tidak.
Belajar dan praktik Dhamma tidak menjamin kita akan terhindar dari mala petaka, tetapi sangat pasti memberikan kita kesiapan mental dalam menghadapi segala sesuatu yang ditawarkan hidup.
Sang Buddha mengibaratkan seseorang yang terlatih seperti batu karang, kokoh tak tergoyahkan (Dhammapada VI, 81). Ia bijaksana dalam menyikapi keadaan. Tidak marah saat dicela, tetapi juga tidak berbesar kepala saat mendapatkan pujian.
Meskipun bait tersebut secara spesifik merujuk pada kasus sanjungan dan cemooh, tetapi juga dapat menjadi gambaran bagaimana seorang bijaksana menyikapi permasalahan yang lain.
Seseorang yang menjadi bijaksana karena belajar Dhamma akan merespons setiap keadaan dengan arif pula. Untuk alasan dan manfaat itulah mengapa kita perlu mendekatkan diri dengan pemahaman dan praktik Dhamma.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara