• Monday, 11 February 2019
  • Hartini
  • 0

Lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu, Mahapajapati Gotami, bibi Buddha, telah meletakkan dasar yang dapat menjadi rujukan sekaligus acuan bagi hak-hak asasi perempuan.

Mahapajapati Gotami memohon izin dari Buddha untuk mendirikan Sangha Bhikkhuni. Sekalipun Buddha memiliki siswa perempuan pada tahun-tahun awal pembabaran Dhamma, saat itu belum ada Sangha bagi kaum perempuan. Pada masa itu di India, perempuan tidak diizinkan berpartisipasi dalam tatanan kerja religius yang dominan/menentukan, sementara posisi pimpinan religius semuanya dipegang kaum pria. Bagaimanapun, lima tahun setelah Pencerahan Beliau, salah satu siswi Buddha memimpin sekelompok perempuan untuk memohon tempat/posisi dan kedudukan bagi perempuan, di kalangan komunitas pencari spiritual yang menanggalkan kehidupan berumah tangga.

Sang siswi, Mahapajapati Gotami, juga merupakan bibi Buddha sekaligus pengasuh yang telah membesarkan-Nya setelah ibunda Buddha mangkat. Berlandaskan motivasi agar dapat berkembang secara spiritual hingga kapasitas terbaiknya, beliau berulang kali memohon pada Buddha agar mendirikan Sangha bhikkhuni, bahkan dalam rangka pengajuan permohonan ini, telah berpawai, berbaris bersama lima ratus wanita lainnya. Ini merupakan pawai unjuk rasa wanita yang pertama yang terekam dalam sejarah.

Gerakan sosial dan pembebasan spiritual dapat bergerak seiring sejalan.

Buddha sepakat bahwa kaum perempuan sepenuhnya mampu untuk memenuhi/melaksanakan Jalan Pencerahan, sehingga dibentuklah Sangha Bhikkhuni. Dengan demikian, Buddha, bersama-sama dengan Mahapajapati Gotami dan lima ratus perempuan lainnya, telah meletakkan dasar yang dapat digunakan sebagai rujukan sekaligus acuan bagi keterlibatan serta kesetaraan sosial bagi kaum perempuan.

Baca juga: Perempuan

Dalam konteks sosialnya, ini merupakan tindakan yang radikal dan sangat berani. Banyak dari para wanita tersebut yang dewasa ini dikenang sebagai teladan dalam hal pencapaian spiritual. Para perempuan ini tidak hanya mencari kebebasan spiritual, tetapi juga telah memaksakan sebuah jalan hidup alternatif bagi mereka, yang jauh melampaui alur peran sosial yang ditetapkan masyarakat bagi mereka.

Gerakan sosial dan pembebasan spiritual dapat bergerak bergandengan tangan. Dalam kenyataannya, saya bahkan akan memberanikan diri untuk menyarankan bahwa memang selalu demikianlah adanya. Kita tak akan dapat sepenuhnya tersadarkan jika kita tidak bekerja dalam rangka penyadaran yang lain pula. Untuk mendirikan sebuah pembeda semu antara perubahan sosial dan spiritual, membutuhkan penyangkalan atas kondisi kesalingbergantungan.

Bahkan jika kita menyangkal keduniawian dan meninggalkan kehidupan bermasyarakat untuk menjadi seorang pengelana tanpa rumah yang mengembara di hutan, masyarakat menjadi berubah, akibat ketidakhadiran kita di dalamnya. Perubahan sosial dan spiritual saling terkait, bahkan saat kita tidak secara sengaja mencari cara untuk menjadikannya seperti itu. Kebebasan kita terkait erat dengan kebebasan yang lain – inilah inti dari Jalan Bodhisattva. (Lionsroar.com/PEMA KHANDRO RINPOCHE)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *