• Monday, 5 February 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Nama Thullananda mungkin terdengar asing di telinga kita. Padahal ia adalah seorang biksuni yang hidup pada masa Buddha Gotama dan memiliki peranan penting (meskipun dalam konteks yang negatif) dalam agama Buddha, terutama terkait pembentukan disiplin bagi para biksuni.

Thullananda sering disebut sebagai contoh buruk bagi para biksuni. Dalam literatur Pali, nama Thullananda kerap disebut sebagai penyebab banyaknya peraturan-peraturan disiplin bagi para biksuni.

Akibat perilakunya yang buruk, Thullananda bertanggung jawab secara langsung atas ditetapkannya dua aturan Parajika (pelanggaran serius), empat aturan Sanghadisesa (pelanggaran berat yang membutuhkan pertemuan formal), tujuh aturan Nissaggiya-Pacittiya (peraturan yang memerlukan pengakuan dengan cara melepaskan), dan dua puluh empat aturan Pacittiya (peraturan yang memerlukan pengakuan).

Mungkin salah satu tabiat buruknya yang paling terkenal adalah keserakahannya. Banyak dari perbuatan-perbuatan Thullananda dimotori oleh keserakahan yang ada di dalam dirinya.

Salah satu cerita permulaan dari Pacittiya 1 mengisahkan kejadian seorang umat dermawan yang sedang memberikan dana berupa bawang putih kepada Sangha Biksuni.

Umat itu memerintahkan pelayannya untuk memberikan dua atau tiga ikat bawang putih kepada masing-masing biksuni. Tetapi hal ini dirusak oleh biksuni Thullananda, yang “tidak mengenal rasa cukup” (na mattam janitva) (Vin iv, 258). Dia mengambil banyak sekali bawang putih untuk dirinya sendiri.

Hal ini menyebabkan umat dermawan itu marah dan mengkritik para biksuni. Sedemikian besarnya sifat serakah dalam dirinya, pada suatu kesempatan Buddha mengambil salah satu cerita kelahiran masa lampau biksuni Thullananda sebagai pelajaran bagi para biksu dan biksuni.

Kisah keserakahan Thullananda

Dalam Suvannahamsa Jataka (No. 136), diceritakan bahwa Thullananda adalah istri dari seorang brahmana yang meninggal. Brahmana ini meninggalkan istri dan ketiga putrinya dalam keadaan miskin. Brahmana ini (yaitu kelahiran lampau Siddhartha), terlahir kembali sebagai seekor angsa dengan bulu dari emas.

Mengingat kehidupan sebelumnya sebagai brahmana, angsa ini datang kembali ke rumah untuk menemui istri dan putri-putrinya. Dengan cinta kasih angsa ini berkata kepada mereka bahwa dia akan memberikan satu bulu emasnya pada satu waktu tertentu sehingga mereka dapat hidup kaya dan nyaman.

Tetapi istrinya ini, dipanasi oleh keserakahannya, tidak puas dengan hal ini sehingga pada suatu hari dia menangkap angsa ini dan memaksa mencabut semua bulu-bulu emas yang ada.

Bulu-bulu emas ini secara ajaib langsung berubah menjadi bulu angsa putih biasa, si angsa emas terbang pergi dan tidak pernah kembali. Sedangkan si istri dan anak-anaknya kehilangan mata pencaharian berharga mereka, semua dikarenakan keserakahan si istri. Setelah kisah ini berakhir, Buddha menautkannya dengan sebuah penutup:

“Tidak hanya kali ini, para biksu, Thullananda bersikap serakah; dia juga serakah di masa lalunya, dan karena keserakahannya, dia kehilangan emasnya. Dan sekarang, oleh karena keserakahannya dia akan kehilangan bawang putihnya, dan dengan demikian dia tidak akan bisa memakan bawang putih.

Baca juga: Memahami Makna Kisah Ajisaka

“Dan hal yang sama juga berlaku bagi para biksuni lainnya, karena Thullananda. Oleh karena itu, bahkan ketika kamu mendapatkan banyak, kamu harus berlatih bersikap sederhana; dan ketika kamu mendapatkan sedikit, kamu seharusnya puas dengan apa pun yang kamu dapat dan tidak berharap untuk dapat lebih banyak (Ja i, 476).

Keserakahan Thullananda bahkan juga membuat jengah para umat perumah tangga. Dalam cerita permulaan Nissaggiya 4, seorang umat awam menawarkan sesuatu ketika biksuni Thullananda sedang sakit.

Thullananda kemudian meminta untuk dibawakan ghee, tetapi setelah umat tersebut membawakannya ghee, dia mengubah pikiran dan memintanya membawakan minyak.

Sebaliknya pada cerita permulaan Nissaggiya 5, dia meminta umat awam untuk membawakan minyak, tetapi kemudian mengubah pikirannya dan menginginkan ghee. Pada cerita permulaan Nissaggiya 10, sekelompok umat awam kesal mengetahui bahwa uang donasi yang diberikan untuk memperbaiki ruangan wihara disalahgunakan oleh Thullananda.

Pada cerita permulaan Nissaggiya 11 dan 12, dia secara langsung meminta Raja Pasenadi untuk memberikannya kain-kain mahal – sebuah permintaan yang menyebabkan masyarakat kesal, “Para biksuni ini serakah dan tidak pernah merasa puas!” (Vin iv, 255-256). Sifat serakah dan plin-plan ini tentu mengancam kebergantungan Sangha atas kebaikan umat awam.

Tabiat buruknya ini tidak hanya menciptakan masalah dengan umat awam, tetapi juga dengan sesama anggota Sangha. Contohnya sebagaimana diceritakan dalam Sanghadisesa 2, dia dengan tidak pantas menahbiskan seorang wanita yang adalah pencuri atas dasar keserakahannya terhadap harta milik wanita tersebut.

Dalam cerita permulaan Nissaggiya 2, dia secara keliru mengumumkan material jubah yang diberikan pada waktu yang salah sebagai material jubah yang diberikan pada waktu yang benar. Dalam cerita permulaan Pacittiya 27, dia dengan tidak pantas menunda pembagian material jubah sampai murid-muridnya dapat termasuk ke dalam daftar penerima material jubah.

Dalam cerita permulaan Pacittiya 29, lagi dia menunda pembagian material jubah sebagai antisipasi pemberian mendatang yang tidak pernah tiba; dan di cerita permulaan Pacittiya 48, dia menolak menyerahkan pondokannya kepada biksuni lain meskipun dia sedang bersiap untuk pergi mengembara.

Ada kebaikan di balik keburukan

Tetapi tidak semua hal terkait Thullananda adalah buruk. Beberapa kali pula di dalam Bhikkhuni Vibhanga, disebutkan bahwa biksuni Thullananda sangat terpelajar. Dia adalah seorang pengkhotbah yang handal dan terampil berbicara mengenai Dhamma.

Semua ini tentu adalah kualitas-kualitas terpuji dalam tradisi Buddhis. Menurut cerita dalam Nissaggiya 10, banyak orang yang datang mengunjungi biksuni Thullananda untuk mendengar Dhamma.

Bahkan terdapat dua kali kejadian saat dia memberikan khotbah Dhamma kepada Raja Pasenadi dari Kosala – raja menjadi bergembira atas Dhamma yang disampaikan biksuni Thullananda sehingga mempersembahkan kepadanya hadiah-hadiah mahal (Vin iv, 255, 256).

Baca juga: Kisah Bubuksah dan Gagak Aking

Dari sini kita dapat mengambil dua pelajaran penting:

1. Bahwa seburuk-buruknya seseorang, pasti terdapat satu-dua kualitas baik di dalam dirinya. Meskipun terkadang sulit bagi kita untuk bergaul dan menerima orang dengan tabiat buruk, kita perlu menilai mereka dengan berimbang dan berusaha memperbaiki tabiat buruk tersebut dengan menunjukkan dan memberitahukan cara pelatihannya.

2. Meskipun biksuni Thullananda memiliki keterampilan dalam membabarkan Dhamma, hal ini tidak menolongnya dalam pencapaian kesucian. Demikian pula, pengetahuan Dhamma tidaklah berguna kecuali kualitas-kualitas Dhamma dilatih, diserap dan diinternalisasikan.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *