• Friday, 9 June 2017
  • Komala Somadevi
  • 0

Mengikuti jejak Albert Camus, Radhule Weininger merenungkan kembali mitos sang penderita sebagai teladan yang penuh suka cita.

Pada masa yang sulit dan tidak terprediksi ini, kita mengalami kekhawatiran, ketakutan, dan kengerian yang semakin menjadi.

Ketika saya merenungkan tentang orang-orang yang mendedikasikan diri untuk kesejahteraan dunia, layanan kesehatan, lingkungan, dan hak-hak imigran, maka saya teringat pada Sisyphus. Pahlawan Yunani ini dikutuk oleh para dewa untuk melaksanakan satu tugas abadi. Setiap hari Sisyphus harus berrjuang mendorong sebongkah batu ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu itu kembali menggelinding jatuh. Beberapa orang menilai Sisyphus sebagai seorang penderita klasik, terkutuk untuk terus-menerus mengerjakan tugas yang tidak bermanfaat dan sia-sia.

Seperti Sisyphus, kita curiga bahwa bongkahan batu yang kita dorong ke puncak gunung akan menggelinding ke bawah lagi. Kita memiliki kekhawatiran bahwa tindakan-tindakan yang kita lakukan ternyata sia-sia.

Salah satu penulis termahsyur yang menelaah mitos ini adalah Albert Camus, seorang penulis eksistensialis. Ia mengajukan perspektif baru dan inspirasional untuk memahami Sisyphus. Dalam Mitos Sisyphus, Camus melihat pahlawan absurd itu sebagai seseorang yang menentang para dewa karena mereka menyalahgunakan kekuatan. Hukuman Sisyphus akibat ucapannya adalah bekerja keras mendorong batu ke atas gunung. Menurut interpretasi Camus, Sisyphus mengerti situasi yang ia hadapi, apa yang menyebabkan situasi tersebut terjadi, serta bagaimana nasibnya di masa depan. Menurut Camus, Sisyphus mendorong batunya dengan sikap penuh kesadaran, martabat, bahkan suka cita, memilih untuk hadir dalam tugasnya. Sisyphus menyadari bahwa ia tidak memiliki pilihan selain terus-menerus mendorong batu tersebut ke atas gunung yang tinggi dan terjal, sehingga ia memanfaatkan situasinya untuk mengubah kesedihan menjadi suka cita.

Saya mulai melihat bahwa Sisyphus adalah seorang yang tercerahkan”. Foto Oleh Oliver P

Apa adanya

Saya melihat Sisyphus sebagai seseorang yang hadir dengan dirinya apa adanya; ia menerima keabsurdan. Keabsurdan bagi Camus adalah akibat dari keinginan kita untuk menemukan arti di dunia yang tanpa arti. Sisyphus menyadari bahwa dengan memelihara bagian dari satu kesatuan, maka ia memelihara keseluruhannya. Camus menulis “…setiap atom dari batu itu, setiap serpihan mineral yang terdapat pada gunung gelap itu, dengan sendirinya telah membentuk suatu dunia”. Dalam keterlibatannya dengan dunianya sendiri melalui tindakan penuh kesadaran, belas kasih, dan kehadiran penuh, maka Sisyphus terlibat dengan seluruh dunia.

Pada retret meditasi yang baru saja saya ikuti, saya merasa tertarik untuk merefleksikan batu Sisyphus dan hubungannya dengan batu tersebut. Saya terus-menerus kembali ke pemahaman dasar bahwa: ketika kita merawat dunia pribadi kita dengan perhatian penuh kasih, maka kita juga merawat dunia secara keseluruhan. Saya memikirkan orang-orang yang saya kenal, walaupun mereka menghadapi rintangan-rintangan berat, mereka bekerja sepenuh hati melalui cara-cara sederhana untuk membantu dunia. Teman saya Manny Jesus adalah seorang profesor psikologi yang sudah pensiun. Ia berjuang tanpa lelah untuk memastikan kesejahteraan dan perlindungan pemuda-pemuda Meksiko-Amerika melalui keterlibatannya di dewan pemerintah kota. Sementara Nancy dan tujuh ibu lainnya menulis surat kepada anggota kongres tentang layanan kesehatan, pendidikan dan lingkungan karena mereka mencemaskan nasib generasi muda di masa yang akan datang.

Foto Oleh S. Tipchai

Sudut pandang

Bagaimanakah jadinya jika kita melihat bongkahan batu dengan cara yang baru? Bukan sebagai beban satu Sisyphus yang harus mendorong batu pribadinya ke atas bukit, namun sebagai beban kita bersama berupa bongkahan batu kasar dan berat yaitu kondisi manusia? Bagaimanakah jadinya jika dengan mata terbuka dan penuh penerimaan akan kondisi manusia, kita mampu memutuskan untuk mengangkat bongkahan batu ini demi seluruh umat manusia? Melihat setiap tindakan sekecil apa pun itu sebagai tindakan welas asih dan solidaritas, sebagai suatu pemahaman bahwa setiap orang memiliki tugas mendorong batu berupa kondisi manusia ini, sehingga kita dapat memberikan arti ke dalam kehidupan kita.

Saya mulai melihat Sisyphus sebagai seorang bodhisattwa. Dalam tradisi buddhis, bodhisattwa adalah seorang yang tercerahkan, yang memilih untuk tidak memasuki Nirwana supaya ia bisa tinggal bersama makhluk hidup lainnya, sampai makhuk terakhir yang menderita berhasil diselamatkan. Bodhisattwa memahami bahwa segala hal dalam kehidupan itu saling bergantung dan terus-menenerus timbul, selamanya. Bodhisattwa melakukan tugasnya dengan penuh cinta kasih dan tanpa memperhitungkan hasil jangka pendek. Pemahaman mendalam seorang bodhisattwa bahwa kita semua terhubung, kita semua keluarga, menimbulkan rasa cinta kasih yang mendalam dalam dirinya.

Seorang cendekiawan buddhis dan aktivis sosial Joanna Macy mengatakan, “Jika kita memilih bodhicitta, yaitu keinginan untuk kesejahteraan seluruh makhluk hidup, sebagai batu pondasi kita, maka pondasi inilah yang dapat kita andalkan, terlepas dari apa pun yang terjadi.”

Sisyphus berdasarkan interpretasi Camus dipenuhi dengan suka cita. Dia merasakan kegembiraan ketika menerima nasibnya. Dia memiilh untuk menjalani nasibnya, atas keputusannya sendiri.

Apa yang terjadi ketika Sisyphus berjalan turun dari gunung, menyadari kakinya menyentuh tanah, sebelum ia memilih untuk mendorong bongkahan batunya sekali lagi? Ketika Sisyphus versi saya sedang berjalan ke bawah, mengikuti gravitasi, ia berada dalam ketenteraman. Momen ini memberinya istirahat dan perlindungan untuk bersama dengan apa yang ada, namun dengan keringanan batin dan tujuan.

Ketika kita memberi kepada orang lain dengan penuh cinta kasih, kita mulai melampaui kesepian, pemisahan dan ketakutan. Ketika memikirkan keterlibatan saya dengan dunia masa kini, saya merasakan kebebasan. Saya melihat diri sendiri sedang menjalani sejumlah proyek yang didukung dengan keputusan saya sendiri dan kelemahlembutan yang saya rasakan untuk sesama manusia. (Oleh Radhule Wuininger/Lionsroar.com)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Komala Somadevi

Perempuan. Lulusan perguruan tinggi di Bandung jurusan komunikasi internasional. Volunteer di thubtenchodron[dot]org. Kini menetap di Jogja. Mengelola tempat makan sederhana, "Angon".

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *