Pertama-tama kita perlu memahami bahwa tidak ada sepatah kata pun yang diajarkan oleh Buddha yang tidak bertujuan untuk membantu para makhluk hidup mengatasi penderitaan mereka dan mencapai kebahagiaan yang sempurna.
Ajaran-ajaran Buddha dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori sebagai berikut:
Yang pertama adalah ajaran yang diberikan kepada mereka yang hanya ingin mencapai kebahagiaan ‘samsarik’ berupa kelahiran kembali yang lebih baik dalam tumimbal lahir samsara;
Yang kedua adalah yang diajarkan kepada mereka yang ingin mencapai pembebasan dari samsara secara perorangan, dengan demikian mengakhiri penderitaan mereka sendiri; dan
Yang ketiga diberikan kepada mereka yang ingin mencapai Kebuddhaan sehingga mereka pun dapat membantu makhluk lain untuk membebaskan diri mereka dari penderitaan samsara dan mendapatkan kebahagiaan sejati pula.
Kategori yang ketiga ini terbagi lagi menjadi dua bagian berdasarkan metode yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu:
Paramitayana
Tantrayana
Kedua metode ini membuahkan hasil yang persis sama, yaitu Kebuddhaan. Buddha mengajarkan kedua metode ini sesuai dengan kemampuan dan cara berpikir murid-muridnya. Paramitayana atau Jalan Kesempurnaan, juga disebut sebagai “yana penyebab”, sedangkan Tantrayana juga disebut sebagai “yana penghasil”.
Untuk memahami lebih jauh pembagian ini, kita harus tahu bahwa secara umum praktek keenam kesempurnaan (paramita) adalah penyebab Kebuddhaan. Apa yang selanjutnya juga harus kita pahami adalah bahwa paramitayana disebut sebagai “kendaraan penyebab” karena paramita kemurahan hati, konsentrasi, kebijaksanaan, dan sebagainya tersebut apabila dimeditasikan secara langsung akan menyebabkan tercapainya Kebuddhaan. Sang praktisi membangkitkan kebajikan-kebajikan ini di dalam dirinya dan mengembangkannya melalui meditasi.
Cara yang dilakukan oleh praktisi Tantra berbeda. Orang tersebut akan “langsung” memeditasikan kesunyataan dan setelah menghasilkan kebijaksanaan tersebut dalam pikirannya, dia akan memeditasikan pemahaman kesunyataan itu muncul dalam wujud seorang Buddha yang berbentuk agung, yaitu disebut juga sebagai Istadewata. Kemudian paramita lainnya (dana dan sebagainya) dimeditasikan sebagai berbagai bentuk atribut seorang Buddha, seperti perhiasan, dan seterusnya. Sebelum benar-benar mencapai tujuan akhirnya yaitu Kebuddhaan, praktisi Tantra ketika berlatih di jalan ini “seolah- olah” telah mendapatkan aspek hasil dari tujuan akhirnya yaitu Kebuddhaan. Oleh karena itu Tantrayana juga disebut sebagai “kendaraan penghasil”.
Di kemudian hari saat kita telah menjadi Buddha, kita akan memiliki bentuk seorang Buddha, tubuh dan semua atribut, iring-iringan serta aktivitas-aktivitasnya. Dalam Tantra kita menerapkan hasil tersebut pada saat kita masih berada pada jalan menuju hasil itu. Meskipun kita belum mencapai baik tubuh maupun atributnya, kita bermeditasi seolah-olah kita telah memiliki semua atribut-atribut tingkat Kebuddhaan yang kita tuju.
Jadi, di Paramitayana kita memeditasikan keenam paramita secara langsung. Kita mencoba untuk mengembangkan berbagai kualitas dalam pikiran kita dan menstabilkannya. Sebaliknya, di Tantrayana, kita memeditasikan berbagai kualitas paramita tersebut dan mengembangkannya dalam batin kita sebagai bentuk tubuh seorang Buddha dan atributnya.
Buddha mengajarkan Tantra untuk pertama kalinya setahun setelah Beliau mencapai Pencerahan Agung. Ketika itu, beliau mengajarkan Prajna Paramita Sutra di Gunung Puncak Nasar di India Utara dekat Rajagriha dan pada saat yang bersamaan di India Selatan beliau juga mengajarkan Tantra.
Prajna Paramita Sutra
Pada saat mengajarkan Prajna Paramita Sutra beliau tampak sebagai seorang biksu, namun ketika mengajarkan Tantra, beliau menampakkan diri dalam bentuk lengkap dengan berbagai atribut dan perhiasan dan dikenal dengan sebutan Vajradhara. Buddha dalam wujud Vajradhara mengajarkan empat kategori Tantra sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan muridnya, yaitu: Kriya Tantra, Charya Tantra, Yoga Tantra, dan Anuttara Yoga Tantra.
Adapun kriteria untuk membedakan antara mereka yang sesuai untuk menerima ajaran Paramita dan mereka yang sesuai untuk menerima ajaran Tantra adalah berdasarkan kapasitas batin, secara khususnya yaitu kemampuan untuk bertahan melawan dan mengatasi klesha-klesha secara umum maupun klesha utama, nafsu keinginan (Tanha). Jadi pada saat nafsu keinginan muncul, apakah mereka dapat menghentikannya.
Sedangkan yang membedakan kemampuan batin mereka dalam mengatasi klesha adalah kedalaman pemahaman mereka masing-masing mengenai kesunyataan. Jadi pengertian tentang kesunyataan adalah penawar untuk racun kemelekatan. Semakin dalam pengertian tentang kesunyataan maka semakin mampu ia mengatasi kemelekatan.
Untuk dapat menjalankan Tantra kita harus mendapatkan ajaran dari seorang guru Tantra yang berkualifikasi dan benar-benar memenuhi syarat.
Sebaliknya kita sendiri pun harus memenuhi syarat yang lengkap pula untuk menjadi murid Tantra yang baik dan benar. Kita telah melihat bahwa zaman sekarang banyak sekali orang-orang mempraktikkan Tantra. Apakah ini berarti bahwa banyak orang yang sudah cocok untuk menjalankan Tantra? Sebenarnya tidak, bahkan sebenarnya sedikit sekali orang yang benar-benar cocok untuk menjalankan Tantra.
Zaman sekarang ada anggapan salah bahwa tidak apa-apa bila seorang praktisi Tantra merasakan kemelekatan, bahkan makin banyak kemelekatan yang dialami oleh praktisi Tantra itu lebih baik. Perlu dipahami bahwa ini adalah suatu pandangan yang sama sekali salah bahkan berlawanan dengan ajaran Buddha.
Jadi, sekali lagi ditekankan bahwasanya Buddha mengajarkan orang yang cocok untuk menerima ajaran dan menjalankan praktik Tantra adalah orang yang batinnya mampu mengatasi klesha-klesha, terutama kemelekatan. Ini yang harus dicapai terlebih dahulu sebelum sang murid dapat melanjutkan praktik Tantra.
Oleh karena itu, ada yang dinamakan sebagai dua jenis persiapan sebelum seseorang layak menerima ajaran dan mempraktikkan tantra, yaitu:
persiapan biasa dan
persiapan khusus.
Apa yang disebut sebagai persiapan biasa adalah melatih diri dalam ketiga tingkatan jalan yang sesuai dengan kapasitas ketiga jenis makhluk, sebagaimana diajarkan oleh Guru Atisha, yaitu makhluk dengan kapasitas kecil, menengah dan agung. Latihan-latihan ini juga yang kemudian dirangkumkan oleh Je Tsongkhapa menjadi yang dinamakan sebagai Tiga Prinsip Utama Sang Jalan, yaitu:
Membangkitkan sebuah sikap hendak meninggalkan kemelekatan terhadap tumimbal lahir samsara;
Melatih Bodhicitta, yaitu membangkitkan keinginan untuk mencapai pencerahan demi menolong para makhluk,
Berupaya mendapatkan pandangan benar tentang kesunyataan.
Idealnya adalah seseorang harus sudah bisa memperoleh realisasi spontan yang tanpa upaya atas Ketiga Prinsip Utama Jalan tersebut (penolakan samsara, bodhicitta dan pemahaman sunyata). Namun bila belum bisa mencapai realisasi spontan, paling tidak calon praktisi harus sudah mempunyai pengertian yang mendalam dan berupaya keras untuk memahami ketiga hal tersebut.
Praktisi Tantra
Jadi calon praktisi Tantra harus sudah memiliki suatu tingkatan pemahaman yang jelas dan tahu bagaimana caranya untuk menjalankan praktik- praktik yang akhirnya akan membawanya ke pencapaian-pencapaian tersebut. Ini adalah syarat minimal. Ini mencakup perlindungan kepada Tri Ratna, karena berlindung itu adalah pintu utama untuk masuk ke ajaran Buddha, dan ini juga mencakup pembangkitan bodhicitta, yaitu keinginan untuk mencapai pencerahan agung demi kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan persiapan khusus? Ini adalah inisiasi (abhiseka), yang merupakan pintu masuk ke jalan Tantra. Inisiasi bukan hanya berkaitan dengan ritual dan sebagainya, yang sebenarnya hanyalah merupakan perlengkapan dari inisiasi itu sendiri. Yang menjadi pokok dari inisiasi adalah suatu kebijaksanaan utama yang timbul dalam batin kita melalui inisiasi tersebut. Inilah inisiasi yang sebenarnya.
Ketika Vajra-Acarya melakukan ritual inisiasi di hadapan para murid, Vajra-Acarya akan menjelaskan segala yang berkaitan dengan ritual tersebut dan para murid melakukan meditasi-meditasi yang wajib dilakukan. Bila persiapan mereka sudah matang para murid akan mampu membangkitkan kebijaksanaan utama (yang merupakan inisiasi yang sesungguhnya) dalam batin mereka.
Ini hanya bisa terjadi berkat pengertian yang mendalam tentang kesunyataan dan berdasarkan kualitas persiapan mereka pada jalan umum yang telah dijelaskan sebelumnya. Seandainya seorang murid belum bisa mendapatkan realisasi pemahaman tentang kesunyataan yang spontan, paling tidak dengan keyakinan mereka pada Sang Vajra-Acarya dan Istadewata yang bersangkutan, lalu berdasarkan petunjuk Vajra-Acarya pada saat inisiasi, maka sang murid bisa membangkitkan suatu realisasi “yang diupayakan” melalui meditasi dan perenungan-perenungan yang tepat.
Dengan demikian sang murid dikatakan mendapatkan suatu pemahaman tentang kesunyataan berdasarkan upaya dan muncul keyakinan bahwa ia telah menerima kebijaksanaan utama dari inisiasi tersebut. Di tahap ini barulah dapat dikatakan bahwa sang murid telah menerima inisiasi yang sesungguhnya.
Saat menerima inisiasi, sang murid juga berjanji untuk menjalankan sejumlah komitmen atau ikrar yang berupa praktik-praktik sesuai dengan petunjuk Vajra-Acarya. Kemudian bila kita terus berlatih dengan semua upaya, maka satu per satu, semua klesha, akan terhapuskan hingga akhirnya kita mencapai tingkat penyucian yang lengkap sempurna, dan kita dikatakan berhasil mencapai tingkat Vajradhara, yaitu Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna.
Tulisan di atas disarikan berdasarkan sesi-sesi pengajaran Guru Dagpo Rinpoche, seorang Guru Besar kelahiran Tibet namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan Indonesia, karena garis kelahiran kembali beliau dapat ditelusuri hingga ke Guru Suwarnadwipa dari Kerajaan Sriwijaya, sebagaimana dikukuhkan oleh Yang Maha Suci Dalai Lama ke-13.
Di dunia saat ini, selain dikenal sebagai Kelahiran Kembali yang Otentik dari Sang Mahabiksu abad ke-10 dari Sriwijaya tersebut, beliau juga dikenal sebagai seorang Guru Besar Pemegang Silsilah Otentik dari Tradisi Lamrim (Tahapan Jalan Menuju Pencerahan), sebuah tradisi yang diprakarsai oleh Guru Atisha sejak abad ke-10, yang mengajarkan cara belajar dan memeditasikan ajaran-ajaran Buddha secara terstruktur dan bertahap.
Tahun 2019 menandai 30 Tahun Cipta, Karsa dan Karya Guru Dagpo Rinpoche di Nusantara, sebuah perjalanan yang sudah dimulai beliau sejak 1989 hingga sekarang. Dengan demikian, beliau menjadi salah satu dari tidak banyak guru-guru besar yang telah membina Buddhadharma di Indonesia secara konsisten selama tiga dasawarsa.
Praviravara Jayawardhana
Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara