• Sunday, 23 November 2025
  • Surahman Ana
  • 0

Foto: SS Ana Surahman

Wanita Theravada Indonesia (WANDANI) menyelenggarakan talkshow online bertajuk “Dhamma sebagai Sumber Kekuatan dan Kedamaian” pada Selasa (4/11/2025). Acara tersebut mengupas secara mendetail proses terbentuknya bumi, kemunculan manusia pertama, hingga konsep kiamat menurut ajaran Buddhisme, dengan menghadirkan narasumber kompeten, Selamat Rojali.

Pemateri, Romo Ir. Selamat Rodjali, M.Pd., CHt®, CSM®, adalah lulusan bidang Agronomi dengan spesialisasi teknik kloning. Ia telah memperdalam ilmu Abhidhamma di bawah bimbingan beberapa guru, antara lain Pandit Kaharuddin, Mrs. Nina van Gorkom dari Belanda, dan Khun Sujin Boriharnwanaket dari Thailand. Untuk mendalami praktiknya, Rojali juga melakukan latihan meditasi dengan metode Mahasi, yang dibimbing langsung oleh almarhum Y.M. Bhikkhu Girirakkhito dan almarhum Y.M. Bhikkhu Thitaketuko.

Selain berprofesi sebagai konsultan dan wiraswastawan, Rojali pernah menjadi dosen Abhidhammatthasangaha di salah satu Sekolah Tinggi Agama Buddha. Saat ini, ia aktif sebagai Pandita Muda anggota Magabudhi Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Pembina Yayasan Be Good; Pengawas Jakarta Buddhist Centre; dan Pembina Yayasan Cittaviveka. Ia juga rutin mengajar kelas Sutta dan Abhidhamma di Yasati.

Proses Terbentuknya Bumi dan Manusia Pertama

Pada pemaparannya, Rojali menjelaskan bahwa bumi bukanlah pusat tata surya, melainkan bergerak mengelilingi matahari. Menurutnya, awal terbentuknya bumi merupakan hasil proses pergerakan alamiah, bukan diciptakan oleh sosok “Maha Pencipta”. Dari pandangan agama Buddha, matahari berjumlah miliaran dan bergerak seperti pusaran air, yang kemudian kita kenal saat ini sebagai galaksi. Dalam pergerakan tersebut, dilepaskan energi yang disebut energi tereksitasi.

“Dalam ilmu fisika, energi tereksitasi semakin lama semakin dingin. Nah, dalam proses pendinginan itu terjadilah bumi. Jadi, bumi ini merupakan hasil proses pendinginan dari yang berputar, fluida yaitu zat alir yang berputar semakin dingin semakin padat lalu bumi terbentuk. Bumi ini semakin dingin, energinya semakin berkurang dan semakin energinya berkurang, ia semakin gelap,” terang Rojali.

Ia menambahkan, sementara bumi semakin gelap, bagian luar justru semakin tampak terang, termasuk matahari dan bintang-bintang yang semakin jelas terlihat. Mengutip Aggañña Sutta, Rojali menjelaskan bahwa saat bumi masih gelap, makhluk-makhluk dari alam Abhassara (alam cahaya) terlahir di bumi dan masih melayang-layang dalam wujud cahaya. Pada masa itu, muncul buih bumi sebagai dampak pergerakannya.

“Para makhluk bercahaya tersebut memakan buih bumi yang menjadikan cahayanya semakin lama semakin redup sesuai dengan banyaknya buih yang dimakan. Semakin banyak memakan buih, cahayanya semakin hilang dan tubuhnya memadat hingga menjadi bentuk manusia, namun di zaman itu belum ada jenis kelamin,” lanjutnya.

Seiring waktu, manusia mengalami evolusi, muncul jenis kelamin, dan terus berkembang hingga seperti sekarang. Rojali menekankan bahwa dalam Buddhisme, manusia pertama muncul dalam jumlah banyak, bukan hanya satu atau dua orang.

“Dalam ilmu biologi, kalau hanya satu atau dua orang yang menurunkan, maka akan muncul penyakit hereditas, penyakit yang diturunkan dari keturunan langsung, ayah ibu dengan anak, misalnya. Itu sumber hereditas. Maka tidak diperbolehkan kawin sesama anggota keluarga, terjadi penyakit hereditas, penyakit biologi yang sangat berbahaya karena keturunan,” lanjut Selamat.

Ia menegaskan, jika manusia awal hanya dua orang, seharusnya manusia sekarang semua terjangkit hereditas, tapi kenyataannya kita tidak terkena penyakit ini. Di sisi lain, keragaman warna kulit, ras, dan sebagainya, menurut Selamat, tidak sesuai dengan konsep manusia pertama dua orang.

Kesesuaian Buddhisme dengan Sains dan Konsep Kiamat

Rojali juga menyoroti kesesuaian antara Buddhisme dan sains, termasuk dalam hal kiamat. Mengacu pada Satta Sūriya Sutta, ia menjelaskan bahwa kiamat terjadi ketika lintasan matahari searah dengan bintang-bintang lain, menyebabkan matahari saling berdekatan.

“Pada suatu saat, lintasan matahari dalam pergerakannya di alam semesta mengalami perlintasan bintang yang searah, sehingga matahari saling berdekatan, artinya dua matahari dekat dengan bumi. Maka bumi, karena ada dua matahari, semakin lama semakin panas. Kemudian semakin lama, di dalam sutta disebutkan tujuh matahari lintasannya searah, maka muncul tujuh matahari hingga air di samudera tinggal hanya setinggi mata kaki. Artinya airnya sudah mulai hilang, buminya belum hancur,” paparnya.

Ia menambahkan, manusia pada masa itu memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda, termasuk tahan panas dan kemampuan meditasi yang tinggi, sehingga setelah meninggal terlahir di alam Brahma yang terbebas dari kepanasan. Setelah kemunculan tujuh matahari dalam waktu lama, bumi akhirnya hancur karena panas yang ekstrem, yang disebut sebagai kiamat. Namun, proses ini membutuhkan waktu yang sangat lama, yang artinya kiamat juga masih sangat lama, sangat jauh.

“Jadi, di sini pandangan agama Buddha mengenai terbentuknya bumi dan kiamat sejalan dengan sains, berbeda dengan agama-agama lain. Munculnya manusia pertama di bumi pun berbeda, tetapi kita fair, kalau dihitung-hitung tidak salah alamat. Buktinya sekarang banyak manusia, yang pertama banyak, yang terlahir banyak, juga dari alam-alam lain bisa terlahir di alam manusia ini,” ujarnya.

Rojali juga menegaskan bahwa meskipun banyak kesesuaian antara Buddhisme dan sains, masih ada hal-hal yang belum dapat dibuktikan oleh sains.

“Jika ada yang tidak sesuai, artinya sains yang belum bisa membuktikan Buddha Dhamma, bukan Buddha Dhamma yang belum membuktikan, karena Buddha Dhamma sudah selesai. Sains hingga saat ini masih terus berkembang,” tegasnya.

Ia menjelaskan, perbedaan ini terjadi karena sains berdasar pada lima indera, sedangkan Buddha Dhamma mencakup enam indera.

“Kenapa demikian? Karena sains dasarnya lima indera, sedangkan Buddha Dhamma enam indera. Jadi ada yang tidak bisa dijangkau oleh lima indera saat ini, tetapi bisa dijangkau oleh indera keenam,” tegasnya.

Rojali menambahkan, kondisi orang-orang di masa sekarang mulai memikirkan tentang pikiran dan hal-hal yang sudah dilihat oleh Sang Buddha dengan kekuatan pikirannya. Kini, ilmu pengetahuan dan teknologi mulai membuktikan kebenaran tersebut.

“Artinya kemampuan-kemampuan Buddha semakin terbukti sekarang. Sains semakin membuktikan Buddhisme, betapa bangganya kita terhadap Dhamma. Kita tidak perlu mencocok-cocokkan dengan sains, tetapi sains yang harus sesuai dengan Buddhisme. Kalau ada yang tidak cocok, karena sains belum bisa membuktikan Buddhisme. Betapa hebatnya Dhamma,” pungkasnya.

“Jadi, kita selain yakin terhadap kemoralan Dhamma, tapi Dhamma itu sangat scientific,” tutup Rojali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *