Minggu (30/10), mentari pagi menyapa umat Buddha di Prasadha Jinarakkhita, Jakarta Barat yang bersatu padu untuk melakukan perbuatan baik. Pukul tujuh pagi, para anggota Sangha mulai melakukan pindapata sebagai awal dari rangkaian kegiatan Kathina pada hari itu. Umat Buddha yang telah berkumpul terlihat antusias dan bergembira, halaman belakang gedung adalah tempat kegiatan pindapata ini.
Usai pindapata dan anggota Sangha makan pagi, acara dilanjutkan di auditorium Gedung Prasadha Jinarakkhita. Di tempat ini dilangsungkan kegiatan puncak yaitu puja bakti dan Perayaan Kathina Nasional. Perayaan Kathina tahun ini mengangkat tema “Berderma di Saat Kathina”.
Pesan Dhamma yang menyejukkan hati disampaikan oleh Bhikkhu Dharmasurya Bumi. Bhante menjelaskan mengenai peristiwa, manfaat, tujuan dan cara berkenaan dengan upacara Kathina.
Bhante menjelaskan, kejadian jubah yang basah, robek dan kotor yang dilihat langsung oleh Buddha merupakan awal dari peristiwa Kathina. “Saat itu Sang Buddha menyaksikan jubah para bhikkhu yang rusak, karena pada saat itu jubah merupakan gabungan dari berbagai macam kain, baik sisa pembuangan atau bahkan sisa kain mayat. Sehingga ada satu umat awam memiliki inisiatif, memohon kepada Sang Buddha bahwa diperkenankannya membuat jubah,” terang Bhante.
Kondisi sekarang sangat berbeda dengan zaman Buddha. Jumlah jubah tidak lagi langka, melainkan banyak, sehingga Bhante menekankan, “Saat upacara persembahan Kathina, perlu diutamakan adalah makanan, bukan jubah.”
Akan tetapi, makanan yang didanakan secara berlimpah dapat menyebabkan kecemburuan dan perpecahan. Namun ketika umat dapat berdiskusi secara bersama dalam memberikan dana kepada Sangha, hal ini akan membantu umat dalam meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan.
“Umat Buddha seminimalnya diusahakan melatih diri dalam hal sila, yaitu lima sila. Lima sila atau Pancasila sangatlah penting,” Bhante menegaskan.
“Baik itu umat awam atau bhikkhu, ketika mereka mudah dirawat, tidak berani menentang, takut akan akibat suatu perbuatan, maka inilah sumber bagi seseorang dalam membangkitkan keyakinannya, dalam memilih keyakinan.
“Keyakinan bukanlah barang gadaian atau barang dagangan yang dapat dinilai. Keyakinan (saddha) akan selalu menjadi milik bagi orang yang memilikinya dan menanamkannya. Berbeda dengan rumah, mobil, atau barang-barang yang ketika kita meninggal, akan kita tinggalkan.
“Dengan melaksanakan lima tekad (sila), seorang umat Buddha akan memiliki tiga kekayaan, yaitu: (1) keyakinan/saddha, (2) rasa malu (hiri), dan (3) rasa takut (ottapa). Ketiga hal ini ketika sudah meningkat, akan mengarah pada pandangan benar yang menjurus pada pemurnian Dhamma,” jelas Bhante.
Bhante melanjutkan, “Hal itu dapat berkembang jika sudah memiliki tujuh kekayaan Ariya. Saudara tidak akan terlahir seperti sekarang ini, cukup satu kali lahir lagi sudah bisa mencapai pembebasan.”
Lima sila ketika dipraktikkan dengan kesungguhan, akan menuntun pada Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Lima sila merupakan gambaran delapan faktor jalan mulia. Secara bersamaan juga diumpamakan sebagai pandangan benar.
Menurut Bhante, ada tiga pandangan benar. Pertama, pandangan benar secara umum. Lima sila sesungguhnya dapat diterima oleh seluruh agama di dunia. Menghindari kejahatan, memupuk kebajikan, dan memiliki cara untuk meninggalkan kejahatan dengan memupuk kebajikan, bersihkan pikiran. Kekeliruan yang terjadi pada umat Buddha adalah selalu mengatakan “sucikan pikiran”. Lebih tepat manakala dikatakan dengan istilah “bersihkan pikiran”, karena pikiran tidak akan selamanya menjadi suci.
Bhante memberikan gambaran, “Seorang guru memberitahukan kepada siswanya, bahwa daratan yang di danau ialah daratan yang digenangi air. Ketika sore itu hujan dan siswa tersebut pulang dari sekolah, rumahnya itu adalah tanah yang agak rendah dan digenangi air. Kemudian siswa ini mengatakan bahwa ini adalah danau. Itulah yang disebut pandangan salah secara umumnya.”
Kedua, pandangan benar secara penuh. Artinya pandangan agama Buddha digambarkan seperti guru yang bijaksana. Pandangan dalam agama Buddha meliputi pandangan untuk meninggalkan kejahatan, memupuk kebaikan, dan membersihkan pikiran. Untuk menghindari kejahatan, maka ketiga hal tersebut harus dilakukan.
Ketiga, pandangan benar secara Ariya. Meninggalkan rumah, mencukur rambut, dan hidup tanpa rumah adalah pandangan benar secara Ariya. Dengan kata lain, menjalankan kehidupan sebagai seorang samana.
“Ketiga hal ini tidak boleh dicampur aduk. Latihlah lima sila dengan penuh perhatian, sesuai dengan kemampuan, dengan cara menghindari. Menghindari diri dari pembunuhan, pencurian, asusila, bohong, dan mabuk. Ketika lima sila dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, Anda memiliki perhatian. Memiliki perhatian artinya memiliki konsentrasi. Dalam bahasa Pali dikatakan sebagai ‘samadhi’,” terang Bhante.
Sila menumbuhkan samadhi. Ketika dua hal ini muncul dan digabungkan, akan tumbuh kebijaksanaan (panna). Ini adalah Jalan Mulia Berfaktor Delapan (Attha Ariya Magga).
“Manfaat kita mempraktekkan lima sila, yaitu menimbulkan keyakinan. Keyakinan bisa tumbuh kalau kita melakukan perbuatan, yaitu perbuatan baik. Berdana memiliki dasar keyakinan. Keyakinan yang tumbuh dan semakin berkembang akan menjadi benteng agar kita tidak terjerumus ke perbuatan yang buruk.
“Benteng itulah yang disebut dengan rasa malu dan takut (hiri dan ottapa). Jika manusia tidak memiliki hiri dan ottapa, ia akan bertindak semaunya tanpa sebuah aturan. Maka, melalui hiri dan ottapa inilah, tiga macam kekayaan yang harus kita kembangkan demi persatuan yang ada di dalam umat Buddha,” jelas Bhante.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara