• Wednesday, 12 June 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Dok. Panitia

“Diri sendiri adalah pelindung bagi diri sendiri. Inilah yang dikatakan oleh Sang Buddha, oleh karena itu hari ini saya ingin sekali bapak ibu sanggup menjadi pelindung bagi diri sendiri.”

Demikian petikan pesan Bhante Abhijato saat mengisi Dhammadesana dalam perayaan Waisak di Vihara Sasana Paramita Velusindoro Arama, Dusun Sigarut, Desa Rejosari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Minggu (2/6/2024).

Di hadapan lebih dari 2000 umat yang hadir, bhante menjelaskan praktek-praktek Dhamma agar seseorang bisa menjadi pelindung bagi diri sendiri. Bhante juga menerangkan bahwa praktek Dhamma merupakan puja tertinggi kepada Sang Buddha. “Lalu bagaimana kita bisa menjadi pelindung bagi diri sendiri?,” tanya bhante.

Yang pertama, bhante memulai penjelasan, adalah mempunyai banyak karma baik. Khususnya bagi para kawula muda, bhante sangat mendorong untuk mengisi waktu muda dengan banyak berbuat karma baik. Banyak cara untuk berbuat baik, terlebih hidup di pedesaan yang sangat kental dengan suasana kebersamaan dan bertetangga, bhante menilai peluang berbuat karma baik sangatlah luas. Dari sekian banyak kebajikan yang bisa dilakukan, beberapa termasuk jenis karma baik yang besar dan paling bermanfaat.

“Karma baik yang besar, salah satunya adalah mendukung pembangunan vihara. Kenapa demikian? Karena vihara itu awet, bahkan 200 tahun kadang-kadang masih ada, 300 tahun bisa masih ada. Vihara itu tempat berkumpulnya orang-orang untuk belajar Dhamma. Sekali vihara itu sudah terbangun, yang mendapatkan manfaat itu ribuan orang, contohya hari ini saja 2000 orang. Itulah kenapa membantu pembangunan vihara adalah kebajikan yang besar,” jelas bhante.

Dalam kontek ini, bentuk dukungan bisa melaui banyak cara termasuk rutinitas kerja bakti, berdana tenaga tanpa dibayar. Cara demikian dinilai lebih relevan bagi umat yang tinggal di pedesaan yang sudah terbiasa dengan gotong royong.

Lebih lanjut, bhante menerangkan hal kedua untuk menjadi pelindung bagi diri sendiri adalah tidak rapuh. Orang yang tidak rapuh berarti orang yang sudah terlatih dalam kesabaran atau pengendalian diri. Menurut bhante, orang yang sudah lihai dalam pengendalian diri akan mendapatkan banyak manfaat besar dalam kehidupannya, sebaliknya orang yang tidak bisa menahan diri akan banyak mengalami kerugian.

“Orang yang tidak bisa menahan dirinya akan gagal dalam kehidupan. Tidak bisa menahan diri itu buruknya banyak sekali, bagaimana nanti dia membangun rumah tangga yang menuntut banyak sekali kesabaran, bagaimana berbisnis nanti menghadapi pelanggan yang kadang ada yang suka marah-marah, kerja juga dimarahi bos, jadi di manapun kita tinggal pasti akan ditegur dan kadang-kadang dimarahin. Tetapi orang yang bisa menahan diri dia akan awet, mungkin dimarahi memang tidak enak, tetapi kan berubah menjadi lebih baik. Ditegur memang ndak nyaman, tapi kualitas meningkat.”

Bhante menekankan bahwa ketahanan diri berperan sangat vital dalam menghadapi segala kondisi kehidupan. Semakin dewasa seseorang akan semakin banyak tantangan yang menuntut kesabaram lebih, baik di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, lingkungan sosial masyarakat, lingkungan bisnis dan lainnya. Kesabaran adalah kendaraan untuk bertumbuh bagi orang yang sudah terbiasa melatih diri.  

“Jadi, yang dimaksud rapuh adalah terlalu gampak tersiksa ketika menderita. Seseorang yang gampang marah sebenarnya adalah kasihan, karena orang yang sedang marah marasa serba salah. Jadi ketika menemui situasi yang membuat menderita, bersabarlah. Sang Buddha mengatakan, tapa tertinggi adalah kesabaran atau ketahanan,” lanjut bhante.

Yang ketiga adalah pengendalian diri dan kebijaksanaan, yang merupakan pengembangan dari poin pertama. Menjelaskan prinsip ketiga ini, bhante menceritakan sebuah eksperimen tahun 1970 oleh universitas terbaik keempat dunia yaitu Stanford. Eksperimen tersebut bernama Marshmallow, makanan sejenis permen bertekstur lembut.

Dalam eksperimen ini melibatkan beberapa balita yang disuguhkan permen Marshmallow, yang menjadi kesukaan mereka. Para balita diberi janji bahwa jika mereka mampu menahan selama lima belas menit untuk tidak memakannya, maka akan diberi tambahan permen. Hasilnya, hampir semua anak tidak tahan dan hanya sedikit dari mereka yang mampu menahan hingga waktu yang ditentukan.

“Data eksperimen ini disimpan oleh peneliti, dan setelah puluhan tahun berlalu anak-anak tersebut tumbuh besar dan para peneliti mengecek kembali anak-anak tersebut. Dan hasilnya, anak-anak yang dulunya bisa menahan diri tidak makan permen selama lima belas menit ternyata luar biasa, nilai ujian mereka lebih tinggi daripada yang lainnya, kemudian pencapaian karir mereka juga lebih tinggi.”

“Dari sini, mereka mendapatkan kesimpulan bahwa orang-orang yang mampu menahan diri ternyata lebih berhasil dalam kehidupan. Oleh karena itu, kembangkan kemampuan dalam menahan diri, jangan gampang meledak, jangan gampang kehilangan kendali diri,” imbuh bhante.

Sementara terkait dengan pengembangan kebijaksanaan, bhante mendorong umat Buddha untuk praktek samadhi. Menurut bhante, pengetahuan Sang Buddha tentang batin yang diperolehnya melalui samadhi melampaui pengetahuan modern yang mengandalkan teknologi saat ini. Meskipun pengetahuan Sang Buddha sangatlah tak terbatas, ibarat dedaunan yang ada di seluruh hutan belantara, namun demikian Sang Buddha menyatakan bahwa apa yang diajarkanNya hanya segenggam daun.

Pengetahuan modern yang kian berkembang pesat memang membawa kemajuan, namun dibalik semua itu belum tentu bisa membebaskan manusia dari penderitaan. Bhante menegaskan, di dunia ini sangat banyak orang yang pintar dan cerdas akan ilmu pengetahuan modern, akan tetapi tidak sedikit yang mengalami depresi bahkan hingga level mengakhiri hidup. Hal ini yang membedakan antara pengembangan samadhi dan pengetahuan modern.

“Kenapa bisa terjadi, mungkin mereka hanya mempelajari pengetahuan yang ibarat dedaunan di seluruh hutan, namun tidak belajar yang segenggam tadi, yaitu tentang Dukkha. Karena hanya yang segenggam ini yang membawa pada kebebasan dari penderitaan. Kalau seseorang mengembangkan samadhi dengan baik, akan sangat jauh dari stress.”

Keempat adalah kebahagiaan batin. Dengan memiliki kebahagiaan batin, diri sendiri akan merasa senang demikian juga orang lain akan merasa senang. Dalam Dhamma, puncak kebahagiaan batin adalah Nibbana. Bhante menerangkan, seseorang yang berjuang dalam jalan Dhamma, sebelum mencapai puncak pun di setiap prosesnya akan semakin bahagia. Dakhir pesannya, bhante mengajak para umat berjuang mencapai tingkat kesucian.

“Pesan saya, bahagia dalam komuitas adalah sangat baik, tetapi mengembangkan diri dalam ajaran Sang Buddha adalah yang terbaik. Nikmatilah keduanya, masa Waisak ini adalah untuk mengembangkan diri,” pungkas bhante.  

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *