• Monday, 17 May 2021
  • Reza Wattimena
  • 0

Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Begitulah kiranya pengalaman seorang teman. Demi mendapat pekerjaan yang layak, ia merantau ke Jakarta. Di Jakarta, di hadapan tikaman kesepian, kekacauan dan radikalisme agama, ia terpaksa menjalani kehidupan yang bermutu rendah.

Tekanan batin dihadapinya dengan susah payah. Dalam jangka panjang, depresi pun berkunjung. Hidup terasa hampa tak bermakna. Larangan mudik 2021 pun semakin memperuncing derita.

Seorang teman lain hidup dihantui masa lalunya. Pernikahan gagal menggiring ia dan anak-anaknya ke dalam nestapa yang seolah tak ada jeda. Suasana hati turun naik bagaikan harga saham. Ia berkubang dalam derita yang ia sendiri tak paham akarnya.

Keduanya datang pada saya. Apa yang bisa dikata? Ketika agama dan keluarga sendiri tak membantu, malah menghakimi, orang pun terpojok dalam derita yang penuh dengan sepi. Saya tawarkan, apakah tertarik mendalami Dharma? Ya, jawab mereka.

Dharma

Apa itu Dharma? Ada banyak arti. Tapi, arti utama adalah jalan pembebasan yang berpijak pada hukum-hukum alam. Alam punya pola yang jelas. Jika kita hidup sesuai dengan pola-pola alam, kita akan terbebaskan dari penderitaan hidup.

Dharma bisa dijelaskan dengan berbagai cara. Saya akan mencoba menjelaskan pengertian yang paling sederhana, sekaligus paling tajam. Dharma adalah memahami, siapa diri kita yang sebenarnya. Jika kita sungguh memahami siapa diri kita yang sebenarnya, maka semua derita akan lenyap seketika.

Jadi, siapa kita sebenarnya? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab langsung secara positif. Ia hanya bisa dijawab secara negatif. Artinya, kita mencoba menyingkirkan apa yang bukan kita, lalu kita sampai pada sesuatu yang tak bisa disingkirkan. Itulah diri kita yang sebenarnya.

Tiga langkah dharma

Ada tiga langkah. Pertama, apakah kita adalah pikiran kita? Yang jelas, pikiran kita berubah setiap saat. Bahkan, kadang kita melamun. Tidak ada pikiran.

Maka, kita bukanlah pikiran kita. Diri kita yang asli berada sebelum pikiran. Tradisi Zen amat kuat di dalam proses membawa manusia ke keadaan sebelum pikiran. Siapa kita, sebelum pikiran kita muncul?

Dua, apakah kita adalah tubuh kita? Jelas, tubuh kita terus berubah. Kadang mengurus, kadang menggemuk. Tubuh kita juga bertambah tua.
Maka, kita bukanlah tubuh kita. Tubuh hanyalah hasil kumpulan makanan yang sudah kita makan. Ia adalah sisa-sisa pengolahan makanan semata. Jika saatnya tiba, energinya berubah, tubuh pun ditelan bumi.

Tiga, apakah kita adalah identitas sosial kita? Identitas sosial itu termasuk suku, ras, warga negara, gender dan agama. Semua itu bisa dengan mudah berubah. Semua adalah ciptaan masyarakat yang ditempelkan pada kita.

Jadi, kita yang asli berada sebelum identitas sosial, sebelum semua label ditempelkan pada diri kita. Sejatinya, tak ada kata untuk ini. Tak ada konsep yang cukup jitu menggambarkannya. Namun, untuk keperluan penjelasan, saya memakai kata ini: kita adalah “kehidupan” itu sendiri, energi yang hidup.

Sebagai energi yang hidup, kita sama dengan segala hal. Diri kita adalah alam semesta itu sendiri. Kita berdiri berdampingan dengan semua bentuk kehidupan. Cinta terhadap semua mahluk pun menjadi tanpa syarat. Inilah inti dari Dharma.

Diri pribadi, atau Ego, tidak sungguh ada. Ia adalah ciptaan pikiran semata. Ia adalah hasil dari delusi. Ketika kita sadar, bahwa tak ada beda antara aku dan semesta, maka apakah masih relevan berbicara soal kematian? Apakah masih relevan untuk menderita?

Sumber derita dan kekerasan: Adharma

Tentu saja, dari pengalaman saya, banyak orang menikmati deritanya. Mereka memilih untuk tetap menderita. Walaupun, mereka sudah mendengar Dharma. Ini adalah hal yang selalu membuat saya kagum sekaligus heran: betapa manusia sangat mencintai penderitaannya sendiri.

Inilah hidup yang Adharma, atau tidak sejalan dengan hukum-hukum alam. Sumbernya adalah pikiran yang bergerak berlebihan, atau pikiran yang tak terlatih. Kita mengira benda-benda material, imajinasi dan ingatan sebagai kenyataan, serta terjebak di dalamnya. Tak sedikit yang menggiring kita pada sakit badan, serta berujung kematian.

Ilusi perbedaan pun muncul. Aku berbeda dengan kamu. Kelompokku berbeda dengan kelompokmu. Punyaku lebih luhur dan benar, maka mari kita berperang menegakkan kebenaran.

Inilah akar dari semua konflik di dalam sejarah manusia. Diskriminasi terjadi karenanya. Ketidakadilan, kekerasan dan perang terjadi karenanya. Penderitaan kolektif umat manusia terjadi juga karenanya.

Dengan mendalami Dharma, kita akan terbebaskan dari kebodohan. Kita akan terbebaskan dari penderitaan di dalam diri dan konflik dengan orang lain. Kita akan sadar, bahwa tidak ada orang lain. Semua adalah bagian dari diri kita sendiri. Perasaan damai dan cinta pada segala sesuatu pun secara alami berkobar di dalam hati.

Saya tak sungguh tahu, apakah penjelasan saya ini cukup berguna atau tidak, guna melampaui derita kedua teman saya. Saya sudah berusaha menjelaskan sesederhana mungkin soal inti Dharma sebagai jalan pembebasan. Penjelasan lain yang lebih baik adalah “diam dan hening”. Namun, saya menduga, jika saya melakukan itu, dua teman saya, dan mungkin anda, akan semakin bingung.

Di titik ini, bingung sebenarnya tanda baik. Artinya, kita berpikir dan mencoba mencari jawab. Biarlah kebingungan terus berlanjut, sampai terpecah, dan kita kembali ke keadaan alami kita. Pada titik ini, kita berjumpa dengan diri sejati kita. Kita terbebaskan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *