Kitab Cakkavatti Sihanada Sutta menyebutkan bahwa pada masa depan, akan muncul seorang Samma Sambuddha bernama Metteya / Maitreya. Buddha Maitreya akan lahir ketika umat manusia berada dalam “periode emas”. Disebut demikian karena pada saat itu, umat manusia hidup dalam kemakmuran dan punya umur yang panjang, yakni 80 ribu tahun.
Sewaktu dulu membaca sutta ini, saya agak terkejut. Nalar saya sulit “mencerna” informasi bahwa manusia kelak bisa berusia sepanjang itu. Hal itu dapat dimaklumi lantaran saya membandingkan rentang usia di dalam sutta dengan rentang usia pada saat sekarang.
Pada saat ini, usia umat manusia rata-rata adalah 60-80 tahun. Sangat jarang dijumpai ada manusia yang sanggup “menembus” usia 100 tahun lebih.
Kalau ada pun, mereka yang berusia di atas rata-rata kondisinya sudah sangat payah, renta, dan sakit-sakitan. Makanya, saya berpikir, melewati usia 100 tahun saja sudah sangat sulit, lalu bagaimana mungkin usia manusia bisa mencapai 80 ribu tahun?
Pertanyaan tersebut belum saya temukan jawabannya sampai sekarang. Namun, di luar pertanyaan tadi, saya selalu merasa penasaran dengan sosok Buddha Maitreya, yang begitu terkenal di kalangan umat Buddha.
Meskipun disebut Buddha yang akan datang, sosok Buddha Maitreya sejatinya masihlah “misterius”. Tidak ada cukup banyak informasi yang membahas kepribadian dan latar belakang-Nya.
Oleh sebab itu, jangan heran, sosok Buddha Maitreya sering dipersepsikan bermacam-macam, di antaranya, sebagai “juru selamat”. Persepsi ini bisa timbul lantaran kemunculan Buddha Maitreya di tengah-tengah umat manusia dimaksudkan untuk mengajarkan Dhamma.
Lewat Dhamma yang disampaikan-Nya, Buddha Maitreya menyingkap konsep tentang Dukkha dan Cara Melenyapkan Dukkha, sehingga semua makhluk berkesempatan membebaskan diri dari lingkaran samsara. Tanpa kehadiran Buddha Maitreya, sulit bagi banyak makhluk untuk terbebas dari siklus kelahiran dan kematian yang terus berputar.
Hal inilah yang kemudian membikin Buddha Maitreya begitu dipuja dan diagungkan sebagai sosok yang mampu membebaskan banyak makhluk dari samsara. Umat Buddha pun melakukan penghormatan kepada Buddha Maitreya. Penghormatan tadi dilakukan dengan beragam cara, seperti pembuatan rupang, pendirian wihara, dan persembahan-persembahan lainnya.
Meskipun bakal Buddha Maitreya disebut masih berada di Surga Tusita, menurut saya, penghormatan tadi boleh dilakukan, sebatas untuk meneladani sifat-sifat luhur Buddha Maitreya.
Maklum, Buddha Maitreya dikenal sebagai Buddha yang berlimpah cinta kasih. Hal ini bisa diketahui lewat akar kata Maitreya. Kata Maitreya sendiri dibentuk dari kata “maitri” (sansekerta) atau “metta” (pali), yang artinya “cinta kasih”.
Dalam kitab Anagatavamsa, kita bisa mengetahui sedikit tentang kehidupan Buddha Maitreya. Kitab itu menjelaskan bahwa Buddha Maitreya akan lahir di keluarga Brahmana.
Hal ini berbeda dengan latar keluarga Buddha Gotama, yang berasal dari Kasta Ksatria. Meskipun demikian, hal ini bukan jadi soal, mengingat para Buddha terdahulu juga punya latar keluarga yang berbeda-beda. Semuanya berasal dari Kasta Ksatria atau Brahmana.
Nama pribadi Buddha Maitreya adalah Ajita, sementara marganya adalah Maitreya (Metteya). Ayahnya bernama Subrahma dan ibunya Brahmavati.
Ayahnya adalah seorang pendeta di sebuah kerajaan di Kota Ketumati (Benares masa kini). Kerajaan tersebut dipimpin oleh Cakkavatti Sankha.
Cerita tentang kehidupan Buddha Maitreya sebetulnya mirip dengan Buddha Gotama. Awalnya, selama 8 ribu tahun, Ia menjalani hidup sebagai perumah tangga. Ia menikah dengan Permaisuri Candamukhi, dan mempunyai anak bernama Brahmavaddhana.
Ia hidup nyaman di empat istana, tetapi kenyamanan tersebut akhirnya “terusik”, setelah Ia melihat orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa.
Sejak saat itu, aspirasi-Nya untuk menjadi seorang samana muncul. Seperti Buddha Gotama, Ia menyadari, biarpun pada masa-Nya, manusia berumur panjang dan hidup makmur, tetapi sejatinya, hal itu belum membebaskan manusia dari Dukkha, karena semua hal itu suatu saat akan berlalu.
Bersama dengan rombongan besar, yang didominasi para Brahmana dan Ksatria, Ia kemudian meninggalkan rumah, dan melakukan pertapaan untuk menemukan “obat” yang mampu mengatasi usia tua, sakit, dan mati. Setelah merealisasi pencerahan, Ia kemudian mengajarkan Dhamma pada banyak makhluk.
Lantas, apa yang diajarkan Buddha Maitreya? Secara sederhana, Buddha Maitreya menyampaikan ajaran tentang Dukkha, Penyebab Dukkha, Lenyapnya Dukkha, dan Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha.
Ajaran ini sejatinya adalah ajaran yang pernah disampaikan para Buddha sebelumnya. Tidak ada yang berubah, sebab persoalan tentang Dukkha adalah persoalan yang terus terjadi pada masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Setelah Buddha Maitreya mangkat, ajaran-Nya akan berlanjut hingga 180 ribu tahun. Barulah, sesudah ajaran tersebut dilupakan, bumi mengalami kehancuran (kiamat).
Biarpun kemunculan Buddha Maitreya “diramalkan” baru akan terjadi ribuan tahun ke depan, kini sudah ada umat Buddha yang “memupuk” aspirasi untuk menemui Buddha Maitreya, mendengar ceramah-Nya, dan merealisasi Nibbana di dalam binaan-Nya.
Hal ini merupakan harapan yang wajar. Asalkan punya timbunan kebajikan yang luar biasa, pertemuan tersebut sangat dimungkinkan. Jadi, sekiranya ada yang memiliki harapan demikian, harus mulai dari sekarang, mengumpulkan “modal” agar kelak bisa menjumpai Buddha Maitreya.
Semoga demikian hendaknya.
Referensi:
Ensiklopedia Tipitaka, karya G.P. Malalasekera
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara