• Friday, 9 September 2016
  • Ngasiran
  • 0

Apakah agama Buddha mempunyai Tuhan? Pertanyaan ini sering muncul dalam dialog-dialog agama Buddha maupun dialog lintas agama. Umat Buddha sendiri, terutama generasi muda, masih ragu bahkan mungkin tidak bisa menjawab ketika ditanya mengenai Tuhan dalam agama Buddha.

“Dalam agama Buddha, Tuhan bukan personal atau pribadi yang menciptakan segala sesuatu, tetapi impersonal (Impersonal God). Jadi, Ketuhanan dalam agama Buddha adalah penjabaran dari Impersonal God,” jelas Bhikkhu Atthapiyo di depan lebih dari 100 pemuda Buddhis di Vihara Maghadhamma, Salatiga, Jawa Tengah pada Minggu (14/8) lalu.

Ada perbedaan yang cukup mendasar mengenai Personal God dengan Impersonal God. Personal God mempunyai ciri: (1) Tuhan memiliki pribadi, (2) Berbeda secara diametral dengan alam semesta (mempunyai jarak), dan (3) Memerintah dan mengatur keberadaan ciptaan-Nya.

Ciri ini jauh berbeda dengan Impersonal God: (1) Menolak konsep Tuhan yang bersifat pribadi, (2) Tuhan sebagai entitas yang dekat dan tak terpisahkan dari manusia, (3) Tatanan berasal dari dalam dunia sendiri, bukan aturan yang dipaksakan dari luar, (4) Realitas tertinggi yang dapat dijangkau, dan (5) Konsep impersonal terdapat dalam pandangan Ketuhanan agama Timur.

“Dalam literatur Buddhis, Buddha Gotama menjelaskan bahwa, ‘Ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta dan tidak terkondisi. Inilah yang disebut Nibbana atau Nirwana. Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha adalah penjabaran dari konsep impersonal.

“Nibbana atau Nirwana adalah realitas tertinggi yang dapat dijangkau manusia. Nibbana dapat kita jangkau saat kehidupan ini juga. Tuhan sebagai identitas yang tidak terpisah dan dapat dijangkau oleh manusia sebagai pengalaman peribadi,” jelas Bhante.

Mengenai pandangan Personal God dan Impersonal God ini sendiri, Bhante Atthapiyo mempunyai pengalaman yang menarik dalam proses pencarian spiritualnya. Bhante mengatakan, bagi orang yang hanya menerima tanpa menyelidik dan mempertanyakan tentang realitas tertinggi, hidupnya aman-aman saja. Tetapi, bagi Bhante Atthapiyo yang selalu mempunyai banyak pertanyaan selalu ada kegelisahan. Kegelisahan inilah kemudian yang mempertemukan bhikkhu asal Flores, Nusa Tenggara Timur ini dengan ajaran Buddha.

“Awalnya saya merasa ada perbedaan yang sangat tajam. Saya dari kecil didoktrin ada sosok Maha Tinggi yang mengawasi segala aktivitas saya. Jadi, setiap hari saya mengalami ketakutan. Dari ketakutan itu kemudian timbul protes dalam diri saya. Nah artinya, kalau benar-benar mempertanyakan tentang realitas tertinggi, akan mengalami guncangan secara psikologis. Dan menurut survei, itu tidak hanya terjadi pada diri saya saja.

“Tapi,” lanjut Bhante, “kalau yang tidak menanyakan itu, mereka hanya sekadar menerima dan percaya saja, ya hidupnya bahagia-bahagia saja. Tetapi kalau dia tidak nyaman dengan itu, maka akan terjadi guncangan. Saya sendiri hampir dibilang stres ketika di sekolah selalu berdebat dengan guru saya mengenai Tuhan ini.”

Oleh sebab itu, menurut Bhante Atthapiyo, ada perbedaan konsep berpikir antara orang yang mempercayai Personal God dengan cara pandang Buddhisme walaupun dalam melakukan beberapa tindakan muaranya sama, yaitu untuk tidak melakukan perbuatan jahat.

“Kalau yang mempercayai Personal God, dia tidak melakukan perbuatan jahat karena takut ada yang mengawasi. Sedangkan dalam Buddhisme, dia tidak melakukan perbuatan jahat karena malu dan takut akan akibat dari perbuatan jahat itu.”

Kalau Buddhisme tidak mengenal Personal God, lalu ketika sembayang atau puja bakti, umat Buddha menyembah siapa? Apakah umat Buddha menyembah berhala?

Bhante Atthapiyo menjelaskan, ketika umat Buddha melakukan puja bakti tidak meminta-minta. “Sembahyang di hadapan patung Buddha tidak meminta-minta, tetapi mengingat dan merenungkan sifat-sifat luhur Buddha Gotama untuk diteladani. Merenungkan sifat-sifar luhur itu bukan penyembahan. Buddha Gotama mempunyai cinta kasih yang tanpa batas. Salah satu contohnya ketika Beliau menaklukkan gajah Nalagiri yang mengamuk dengan cinta kasihnya,” jelas Bhante.

Meskipun telah menjadi bhikkhu, Bhante Atthapiyo masih menghormati agama leluhurnya. Ada seseorang yang bertanya kepadanya karena di akun Facebook, Bhante Atthapiyo menghormat patung Bunda Maria.

“Saya sendiri mengenal Buddhisme melalui proses pergolakan batin yang luar biasa. Ketika saya meditasi satu bulan, yang muncul dalam pikiran saya adalah ayat-ayat Injil. Namun justru pemahaman terhadap Buddhisme itu yang membuat saya bisa memahami ayat-ayat Injil. Salah satu ayat yang saya ingat adalah ‘Sungguh sulit seekor onta memasuki lubang jarum, tetapi lebih sulit orang kaya masuk surga’. Dari dulu saya tidak bisa memahami ayat ini, tetapi setelah saya belajar Buddhisme, saya jadi paham bahwa orang yang bisa masuk surga adalah orang yang telah bebas dari nafsu keserakahan.

“Dalam perjalanan, saya mengalami fase-fase. Di awal meyakini Buddhis, saya menjadi Buddhis yang militan. Kemudian fase itu terlewati ketika saya belajar Buddhisme yang saya padukan dengan pengalaman sendiri. Mengenai foto menghormat Bunda Maria, beliau merupakan orang yang mempunyai kualitas batin, dan saya hanyalah manusia yang sedang belajar memperbaiki kualitas batin. Yang saya hormati adalah kualitas batinnya, bukan sosoknya,” jelasnya.

Untuk meningkatkan keyakinan terhadap Buddha Dhamma, menurut Bhante, bisa dilakukan dengan proses belajar. “Untuk meningkatkan keyakinan terhadap agama Buddha, satu-satunya cara ya dengan belajar dan praktik Dhamma. Belajar Dhamma bisa dilakukan di mana saja,” tutup Bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *