“Menjalankan kehidupan melepaskan keduniawian kalau tidak dilandasi dengan keyakinan yang kuat kepada Tiratana tidak ada artinya. Oleh sebab itu saya berkewajiban untuk menjelaskan dan menjelaskan kembali tentang Tirarana untuk memperkuat keyakinan para calon samanera,” ujar Bhikkhu Sri Pannyavaro memulai uraiannya di hadapan para peserta Pabajja Samanera dan Atthasilani Sementara Sangha Theravada Indonesia (STI) di Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah.
Program rutin STI tersebut berlangsung selama dua minggu dari tanggal 26 Juli hingga 9 Agustus 2015. Pabajja yang diikuti oleh 26 samanera dan 23 atthasilani ini ditahbiskan langsung oleh Bhikkhu Sri Pannyavaro, Bhikkhu Jotidhammo, Bhikkhu Cittanando, dan beberapa bhikkhu pendamping.
Bhante Pannyavaro melanjutkan, Tiratana/Triratna adalah permata yang tiada tara nilainya, muncul pertama kali dalam masa guru agung kita Buddha Gotama pada bula purnama di bulan Asalha/Asadha. Pada saat itulah Tiratana menjadi lengkap.
“Permata pertama adalah Buddha ratana. Permata yang telah mencapai pencerahan, permata yang paling dekat dengan kita adalah guru agung kita Buddha Gotama. Semula Beliau adalah putra mahkota dari Kapilawastu, meninggalkan keduniawian, dan mencapai pencerahan sempurna di bulan purnama di bulan Waisaka. Setelah itu Beliau mengajarkan Dhamma selama 45 tahun penuh hingga mangkat (parinibbana) di usia 80 tahun, juga pada bulan purnama di bulan Waisaka,” jelas Bhante.
Guru Agung sebagai permata Dhamma yang paling dekat itulah yang membuat kita mengerti Dhamma sampai sekarang ini. Dan Dhamma itu masih utuh sehingga kita bisa mengikuti jejak Beliau, termasuk meninggalkan kehidupan duniawia menjadi samanera atau menjadi bhikkhu. Dhamma yang diajarkan Buddha Gotama lebih dari 40 tahun, secara tertulis dicatat dalam kitab suci Tipitaka.
“Dan apakah tujuan guru agung kita mengajar Dhamma? Tidak lain adalah untuk membebaskan kita dari penderitaan,” Bhante menjelaskan.
“Banyak orang berpikir dan berpikir seperti ini, ‘Kalau tidak ingin menderita maka carilah kebahagian. Kalau kebahagiaan datang, yang menyenangkan datang, maka penderitaan tentu akan tersingkir’. Manusia berlomba-lomba menutupi dukkha dengan mencari kesenangan, kalau hidupnya senang maka penderitaan akan tersingkir. Cara berpikir seperti inilah yang kemudian mengakibatkan perilaku yang tidak tepat. Menutupi penderitaan dengan mencari kesenangan dengan menutupi penderitaan bukanlah cara yang benar. Sering kebahagiaan dan kesenangan yang kita cari untuk menutupi penderitaan justru menimbulkan penderitaan baru.”
Bhante Pannyavaro mencontohkan, dalam Dhammapada, Buddha berkata, “Andaikata hujan yang datang bukanlah air, tapi kepingan-kepingan emas, semua persoalan kemelaratan dan kemiskinan akan terhapus karena ada hujan emas.” Guru Agung kita mengatakan meski ada hujan emas, hawa nafsu tidak pernah mengenal puas. Tiap orang akan berebutan mengumpulkan emas, tapi mereka tidak puas. Mereka akan bertengkar, berkelahi memperebutkan kepingan emas yang lain.
Menjadi samanera adalah berusaha melihat dengan benar tentang penderitaan dan berlatih dengan benar mengatasi penderitaan. Mengatasi penderitaan, tidak sekadar menutupi penderitaan.
Bagaimana cara mengatasi penderitaan? Dengan melihat apa yang menjadi akar kita menderita. Kalau kita menutup-nutupi terus, akarnya tidak pernah diperhatikan, maka penderitaannya tidak akan berkurang. Akar penderitaan adalah (1) keserakahan: iri hati, tidak senang melihat orang lain maju, merasa dirinya lebih, (2) kebencian: senang melihat orang lain gagal, membenci mereka yang tidak kita suka, dan (3) keakuan: kecongkakan, kesombongan.
Semua ini memberikan kesenangan. Memang benar, kalau keserakahan kita terpenuhi, kalau yang dibenci hancur, puas dan senang sebentar, tetapi akibatnya adalah penderitaan. Sebaliknya kalau keserakahan, kebencian, keakuan dengan segala turunannya dikurangi, penderitaan akan berkurang, masalah berkurang, hidup semakin ringan tidak berat. Kalau penderitaan berkurang otomatis kebahagiaan muncul, kebahagiaan tidak perlu dikejar.
“Menjadi samanera adalah berusaha menjalani hidup tenang sederhana kebutuhan dan latihan melihat ke dalam, bukan melihat ke temannya atau keluar,” ujar Bhante. Kalau akar penderitaan itu muncul, pada saat akar penderitaan itu mulai muncul, atasilah. Maka penderitaan akan berkurang. Jika penderitaan berkurang, maka otomatis kebahagiaan akan bertambah,” Bhante kembali memberikan contoh.
Jika suatu ruangan gelap, Anda tidak perlu mengusir kegelapan. Cukup nyalakan lampu. Begitu lampu menyala, otomatis yang gelap itu lenyap. Anda tidak perlu bersusah payah mengusir kegelapan, karena kalau lilin dinyalakan, gelapnya akan berkurang. Semakin banyak lilin, kegelapannya semakin berkurang. Kalau lampu dinyalakan semakin terang, gelapnya otomatis hilang. Kalau gelap hilang, Anda dapat membedakan mana bersih mana kotor, mana sampah mana makanan.
“Oleh karena itu, latihan menjadi samanera adalah melihat ke dalam. Tentu tidak dengan mata, tetapi dengan sati, dengan awareness, dengan hati, dan dengan kesadaran,” lanjut Bhante.
Menyadari kalau keserakahan muncul, dendam, kesombongan, sengit, kebencian, dendam muncul, keakuan muncul, merasa lebih muncul. Dengan melihat dan menyadari itu, maka akar penderitaan itu pelan-pelan akan turun. Akar penderitaan turun, penderitaan berkurang, maka otomatis kebahagiaan bertambah.
“Guru Agung kita tidak mengajarkan untuk mengejar kebahagiaan, (melainkan) mengajarkan hentikan penderitaan. Cukup. Karena jika penderitaan berhenti, paling tidak berkurang, Anda menjadi lebih bahagia. Itulah inti dari permata Dhamma. Itulah jalan untuk mengurangi dan membebaskan penderitaan. Tidak ada jalan lain. Anda tidak bisa meminta kepada orang lain kurangilah penderitaanku, hilangkan. Kalau akar hawa nafsu atau akar penderitaan itu dituruti, ya seperti dikatakan memberi kesenangan sepintas. Dan akar itu menjadi lebih ganas, dia akan menuntut lebih kuat,” tambah Bhante.
Lebih lanjut Bhante menjelaskan, menjadi samanera adalah tidak menuruti kekotoran batin, keserakahan, dan kebencian namun melatih menjalankan vinaya, melatih meditasi, sampai kekotoran batin berkurang. “Mereka yang bisa mengurangi kekotoran batin dengan baik, sampai hampir bersih, merekalah yang disebut sebagai ariya pugala (orang suci). Inilah permata Dhamma yang ketiga yang disebut sebagai Sangha,” ucap Bhante.
Bhante kembali memberi contoh, “Kalau Buddha sebagai dokter, Dhamma sebagai obat, tetapi tidak ada Sangha, tidak ada orang yang sembuh, maka tidak ada orang yang mau berobat lagi. Karena ada Sangha, orang yang sembuh itulah yang menjadi bukti kepada kita untuk tetap belajar ajaran Buddha.”
“Anda akan diberikan cara untuk mengatasi kekotoran batin yang kasar, dengan diberikan obyek meditasi yang disebut sebagai 5 bagian dari tubuh: rambut, bulu yang berada di sekujur tubuh, kuku, gigi, dan kulit. Kalau tidak dibersihkan, kotor ini menjijikkan. Apa yang indah dari mulut, apa yang indah dari kulit, apa yang indah dari rambut, karena semua orang yang tampak adalah rambut, kuku, bulu, gigi, dan kulit.”
Apabila ini direnungkan berulang kali, maka kamaraga (nafsu indriawi) akan berkurang. Kita akan memahami bahwa tidak ada cantik yang sebenarnya, tidak ada gagah yang sebenarnya, tidak ada yang indah yang sebenarnya. Yang ada hanyalah perpaduan, dan kalau itu tidak dirawat, yang dikatakan indah itu pun akan lenyap.
Mengakhiri pesannya, Bhante Pannyavaro meminta peserta pabajja dan atthasilani untuk merenungkan obyek meditasi tersebut, di manapun mereka berada.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara