• Monday, 9 October 2017
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Kalau belum mungkin memang inilah masalah yang banyak kita jumpai di kalangan penganut agama Buddha. Tidak perlu bertanya kepada teman atau saudara kita. Mari kita bertanya dan jujur pada diri kita sendiri. Sudah baca Tipitaka belum? Tak jarang kita jumpai orang-orang yang bahkan tidak tahu sejarah dan isi dari Kitab Tipitaka.

Mungkin sebagian dari kita akan menjawab bahwa kita sudah pernah baca ‘bagian’ dari Tipitaka. Yang paling umum adalah buku Paritta dan Dhammapada yang sering kita jumpai di wihara-wihara. Lantas apakah pengetahuan kita mengenai warisan Guru kita hanya sebatas itu saja?

Mungkin sudah saatnya bagi kita memiliki sebuah tekad untuk ‘membiasakan diri’ mengenal dan membaca Tipitaka. ‘Mengenal’ di sini artinya bahwa kita mulai terbuka untuk mencari tahu dan menyelami agama Buddha−teladan dan guru kita. Sedangkan ‘membaca’ di sini tidak sekadar membaca, tetapi juga memahami dan mempraktikkan apa yang ada di dalam Tipitaka. Yakinlah bahwa kita akan menemukan sebuah dunia baru yang berbeda, sebuah pemahaman intuitif yang mungkin saja akan mengubah pandangan dan hidup kita selamanya.

Tipitaka merupakan sebuah karya masterpiece yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama berabad-abad lamanya. Meskipun berasal dari zaman Sebelum Masehi, Tipitaka telah terbukti keandalannya sebagai sebuah karya yang memberikan teladan dan panduan hidup bagi banyak orang−baik dulu maupun sekarang.

Tipitaka telah melintas batas kerajaan, budaya, dan peradaban, tetapi keandalannya membuatnya tetap bertahan tidak tergerus oleh perubahan-perubahan. Memang ada banyak usaha yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok orang (utamanya dari dalam Sangha sendiri) yang berusaha mengubah panduan ini, terutama terkait peraturan-peraturan dalam vinaya yang dianggap ‘memberatkan’ atau ‘kuno’ sehingga tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Sanghayana

Tetapi semua usaha-usaha itu dimentahkan dalam persamuhan atau sanghayana yang diadakan dengan tujuan mulia untuk melestarikan tiap kata dalam agama Buddha. Sanghayana pertama dilaksanakan tak lama setelah Buddha meninggal dunia. Persamuhan ini dipimpin oleh Maha Kassapa dan dibutuhkan waktu hingga tujuh bulan lamanya untuk menyelesaikannya.

Agama Buddha dihafalkan ulang oleh 500 sesepuh yang semuanya telah menjadi Arahat. Ajaran yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan inilah yang membentuk apa yang kita kenal saat ini dengan Kitab Pali Tipitaka (versi tertulis dari ajaran Buddha).

Tipitaka sendiri berarti tiga keranjang yang mencerminkan tiga pembagian/koleksi utama dari ajaran Buddha yaitu Koleksi Peraturan (Vinayapitaka), Koleksi Khotbah (Suttantapitaka), dan Koleksi Ajaran Akademis (Abhidhammapitaka). Masing-masing koleksi ini terbagi lagi ke dalam sub bagian. Tiga koleksi ini saling berkaitan satu sama lain, tidak dapat dipisahkan, dan harus dipahami secara utuh. Dua koleksi terakhir bergabung menjadi kelompok Dhamma sehingga ajaran Buddha seringpula disebut Dhamma-Vinaya.

Selain memuat tiga koleksi ajaran ini, terdapat pula bagian-bagian ulasan yang kadang disatukan menjadi satu kesatuan di dalam Kitab Tipitaka. Bagian ulasan ini memberikan penjelasan dan uraian lebih lanjut terkait ajaran yang cukup rumit untuk dipahami. Terlepas dari itu, Tipitaka tidak hanya sekadar menjadi sebuah pedoman hidup bagi umat Buddha, tetapi juga memuat beragam peristiwa yang memberikan petunjuk penting bagi para ahli sejarah.

Demikian besar dan mulianya karya masterpiece ini sehingga Tipitaka menjadi kitab suci terbesar di dunia. Ini wajar dan logis karena kitab ini memuat khotbah dan agama Buddha selama 45 tahun lamanya. Waktu yang sangat lama untuk membabarkan ajaran dan juga untuk mempelajarinya. Sudah saatnya bagi kita untuk sadar bahwa dibutuhkan waktu dan usaha besar untuk belajar agama Buddha melalui kitab ini. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?

Untuk memulainya, silakan dibaca file buku berikut ini. Sebuah buku karya YM. PA Payutto yang mengulas secara singkat tentang sejarah, peranan, dan pembagian Kitab Tipitaka. Dengan ini diharapkan kita dapat membendung arus yang menggerus agama Buddha. Semoga Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dapat bertahan lebih lama dan memberikan manfaat bagi banyak makhluk di dunia. Sadhu, sadhu, sadhu…

* Upasaka Sasanasena Seng Hansen, sedang menempuh studi di Australia program Doktoral di bidang Construction project management.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *