“Kita tidak berdoa untuk sesuatu. Kita tidak berdoa untuk seseorang. Lalu, mengapa umat Buddha berdoa?”
Di dunia Barat, gagasan mengenai “doa” lebih banyak diabaikan dalam ajaran Buddha. Lagipula, umat Buddha tidak berdoa kepada sesuatu atau untuk apa pun. Praktik Buddhis bahkan sering terlihat berlawanan dengan doa: praktik buddhis berusaha untuk melepaskan segalanya.
Seperti penjelasan Robin Kornman, pemahaman mengenai doa berbeda-beda dalam setiap tradisi Buddhis. Buddhis Theravada memanjatkan doa, tapi tidak berharap doa tersebut didengar oleh siapa pun. Buddhis Mahayana dan Tantra berdoa kepada Para Buddha dan Bodhisattva. Apakah Buddha dan Bodhisattva secara harafiah benar-benar masih dalam perdebatan. Juga apakah dan siapakah seorang Buddha itu. Jika kita berdoa kepada Buddha atau Bodhisattva, apakah mereka merupakan manusia atau suatu konsep? Seorang insan atau bukan?
Berikut pemikiran-pemikiran untuk menjawab pertanyaan mengapa kita berdoa, menurut tiga pemimpin buddhis:
Berdoa agar Terhubung dengan Welas Asih.
Diambil dari “If It Sounds Too Good to Be True,” oleh Mark Unno
Kita mudah lupa bahwa realisasi yang paling utama adalah welas asih dan rasa kesatuan yang tidak terbatas. Ketika kita menyatukan tangan, itu bukan hanya sepasang tangan yang saling bertemu. Jika kita amati secara mendalam, maka kita seperti bisa merasakan sentuhan lembut guru kita maupun Guru Agung Buddha, tangan beliau dengan lembut mengelus punggung tangan kita, membantu menyatukan telapak tangan kita, mengajarkan rasa welas asih dan kebijaksanaan yang tidak terbatas. Dalam momen itu, maka apakah kita hidup atau mati, memperoleh kesehatan atau tidak, tercerahkan atau tidak, dinomorduakan oleh pemahaman bahwa kekuatan sifat Kebuddhaan yang hadir – bahwa apa pun yang kita butuhkan sudah tersedia di antara telapak tangan kita ketika membungkuk hormat, bahwa kinerja welas asih sudah terjadi, saat ini juga.
Ini bisa kita sebut sebagai doa.
Berdoa untuk Memahami Diri
Dari “The Paradox of Prayer,” oleh Jan Chozen Bays
Banyak guru Buddhis yang memanjatkan doa. Namun dalam agama non theistik, ini memunculkan pertanyaan: kepada siapa mereka berdoa? Dalam praktik keseharian Zen, tampaknya sering kita berdoa kepada diri sendiri – baik untuk diri kita yang memiliki rentang usia terbatas maupun untuk diri kita yang lebih besar dan saling terhubung satu sama lain. Kita tidak berdoa untuk perolehan materi pribadi; namun, kita beroda untuk mengarahkan hati dan benak kita menuju kualitas-kualitas positif seperti welas asih dan kejernihan. Kita menyuarakan aspirasi sehingga kita mampu memperluas welas asih dan kebijaksanaan kepada diri kita sendiri dan orang lain.
Berdoa untuk Menemukan Penggugahan
Dari “An Invitation”, oleh Elizabeth Mattis-Namgyel
Jadi apakah arti dari berdoa tanpa batasan dari kesenangan-kesenangan pribadi? Artinya adalah kita berdoa untuk keterjagaan tanpa batas yang dalam serta tidak didasarkan pada kesenangan ego. Hanya dengan memohon, kita merasakan benak yang penuh ketakjuban dan kerendahan hati. Kita mengizinkan kehidupan menyentuh kita serta merasakan kerinduan untuk berkembang dengan welas asih dan cinta kasih. (Sam Littlefair/lionsroar.com)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara