Dalam tatanan masyarakat Buddha saat itu, hanya mereka yang terlahir sebagai kasta Brahmana yang memiliki kewenangan menjadi pemegang serta penguasa pengetahuan spiritual. Secara drastis meninggalkan norma budaya, ajaran-ajaran Buddha justru berfokus pada tindakan serta menekankan adanya kesamaan hakiki dalam diri semua. Beliau mengajar beragam komunitas, dan karenanya, meruntuhkan sekat-sekat sosial serta menentang kerangka kerja kekuasaan yang ada.
Beliau bersikeras tentang kesamaan hakikat ini dan menentang sistem privilege yang telah tertanam dalam-dalam, dengan menyatakan bahwa status kelahiran semata tidak akan membuat seseorang menjadi suci. Adalah perbuatan seseorang, Beliau bersikukuh, bukan status kastanya, yang menentukan kelayakan spiritual seseorang.
Ajaran Karma menyampaikan pesan yang menguatkan, bahwa perbuatanlah, yang membuat kita menjadi sebagaimana kita adanya. Apa pun status kita saat lahir, apa pun warna kulit kita, atau apa pun jenis kelamin kita, kita semua dapat melakukan tindakan positif secara nyata.
Kita tidak sepantasnya berpikir bahwa tindakan kecil kita adalah sepele. Sebutir kerikil kecil dapat menyebabkan riak gelombang yang menyebar ke seluruh permukaan danau yang sangat luas. Sebagaimana dikatakan Gloria Steinem, “Kita menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mencemaskan apa yang seharusnya kita lakukan. Lakukan saja apa yang dapat kamu kerjakan.”
Pembebasan spiritual dan sosial
Meskipun Buddha memiliki siswa wanita, pada tahun-tahun awal pengajaran-Nya, tidak ada peraturan/vinaya bhikkuni bagi wanita. Pada masa itu, di India, wanita tidak diizinkan berpartisipasi dalam kerangka kerja utama keagamaan, di mana semua pimpinan agama adalah pria.
Bagaimanapun juga, lima tahun setelah pencerahan Buddha, salah seorang siswi pengikut-Nya memimpin sekelompok wanita memohon tempat bagi kaum wanita dalam komunitas pencari kebenaran yang meninggalkan kehidupan rumah tangga.
Seorang siswi, Mahapajapati Gotami, juga merupakan bibi sekaligus pengasuh yang membesarkan Buddha setelah ibunda-Nya meninggal. Dengan motivasi untuk dapat berkembang secara spiritual hingga kapasitas terbaiknya, Gotami berulangkali memohon pada Buddha untuk mendirikan Sangha Bhikkhuni, bahkan berbaris berjalan kaki bersama lima ratus wanita lainnya, demi mengajukan permohonan ini. Ini merupakan parade perjuangan hak wanita yang pertama kali tercatat dalam sejarah.
Saat kita memiliki welas asih serta empati, kekuatan kita merupakan daya yang hakiki serta membebaskan. Buddha menyepakati bahwa kaum wanita sepenuhnya mampu melaksanakan Jalan untuk merealisasi Pencerahan, maka dibentuklah Sangha Bhikkhuni.
Baca juga: Rasa Sakit Merupakan Guru Spiritual
Dengan demikian, Buddha, bersama-sama dengan Mahapajapati Gotami serta lima ratus wanita lainnya, telah meletakkan landasan dan acuan bagi kesetaraan sosial dan kesamaan hakikat manusiawi dari kaum wanita. Dalam konteks sosialnya, hal ini merupakan tindakan yang sangat berani dan radikal.
Banyak dari para wanita tersebut yang saat ini dikenang sebagai teladan pencapaian spiritual. Para wanita ini tidak hanya mencari kebebasan spiritual semata, tetapi juga mendorong terciptanya suatu jalan hidup alternatif bagi mereka sendiri, yang melampaui alur naskah sosial yang digariskan masyarakat bagi mereka.
Kebebasan spiritual dan gerakan sosial dapat seiring sejalan bergandengan tangan. Sesungguhnya, saya malah akan memberanikan diri untuk menyatakan bahwa mereka memang selalu demikian adanya. Kita tidak dapat sepenuhnya bangkit tanpa bekerja demi kebangkitan yang lain juga.
Untuk mendirikan sebuah batasan semu antara perubahan sosial dan spiritual dibutuhkan penyangkalan tentang adanya kesalingketergantungan. Bahkan seandainya kita melepaskan keduniawian dan meninggalkan masyarakat untuk menjadi pengembara hutan tanpa rumah, tatanan masyarakat akan berubah akibat ketidakhadiran kita.
Perubahan sosial dan spiritual saling terhubung, bahkan sekalipun kita sama sekali tidak bermaksud untuk melakukannya. Pembebasan kita terkait erat dengan pembebasan orang lain – inilah inti dari Jalan Bodhisatva. (Lionsroar.com)
Naskah ditulis oleh Pema Khandro Rinpoche
Pema Khandro Rinpoche ditengarai sebagai tulku dalam silsilah Nyingma dan Kagyu. Beliau merupakan pendiri Ngakpa International serta Maha Siddha Center di Berkeley, California.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara