Dagri Rinpoche, seorang guru spiritual Tibet mengupas ajaran Atisha Dipankara. Ajaran ini disampaikan pada acara teaching hari kedua, Kamis (3/5) di Hotel Manohara, komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Dagri Rinponche membacakan dan mengulas teks pertama dan teks kedua ajaran Atisha yang terdapat dalam teks 37 Cara Hidup Seorang Bodhisattva; Ringkasan Tentang Turun Tangannya Bodhisattva.
“Teks pertama, menjelaskan tentang keberuntungan dan sangat berharganya terlahir sebagai manusia dan memiliki tubuh yang sempurna. Dalam ajaran tersebut dijelaskan bahwa terlahir sebagai manusia sangatlah sukar dan sangat langka dibandingkan dengan kelahiran sebagai makhluk lain. Begitu juga memiliki tubuh yang sempurna juga sangat sulit. Oleh karena itu kita sebagai manusia hendaknya bersyukur dan memanfaatkan kesempatan ini untuk memberikan makna dan manfaat kehidupan bagi orang lain, bahkan makhluk hidup lain,” terang Rinpoche.
Menjadi manusia
Reinkarnasi dari Serlingpa ini membuat perumpamaan, “Dalam perumpamaan, tubuh yang sempurna/manusia adalah kapal yang baik, dan kehidupan ini adalah lautan/samudera yang harus diseberangi. Kita sudah memiliki kapal yang baik, selanjutnya bagaimana kita menggunakan kapal ini untuk menyeberangi lautan samsara, yaitu kehidupan.
Dalam ajaran Atisha ditunjukkan bagaimana cara menyeberangi lautan samsara, yaitu dengan praktik cinta kasih dan kasih sayang, melakukan meditasi yang berkesinambungan, dan melaksanakan praktik Bodhicitta.”
Baca juga: Dagri Rinpoche Ajarkan 37 Praktik Bodhisattva di Mandala Agung Borobudur
Sebagai poin penting betapa beruntungnya menjadi manusia, Rinponche menjelaskan perbandingan dengan makhluk lain. “Kehidupan selain manusia, contoh hewan, kehidupan yang tidak punya kesenangan dan kesempatan, namun demikian di dunia ini juga sedikit manusia yang mempunyai kesenangan dan kesempatan untuk belajar dan praktik,” jelas Rinpoche.
Pada teks yang kedua berisikan tentang belenggu atau halangan yang menghambat seseorang untuk praktik Bodhicitta. Disebutkan dalam ulasan Rinpoche bahwa di sini melekat pada teman seperti mengaduk-aduk air, mengobok-obok air.
Kemudian kebencian kepada musuh membakar seperti api, ketidakpedulian seperti melewati jalan gelap sehingga tak melihat apa pun, dan meninggalkan asal-usul seseorang adalah praktik Bodhisattva.
Kemelekatan, kebencian, dan kebodohan/kegelapan batin adalah belenggu praktik Bodhisattva. Sedangkan meninggalkan asal-usul seseorang adalah terutama bagi para pemula yang bertekad untuk praktik Bodhicitta.
“Ketika seseorang merantau atau berada di lingkungan yang berbeda akan lebih mudah untuk melatih praktik Bodhicitta. Ini logis karena secara perkenalan dan kedekatan dengan orang-orang di perantauan kurang begitu dekat, sehingga akan semakin kecil kemungkinan untuk tumbuh kemelekatan dan kebencian.
“Namun tidak bisa diartikan bahwa seseorang harus merantau atau menjauhkan diri dari tempat asal mereka ketika mereka bertekad praktik Bodhicitta. Ini hanya untuk mempermudah bagi para pemula khususnya,” imbuhnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara