• Thursday, 22 March 2018
  • Salim Lee
  • 0

Kesenangan di tiga alam hilang dalam sekejap,

Seperti embun pagi di sehelai rumput.

Kebebasan tertinggi itulah yang senantiasa tak berubah

Ini yang dituju – beginilah turun tangannya seorang Bodhisattva.

(Tokme Zongpo’s Thirty-seven Practices of a Bodhisattva)

Seperti yang sering ditekankan oleh His Holiness Dalai Lama, jelas bahwa semua makhluk, tidak hanya manusia, ingin bahagia dan tidak menginginkan penderitaan. Yang menjadi tantangan justru penghayatan arti ‘bahagia’ dan cara untuk ‘mencapai’ kebahagiaan itu. Meski seumur hidup kita mendambakannya, seumur hidup kita mungkin tetap bergulat.

Semakin lama semakin jelas bahwa berusaha ‘mengejar’ kesenangan atau kebahagiaan saja sebagai tujuan hidup adalah sesuatu yang tidak hanya sembrono, tetapi juga sia-sia.

Sembrono, karena kesenangan atau yang kita sebut kebahagiaan ini hanya keberadaan yang sifatnya sangat sementara dan sangat tergantung dari banyak faktor dan kondisi. Menganggap pencapaian kebahagiaan seperti ini sebagai tujuan hidup kita, bisa dikatakan sembrono.

Sia-sia dan tidak realistis, karena kita tahu bahwa hidup ini tidak dapat kita prediksi, tidak dapat kita kontrol, selalu ‘up and down.’ Kesenangan, atau lebih sering penderitaan, muncul sewaktu-waktu.

Kesenangan sewaktu mendapatkan sesuatu yang kita inginkan hanya dirasakan dalam waktu singkat. Pencapaian jhana pun demikian, betapapun tenang dan nyamannya akan mulai buyar begitu kita harus berurusan dengan semrawutnya pikiran dan kehidupan sehari-hari. Benar-benar seperti embun pagi di sehelai rumput!

Jika apa yang kita inginkan dan pengertian kita tentang kebebasan dan kebahagiaan itu sebagai suatu KEBERADAAN yang sempurna, maka ini justru menjadi salah satu penyebab utama pergulatan kita.

Baca juga: ‘Orang yang Memberi Lebih Bahagia Daripada yang Menerima’

Tetapi jika kita mengerti KEBEBASAN itu bukan suatu keberadaan, tetapi kebebasan sebagai sikap dan cara mengalami hidup ini, rentetan pengalaman yang kita hadapi, apa pun yang muncul, selalu terbuka, menerima, tanpa memilah maupun menolak, kita merespons, mengambil keputusan berbuat yang terbaik sesuai dengan kemampuan pikir dan tindakan di saat itu, serta menerima apa pun konsekuensi dan hasil dari tindakan kita tadi.

Proses ini kita terapkan terus-menerus, dan lama-kelamaan menjadi jurus andal yang mempertajam pengetahuan, memperjeli pengertian dan memupuk keberanian dalam mengalami hidup kita. Beginilah salah satu cara hidup yang menyatu, yang mengalami dengan yang dialami, tanpa pilah-memilah.

Hidup ini mungkin tidak mudah, tetapi jika kita dapat melihat dan menerima apa yang sebenarnya terjadi, meski itu menyakitkan dan menyusahkan, maka badan dan pikiran tidak tegang. Selalu ada semacam perasaan yang beda, yang berasal dari hanya mengalami apa yang timbul, selengkapnya, tanpa batasan apa pun.

Ada yang menyebut itu joy, piti – semacam rasa lega, semeleh. Dalam dan tenang, kelegaan yang sebenarnya selalu ada, yang dirasakan bila ada pengalaman menyakitkan, kesedihan yang tidak mungkin dihindari dengan selingan maupun hiburan, hanya ada opsi untuk membuka hati dan menerimanya sebagai suatu babak kehidupan. Ada yang menyebutnya ‘truth,’ satya, kenyataan. Tapi kata ‘truth’ kadang berkonotasi bahwa ada sesuatu yang lain, yang beda di luar pengalaman kita.

Dengan kebebasan ini, kita bebas dari proyeksi pikiran dan perasaan, kita dalam keadaan tergugah, melek, dan selalu hadir dalam hidup kita. Reaksi-reaksi akan tetap bermunculan, tetapi itu hanya akan muncul dan lenyap dengan sendirinya, seperti pencuri yang masuk ke rumah yang kosong, seperti kabut di pagi hari yang lenyap dengan munculnya sang surya, seperti butir salju yang leleh dalam kehangatan wajah yang ceria.

Jadi, apakah moksha, kebebasan itu? Itu tidak lebih dan tidak kurang hanyalah hidup dalam kehidupan yang tergugah, dan inilah kebahagiaan. Ini yang dituju – beginilah turun tangannya seorang Bodhisattva.

Salim Lee

Upasaka Salim Lee telah belajar Buddhadharma selama bertahun-tahun dengan Guru-Guru Besar seperti Yang Mulia Dalai Lama ke-14 dan Lama Thubten Zopa Rinpoche.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *