Puasa dapat diartikan sebagai suatu kesediaan untuk menghindari atau mengurangi asupan makanan dan/atau minuman dalam kurun waktu tertentu. Di hampir semua agama di dunia, terdapat praktik puasa yang memiliki sedikit banyak perbedaan.
Pada faktanya, ternyata praktik ini telah ada sebelum kelahiran agama-agama itu sendiri. Lantas bagaimana pandangan agama Buddha terhadap praktik puasa itu sendiri?
Pentingnya puasa dalam agama Buddha
Di dalam agama Buddha, puasa adalah sebuah tahapan awal disiplin diri untuk memeroleh pengendalian diri yang baik. Puasa dipandang sebagai sebuah latihan. Praktik ini bahkan berperan penting dalam pencapaian kesempurnaan Pangeran Siddhartha.
Pada saat itu dikisahkan Pangeran sedang menjalani tapa ekstrem sambil berpuasa. Puasa yang dilakukannya adalah puasa ekstrem dengan hanya memakan sebutir biji wijen dan sebutir buah berry setiap hari. Akibatnya tubuh beliau menjadi sangat kurus dan lemah. Tubuh beliau yang sehat berubah menjadi seperti kulit yang menempel pada tulang. Sayangnya, meditasi beliau tidak mendapatkan kemajuan.
Akhirnya beliau sadar bahwa praktik ekstrim semacam ini justru tidak membawanya pada kemajuan. Beliau pun mulai minum susu dan memakan bubur persembahan. Dari titik inilah Beliau memulihkan kembali tenaganya dan duduk bermeditasi hingga mencapai Pencerahan.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa Buddha bertindak secara moderat. Beliau tidak menganjurkan praktik ekstrem. Demikian pula dengan pandangan terhadap praktik puasa. Tidak ada penolakan terhadap makanan, tetapi penting untuk dikedepankan kesederhanaan terhadap makanan.
Puasa juga tidak sekadar berhubungan dengan batasan asupan makanan bagi tubuh. Bagi umat awam, biasanya akan menjalankan puasa pada hari Uposatha. Pada hari ini pula mereka akan menjalankan Delapan Sila.
Delapan Sila ini tidak hanya tentang puasa (yaitu tidak makan lewat dari tengah hari), tetapi juga terkait latihan moralitas lainnya yang mencakup menghindari pembunuhan, pencurian, hubungan seksual, ucapan tidak benar, hiburan, dan kemewahan.
Dengan demikian, praktik puasa ini dilaksanakan bersamaan dengan praktik moralitas lainnya dengan tujuan melatih diri hidup dalam kesederhanaan, mengembangkan cinta kasih dan kebijaksanaan, serta mengembangkan sikap perilaku yang baik.
Praktek puasa bagi para biksu/ni
Puasa bagi komunitas Sangha adalah salah satu praktik pertapaan atau Dhutanga. Terdapat 13 dhutanga, lima di antaranya berkaitan dengan makanan: makan dari pengumpulan derma makanan (pindapatta), pengumpulan makanan tanpa melewati satu rumah pun (sapadanacarika), makan hanya sekali dalam sehari (ekasanika), makan hanya dalam satu mangkuk saja (pattapinika), dan tidak menerima makanan tambahan setelah mulai makan (khalupacchabhattika). Praktik pertapaan ini dilakukan tanpa paksaan, tetapi dipersilakan bagi para biksu dhutanga.
Dalam tradisi Theravada, para biksu/ni menjalankan puasa dengan tidak memakan makanan padat lewat dari tengah hari. Jadi mereka biasanya hanya makan mulai dari matahari terbit sampai tengah hari. Lewat dari itu, mereka tidak lagi makan makanan padat sampai keesokan harinya. Dengan kata lain, mereka berpuasa kurang lebih 18 jam setiap harinya.
Baca juga: Selalu Sadar dalam Mengkonsumsi ‘Makanan’ dan Berkomunikasi
Sedangkan dalam tradisi Mahayana dan Vajrayana, terdapat beberapa perbedaan latihan. Ada yang memperbolehkan makan lewat tengah hari, tetapi haruslah makanan vegetarian yang dikonsumsi dengan sewajarnya/tidak berlebihan.
Bagi para biksu/ni yang sedang melaksanakan latihan meditasi, puasa dianjurkan tetapi harus dengan pengawasan biksu/ni senior. Durasi puasa ini fleksibel dan biasanya tergantung pada keputusan dari masing-masing individu yang melaksanakannya. Tujuannya adalah untuk memurnikan tubuh, meningkatkan kejernihan pikiran, mengembangkan kebijaksanaan, dan mengurangi kemelekatan.
Para biksu/ni tradisi Mahayana biasanya berpuasa selama 18, 36 atau 72 hari. Sedangkan para biksu/ni tradisi Theravada menyesuaikan dengan periode meditasinya. Pada tradisi Vajrayana, terdapat ritual Ngyungne di mana puasa dilaksanakan selama dua hari.
Puasa bagi umat awam
Tidak jarang bagi umat Buddha perumah tangga untuk menjalankan praktik puasa. Biasanya ini dilakukan pada saat hari Uposatha, atau pada bulan baru dan bulan terang, atau enam kali sebulan (bisa pula lebih).
Para umat bisa mengikuti tradisi yang dianutnya. Misalnya dengan tidak makan lewat tengah hari, bervegetarian atau keduanya. Puasa dilakukan dengan tujuan memurnikan tubuh dan pikiran, mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk, kesehatan, dan bentuk pelatihan diri.
Dengan berpuasa, seseorang akan berusaha untuk melepaskan keinginan atau kemelekatannya terhadap makanan dan rasa lezat dari makanan, dan dengan demikian mengikis sedikit demi sedikit keserakahan yang ada di dalam dirinya.
Meskipun bukan hal yang wajib, teladan puasa telah diberikan sendiri oleh Buddha Gotama dalam Kitagiri Sutta bagian dari Majjhima Nikaya:
Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berkelana di Negeri Kasi bersama dengan kelompok besar Sangha bhikkhu. Disana Beliau berbicara kepada para bhikkhu demikian: “Para bhikkhu, aku berpantang makan di malam hari.
“Dengan melakukan hal ini, aku bebas dari penyakit dan penderitaan, dan aku menikmati kesehatan, kekuatan, dan kehidupan yang nyaman.
“Mari, para bhikkhu, berpantanglah makan malam. Dengan melakukan hal ini, kalian juga akan bebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kesehatan, kekuatan, dan kediaman yang nyaman.”
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara