• Friday, 22 March 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Surahman Ana

Wonosobo, 11 Maret 2024. Mengisi pesan Dhamma dalam rangka peringatan Magha Puja 2567 BE, Bhante Candakaro mengulas kembali ajaran Sang Buddha yang dikenal dengan Ovada Patimokkha di Vihara Budi Rahayu, Dusun Bangsari, Desa Wilayu, Kecamatan Selomerto. Acara ini dihadiri ratusan umat Buddha yang datang dari berbagai daerah seperti Temanggung, Banjarnegara, Kebumen, Banyumas, Semarang, Pati, dan Jepara.

Mengawali ceramahnya, bhante mengapresiasi antusias umat yang hadir dalam peringatan ini. “Ini sungguh kesempatan luar biasa, peringatan Magha Puja dengan penyalaan lilin begitu banyak. Rencana awal hanya 1250 lilin, tetapi karena antusias umat bahkan lilin yang berhasil dinyalakan lebih dari 1300,” ucapnya mengawali pesan Dhamma.

Bhante melanjutkan dengan mengingatkan peristiwa yang terjadi pada bulan Magha yang hingga kini menjadi salah satu hari besar Agama Buddha. Setelahnya, bhante menjelaskan tentang bagian dari Ovada Patimokkha, kotbah Sang Buddha kepada 1250 Arahat yang hadir dalam peristiwa di bulan Magha tersebut. Meskipun singkat, hanya tiga bait yang bhante jelaskan, namun ulasan ini menjadi inti dan sangat penting sebagai jalan hidup bagi umat Buddha.

Kesabaran Tidak Terbatas

Mengutip bait pertama, bhante menerangkan bahwa kesabaran adalah praktek Dhamma yang tinggi. Bhante menekankan pentingnya melatih kesabaran atau ketabahan dalam menghadapi kehidupan yang meliputi delapan kondisi.

“Kita hidup ada suka dan duka, ada kalanya senang ada kalanya tidak senang. Kalau Senang memang itu yang dicari, tapi kalau sedang tidak senang cenderung marah-marah, karena tidak sabar, tidak tabah, itu bukan ciri siswa Sang Buddha. Kondisi duniawi ini tidak ada senang terus, dan juga tidak ada susah terus, silih berganti seperti halnya roda. Roda itu berputar. Oleh karena itu kita sebagai siswa Sang Buddha harus tabah ketika kita menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, karena sekalipun tidak menyenangkan suatu saat pasti akan berubah,” jelas bhante.

Kondisi selanjutnya adalah pujian dan celaan, dimana keduanya juga butuh kesabaran dalam menghadapinya. Pujian nampaknya baik, akan tetapi jika tidak diimbangi kesabaran dan ketabahan maka menimbulkan sifat sombong dan besar kepala. Demikian juga dengan celaan, bakan cenderung menimbulkan kemarahan jika orang yang menerima tidak pernah melatih kesabaran di dalam diri. “Bahkan sekarang celaan tidak hanya melalui mulut tapi juga bisa lewat jari, melalui media sosial. Itu sering terjadi di masyarakat.”

Untung dan rugi, juga merupakan kondisi lazim yang dihadapi manusia yang menuntut kesabaran dalam menghadapinya agar hidup tetap tenang dan seimbang. Menurut bhante, kerugian jelas sangat mungkin menimbulkan emosi buruk bagi seseorang, namun demikian keuntungan pun bisa menimbulkan keserakahan yang lebih bagi orang yang tidak terlatih dalam Dhamma. Keserakahan yang menuntut keuntungan yang lebih dan lebih menimbulkan penderitaan yang labih pula.

“Tapi kalau yang mengerti Dhamma, untung sedikit pun bisa bersyukur, untung sedikit bisa digunakan untuk berdana, untuk berbuat bajik. Karena untung tidak hanya datang karena kerja keras, membanting tulang, mandi keringat, tetapi juga harus ada kebajikan yang mendukung. Maka dalam salah satu sutta disebutkan, bahwa kalau kebajikan kita cukup maka apapun cita-cita kita akan tercapai, meliputi cita-cita duniawi, cita-cita surgawi, dan kesempurnaan batin. Dan ini harus didukung dengan kebajikan,” lanjut bhante.

Kondisi lain yang bhante jelaskan adalah terkenal dan tersisihkan, dimana di satu waktu seseorang bisa terkenal sementara di waktu lain bisa terkucilkan. Di saat terkenal muncul senang, tetapi saat terkucilkan, tidak dihiraukab oleh lingkungan, berada di suatu tempat tidak ada yang menyapa, muncul kesedihan, bahkan kemarahan di dalam diri. “Nah kalau kita tidak disapa di suatu tempat, ya kita sendiri yang harus menyapa, mengenalkan diri supaya orang-orang bisa kenal.”

Praktek kesabaran, bhante melanjutkan, hendaknya tidak dibatasi. Sebab, ketika seseorang membatasi kesabaran maka batin akan menjadi ringkih, dan menjadi orang yang tidak ulet. Kesabaran yang tidak terbatas akan mengantarkan seseorang menuju kesempurnaan batin. Hal inilah yang menjadi tujuan tertinggi dari ajaran Sang Buddha, yaitu mencapai kesempurnaan atau Nibbana, terbebas dari penderitaan.  

“Maka kita harus berusaha untuk praktek Dhamma dengan sungguh-sungguh,” tegas bhante.

Sila-Samadhi-Panna

Bait kedua yang bhante jelaskan adalah anjuran untuk tidak berbuat kejahatan. Bhante pun memaparkan cara khsususnya bagi umat Buddha untuk terhindar dari perbuatan jahat. Yang pertama adalah dengan praktek lima sila atau Pancasila Buddhis dan delapan sila atau Athasila. “Sila yang dilatih dengan  baik bisa mengakibatkan pencapaian kesucian.”

Sila yang dipraktekkan dengan baik bahkan bisa bisa mengkondisikan seseorang untuk terlahir di alam surga. Hal lain keuntungan praktek sila adalah dapat memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma. Menurut bhante, kekayaan dunia yang didapat dengan cara tidak melanggar sila maka kekayaan itu tidak akan cepat habis, dan juga mendapat kekayaan batin. Dengan kata lain, melanggar sila sama dengan mempermiskin lahir dan batin.

“Kemudian dengan menjalankan sila dapat mengkondisikan seseorang untuk mencapai Nibbana. Untuk mencapai Nibbana, di samping kita tidak melanggar sila juga harus berbuat banyak kebajikan seperti halnya berdana, praktek meditasi, hidup sabar dan lainnya. Semakin banyak kebajikan, hidup kita akan semakin mudah. Kebajikan bisa mengabulkan segala cita-cita kita.”

Anjuran terakhir dalam bait kedua ini adalah berusaha untuk mensucikan batin dengan cara praktek samadhi, sehingga terbebas dari pengotor batin yaitu kebodohan, keserakahan, dan kebencian yang menjadi sumber kejahatan. Batin seseorang bisa suci atau tidak tergantung pada dirinya sendiri, tidak ada orang lain yang bisa mensucikan batin seseorang, bahkan Sang Buddha sendiri tidak bisa mensucikan siswanya, tetapi siswanya yang harus berusaha mensucikan batinnya sehingga terbebas dari pengotor batin.

“Bait ketiga, tidak menghina, tidak menyakiti, hidup sesuai dengan peraturan (Sila). Makan secukupnya, jangan berlebihan, tinggal di tempat yang sunyi, senang mengembangkan batin atau meditasi. Itulah ajaran para Buddha. Baik Buddha-Buddha yang lampau maupun Buddha Gautama juga mengajarkan demikian.”

Secara singkat, kotbah Sang Buddha dalam Ovada Patimokkha meliputi Sila, Samadhi, dan Panna. Dimana ketiganya saling mempengaruhi satu sama lain, dan bermuara pada pencapaian kesucian pikiran atau mencapai Nibbana.

“Dalam Ovada Patimokkha, saya tadi mengutip. Samadhi bila dilandasi dengan pengembangan Sila akan memberikan hasil besar, memberikan keuntungan besar. Kemudian Panna bila dilandasi dengan Samadhi maka akan memberikan hasil atau keuntungan besar. Kemudian pikiran atau citta bila dilandasi dengan pengembangan kebijaksanaan maka akan dapat terbebaskan dari kilesa atau kekotoran batin yaitu nafsu keinginan indria, nafsu keinginan untuk terus menjadi, dan kebodohan batin,” pungkas bhante.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *