
Dalam penelitiannya yang mendalam terhadap metode meditasi Buddhis, YM. Dr. Vajirañana mengatakan hal ini tentang meditasi perhatian penuh pada kematian:
“Sebenarnya (metode) meditasi ini termasuk dalam meditasi Vipassana, karena sang murid harus mengembangkannya saat mengamati persepsi anicca, dukkha, dan anatta”.
Saat YM. Somdet Phra Vanarata, selanjutnya menjadi Wakil Sangha Thailand, mengunjungi Wat Dhammadipa, Hampstead, London, pada 23 Oktober 1968, beliau berbicara mengenai subjek kematian. Beliau mengatakan bahwa kita sangatlah beruntung dapat terlahir dalam keadaan manusia, yang memiliki seluruh kemampuan indera dengan sempurna, karena hal ini memberikan kesempatan pada kita untuk mendengarkan dan mempraktekkan Dhamma.
Hal ini merupakan keuntungan yang mestinya tidak kita sia-siakan karena terlahir dalam alam manusia adalah hal yang sangat jarang. Jika manusia dilahirkan buta atau tuli, atau tanpa kemampuan indera lainnya, hal ini merupakan akibat dari kamma. Mereka mungkin harus menunggu kesempatan lainnya.
Kita harus selalu ingat tentang kematian yang tak terhindari. Kewaspadaan akan hal ini akan membuat kita berhenti melekat terlalu erat pada hal-hal duniawi. Jika kita dengan konstan menjaga pikiran tentang kematian dalam pikiran kita, hal ini akan menjadi suatu dorongan untuk bekerja keras pada diri kita sendiri dan melakukan perkembangan yang lebih baik.
Jenis-jenis kematian
Standar meditasi terhadap kematian diberikan oleh Buddhaghosa di Bab VIII dari Visuddhimagga (“Jalan Kesucian”). Standar tersebut dapat diringkas sebagai berikut: Buddhaghosa memulai dengan menyebutkan jenis-jenis kematian yang tidak dipertimbangkannya: kematian akhir seorang Arahat; “mati suri” (yakni dari saat ke saat penguraian pembentuk kehidupan); atau penggunaan istilah “kematian” secara kiasan.
Beliau mengacu pada kematian yang tepat waktu yang muncul karena habisnya nilai kebajikan, atau waktu kehidupan, atau keduanya; dan pada kematian yang tidak pada waktunya yang diakibatkan oleh kamma yang menginterupsi kamma (penghasil kehidupan) lainnya. Seseorang mesti pergi mengasingkan diri dan melatih perhatian dengan bijak seperti demikian: “Kematian akan terjadi, kelompok kehidupan akan dipotong,” atau “Kematian, kematian”.
Perhatian yang tidak bijak dapat muncul dalam bentuk duka cita (pada kematian seorang yang dikasihi), kesenangan (pada kematian seorang musuh), netral (sebagaimana seorang petugas krematorium), atau ketakutan (pada pikiran akan kematian dirinya sendiri). Di sana mesti selalu ada perhatian penuh, dorongan mendesak, dan pengetahuan. Selanjutnya “memasuki konsentrasi” dapat dicapai – dan inilah dasar bagi munculnya Pengetahuan Sempurna.
“Namun”, lanjut Buddhaghosa,“ ia yang menemukan bahwa hal tersebut tidaklah terlalu jauh mesti melakukan perenungannya terhadap kematian dalam delapan cara, yakni: (1) sebagai munculnya seorang pembunuh, (2) sebagai keruntuhan kesuksesan, (3) dengan perbandingan, (4) sebagai berbagi tubuh dengan banyak, (5) sebagai kerapuhan kehidupan, (6) sebagai tanpa tanda, (7) sebagai batasan terjauh, (8) sebagai waktu sesaat”.
Beberapa istilah ini tidaklah cukup menjelaskan: karenanya (3) berarti membandingkan diri sendiri dengan orang lain – bahkan terhadap mereka yang hebat dan terkenal, bahkan para Buddha, semuanya akan meninggal; (4) berarti bahwa tubuh dihuni oleh segala jenis makhluk aneh, “delapan puluh keluarga cacing”. Mereka hidup tergantung pada, dan diberi makan pada, kulit luar, kulit dalam, daging, otot, tulang, sumsum, “dan mereka lahir, menjadi tua dan mati, diurai, dan menjadi cairan, dan tubuh ini adalah rumah istana mereka, rumah sakit mereka, tanah kubur mereka, tempat hajat dan urin mereka”. (6) berarti bahwa kematian tidak dapat diprediksi, (8) merujuk pada pendeknya usia kehidupan manusia.
Buddhaghosa menyimpulkan: “Seorang bhikkhu yang mendalami perhatian penuh terhadap kematian mestilah secara konstan rajin. Ia memeroleh persepsi kekecewaan dengan seluruh jenis kemenjadian (keberadaan). Ia menaklukkan kemelekatan terhadap kehidupan. Ia menghindari perbuatan jahat. Ia menghindari banyak menyimpan (atas kepemilikan). Ia tidak memiliki syarat noda keserakahan.
Persepsi mengenai ketidakkekalan berkembang dalam dirinya, yang diikuti oleh munculnya persepsi mengenai penderitaan dan tanpa inti diri. Namun ketika para makhluk yang tidak mengembangkan perhatian penuh terhadap kematian akan menjadi korban ketakutan, kengerian dan kebingungan pada saat kematian sebagaimana saat tiba-tiba diserang oleh binatang buas, roh halus, ular, perampok, atau pembunuh, ia (yang berlatih) meninggal dengan tanpa kebingungan dan tanpa ketakutan tanpa jatuh ke dalam keadaan seperti itu. Dan jika ia tidak mencapai keadaan tanpa kematian di sini dan sekarang, ia setidaknya menuju pada jalan kebahagiaan akan penguraian tubuh ini.
—
Dicuplik dari “Ajaran Buddha dan Kematian” (2010). Insight Vidyasena Production.