Apakah hidup ini adil? Apakah orang jahat akan berakhir dalam nestapa? Apakah perbuatan baik akan mendapatkan ganjaran setimpal? Banyak orang mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini.
Satu tradisi menjanjikan surga bagi mereka yang berbuat baik. Neraka tersedia bagi mereka yang terus menyakiti makhluk hidup lain. Tradisi lain mengajarkan konsep karma. Ia pun dipahami sebagai ekonomi moral.
Jika mau kaya, haruslah banyak memberi. Jika pelit, maka pasti orang akan hidup miskin. Seolah ada yang mencatat semua perbuatan kita di dunia. Sayangnya, ini tidak sepenuhnya tepat.
Karma bukanlah sekadar ekonomi moral. Tak ada yang mencatat perbuatan kita di atas sana. Surga dan neraka hanya dongeng untuk mengontrol perilaku kita. Jadi, bagaimana kita memahami hidup ini?
Karma: Memahami dengan tepat
Hidup kita adalah karma kita. Karma berarti tindakan yang mendatangkan akibat. Ia adalah jejak dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Ia membentuk kebiasaan berpikir tertentu. Ia membentuk pula tubuh kita dari saat ke saat.
Karma terbagi menjadi dua, yakni karma kolektif dan karma pribadi. Karma kolektif berasal dari luar diri kita. Ia berasal dari alam semesta, ras, suku sampai dengan keluarga. Bentuknya adalah tubuh fisik kita, budaya sekaligus kecenderungan dasar sifat kita.
Karma kolektif di luar kendali kita. Ia diatur oleh pola-pola semesta yang sangat rapi. Sementara, karma pribadi kita adalah tanda kebebasan kita. Di sini dan saat ini, apa yang kita perbuat? Inilah yang menjadi pilihan bebas kita.
Karma pribadi terbagi lagi menjadi dua, yakni karma sadar dan tidak sadar. Karma sadar adalah tindakan yang kita lakukan dengan penuh kesadaran. Kita memahami dan menerima dampaknya. Misalnya, kita dengan sadar memilih untuk makan sehat, maka tubuh kita akan juga sehat.
Karma tidak sadar adalah tindakan yang tidak kita sadari. Kita melakukannya secara mekanis. Ia telah menjadi kebiasaan. Namun, dampaknya tetap kita rasakan.
Karena tidak dilakukan dengan sadar, orang mengiranya sebagai takdir. Tak ada takdir di dalam hidup ini. Semua yang terjadi adalah akibat dari sebuah sebab. Masalahnya, apakah kita sadar sepenuhnya atas sebab itu, atau tidak?
Samsara: Penderitaan yang terus berulang
Karma tak sadar kerap kali berulang. Kita terjatuh ke dalam kesalahan yang sama. Kita mencoba memperbaiki. Namun, jika hanya niat, tanpa kesadaran, semua jadi percuma.
Inilah yang disebut Samsara. Kita mengulang terus apa yang sebelumnya sudah terjadi. Kita kecanduan untuk jatuh ke dalam kesalahan. Kita bahkan mengira, bahwa ini adalah takdir, atau hukuman Tuhan. Sungguh kesalahan berpikir yang amat fatal.
Samsara adalah akar dari derita. Bahkan, hal yang menyenangkan, jika berulang, akan menghasilkan jemu. Jemu bermuara pada rasa tidak puas. Penderitaan pun tak terhindarkan.
Menuju Nirwana
Nirwana berarti lenyapnya derita. Ini berarti, orang keluar dari lingkaran samsara. Ia tidak lagi mengulang pola yang sama. Ia memutus pola, dan terbebas sepenuhnya disini dan saat ini.
Ada empat jalan yang bisa dilakukan. Pertama adalah dengan jalan hidup berkesadaran. Kita memilih karma kita secara sadar. Kita juga siap menanggung akibatnya, jika ia tiba.
Karma lama akan dihabiskan. Karma baru akan dipilih secara sadar. Kuncinya adalah melakukan semuanya dengan penuh kesadaran dan kehendak baik. Jika waktunya sudah tepat, nirwana pun akan tiba.
Dua, tradisi Zen amat menekankan hal ini, yakni hidup sepenuhnya di sini dan saat ini. Pikiran berjangkar sepenuhnya di dalam kenyataan di sini dan saat ini. Karena karma tertanam di dalam pikiran, maka ia pun akan berhenti seketika. Di sini dan saat ini, nirwana pun tiba.
Nirwana tidak terjadi nanti. Ia tidak perlu ditunggu untuk tiba di masa depan. Ia terjadi di sini dan saat ini. “Sekarang” adalah keabadian dan kesempurnaan itu sendiri.
Tiga, inilah inti seluruh spiritualitas di dunia, yakni menyadari kekosongan sebagai inti dari segala sesuatu, termasuk inti dari diri. Kekosongan bukanlah ketiadaan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia adalah kesadaran yang mencatat segala sesuatu, tanpa menilai ataupun menganalisis.
Kata “hening” dalam bahasa Indonesia kiranya lebih terasa tepat. Hening bukanlah ketiadaan. Ia adalah keadaan batin, ketika kita mengalami segala sesuatu sebagaimana adanya. “Hening” juga adalah Tuhan itu sendiri, dimana segala sesuatu berawal dan kembali, jika waktunya tiba.
Empat, pemahaman tentang tubuh dan pikiran juga bisa mendorong kita memasuki nirwana. Kita bukanlah tubuh kita, karena tubuh hanyalah sisa makanan yang pernah kita makan sebelumnya. Kita juga bukanlah pikiran kita, karena itu pun juga sisa dari interaksi sosial kita dengan masyarakat. Jika kita bukanlah tubuh ataupun pikiran kita, maka siapa kita?
Kita adalah kehidupan itu sendiri. Kita adalah satu dan sama dengan segala yang ada di dalam semesta. Kesadaran ini akan memutus rantai samsara. Ia akan mengantarkan kita ke cinta kasih seluas samudera, dan menyentuh jantung hati nirwana.
Keempat jalan ini akan mengantarkan kita pada satu titik yang sama. Di dalam hidup, ia merupakan pencapaian tertinggi. Ia menawarkan kenikmatan yang tiada tara, dan kebijaksanaan yang seluas semesta. Di hari yang penuh berkat ini, 26 Mei 2021, Buddha Gotama menyentuh semesta di dalam dirinya, dan mencapai pencerahan. Semoga kita berada di jalan yang serupa.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara