• Friday, 8 May 2020
  • Salim Lee
  • 0

Perjalanan seorang ayah ini panjang, terutama kali ini. Selalu ditemani oleh ananda yang setia, tampak meninggalkan bukit Gijjhakūṭa di Rājagaha setelah menerima kunjungan Vassakārā, tamtama agung kerajaan Māgadha utusan raja Ajātasattu. Ayah dan anaknya ini melanjutkan perjalanannya ke arah utara, menuju ke Ambalaṭṭhikā kemudian ke Nālandā.

Di Nālandā, mereka dijemput oleh Sāriputta, murid kesayangan sang Ayah, yang juga sudah berumur. Mereka tinggal di Pāvārikambavana, hutan mangga di Pavarika. Percakapan mereka sangat berarti, seakan-akan Sāriputta merasa bahwa mungkin ini adalah percakapan mereka yang terakhir.

Pagi itu, dengan berlutut dan menyembah, Sariputta mengantar dan melepas mereka di perbatasan jalan. Tanpa beranjak dengan tangan yang tertangkup didada, pandangannya melekat ke siluet mereka yang tampak mengecil, berjalan ke arah barat laut menuju ke Pāṭaligāma.

Banyak sekali penduduk Pāṭaligāma yang menjemput dan memohon kepada sang Ayah untuk memberi wejangan. Tempat langsung dipersiapkan di āvasathāgāra, pendapa utama di balai desa Pāṭaligāma.

Meskipun tanpa istirahat, sang Ayah dengan tulusnya membabarkan perbedaan antara hidup yang bermoralitas dibanding dengan hasil hidup tanpa kompas moral.

Meninggalkan Pāṭaliputta menuju ke Koṭigāma, mereka menyeberangi sungai Gangga. Di Koṭigāma, didepan kumpulan komunitas pengikutnya sang Ayah menjelaskan lagi tentang empat kenyataan para arya. Kemudian mereka melanjutkan perjalannya ke Nadika.

Di Nadika, sang anak menanyakan kepada ayahanda tentang teman dan murid sang Ayah yang sudah meninggal di Nandika, seperti bhikku Sāḷha, bhikkhunī Nandā, upāsaka Suddatta, upāsikā Sujātā, upāsaka Kakudha, Kāliṅga, Nikaṭa, Kaṭissabha, Tuṭṭho, Santuṭṭha, Bhadda, Subhadda, dan juga beberapa ratus upāsaka dan upāsika. Pada kesempatan itu sang Ayah membabarkan ajaran “Dhammādāsa (Cermin Dharma)”, yang menyangkut keberadaan kehidupan.

Kemudian sang Ayah mengajak putranya melanjutkan perjalanannya ke Vesāli dan tinggal di Ambapālivana. Setelah beberapa hari mereka berjalan ke Beluvagāmaka. Di sini mereka tinggal semasa musim hujan.

Musim hujan

Semasa musim hujan itu, badan dan kesehatan sang Ayah yang sudah berumur lebih dari 80 tahun mulai mundur. Bahkan pada suatu hari sang Ayah merasakan sakit yang tajam, sakit yang begitu parah seperti mematikan.

Saat itu terpikir oleh sang Ayah bahwa tidak sepantasnya jika sampai pada akhirnya meninggal tanpa memberi tahu kepada orang-orang yang selalu menemaninya, tanpa pamit sebelum meninggalkan komunitas murid dan pengikutnya. Lalu penyakit ini ditekannya dengan kekuatan kemauan dan tekad untuk mempertahankan proses kehidupan, dan hidup terus. Dan sang Ayah akhirnya perlahan-lahan sembuh.

Sang anak bersyukur: “ananda sangat beruntung dapat melihat ayahanda pulih! Karena sesungguhnya, ketika ananda melihat penyakit ayahanda, seolah-olah tubuh ananda sendiri menjadi lemah, semua di sekitar saya menjadi redup, seakan-akan indra saya tak berfungsi.

Namun, ayah, ananda masih memiliki sedikit harapan dalam pemikiran ananda bahwa ayahanda tidak akan sampai pada akhirnya wafat sebelum ayahanda memberikan beberapa instruksi terakhir kepada komunitas dan murid-murid ayahanda.”

Sang Ayah menjawab: “Menurut ananda, apa lagi yang diharapkan oleh komunitas dari saya? Saya membabarkan Dharma tanpa membuat perbedaan antara ajaran esoteris yang khusus hanya untuk orang-orang tertentu atau eksoteris yang untuk umum; saya tidak akan menggenggam sedikitpun ajaran yang saya ingin simpan untuk diri saya sendiri.

Siapa pun yang mungkin berpikir bahwa dialah yang harus memimpin komunitas, atau bahwa komunitas ini bergantung padanya, orang itulah yang seharusnya memberikan instruksi terakhir. Tapi, saya sama sekali tidak memiliki gagasan untuk menunjuk seorang pun yang selanjutnya harus memimpin komunitas, atau bahwa komunitas bergantung padanya. Jadi instruksi apa yang harus diberikan kepada komunitas?”

“Sekarang saya lemah anakku, tua, berumur lanjut, sudah hidup bertahun-tahun. Ini adalah tahun ke delapan puluh, dan masa hidupku sudah hampir habis. Seperti kereta pedati tua, ananda, yang harus diikat dan disatukan dengan susah payah, demikian pula tubuh saya yang hanya dapat terus berjalan jika dengan dukungan.

Objek

Hanya ketika saya mengabaikan objek-objek eksternal, dan dengan lenyapnya perasaan-perasaan tertentu, mencapai, dan berdiam dalam konsentrasi pikiran yang tanpa tanda, tubuh ini merasa lebih nyaman.”

“Karena itu, ananda, jadikanlah dirimu sendiri sebagai pulau, andalkan dirimu sendiri, tidak perlu mencari andalan di luar; dengan Dharma sebagai pulau bagimu, dharma sebagai andalanmu, dan tidak mencari andalan lainnya.

Tasmātihānanda, attadīpā viharatha attasaraṇā anaññasaraṇā, dhammadīpā dhammasaraṇā anaññasaraṇā.

Siapa pun sekarang atau setelah saya tiada, menjadi pulau buat diri mereka, mengandalkan diri mereka sendiri, tidak mencari andalan lain diluar, menjadikan dharma sebagai pulau dan andalan mereka, dan yang tidak mencari andalan luar lainnya, merekalah yang akan menjadi yang tertinggi, jika mereka memiliki keinginan untuk belajar.”

Pada suatu hari, di depan komunitas yang sudah berkumpul, sang Ayah berkata: “Semua pengetahuan dan ajaran-ajaran ini saya alami dan dapatkan secara langsung dan saya telah mengajarkannya kepada kalian – inilah yang harus kalian pelajari, tumbuh kembangkan, didalami, dan selalu dipraktikkan secara menyeluruh, agar tercipta kehidupan tanpa cela yang bertahan lama, demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak, karena kewelas-asihan bagi seluruh alam, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.

“Dan apakah, ajaran-ajaran ini? Empat landasan perhatian – cattāro satipaṭṭhānā, empat upaya yang sepadan – cattāro sammappadhānā, empat landasan kekuatan batin – cattāro iddhipādā, lima daya indrawi – pañca indriya, lima kekuatan – pañca bala, tujuh faktor penggugahan – satta sambojjhaṅgā, dan delapan jalan para Arya – ariya aṭṭhaṅgika magga, inilah pengetahuan ajaran-ajaran yang saya dapatkan secara langsung, yang telah saya sampaikan kepada kalian, dan yang harus kalian pelajari, tumbuh kembangkan, didalami, dan selalu praktikkan secara menyeluruh, agar tercipta kehidupan tanpa cela yang bertahan lama, demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak, karena kewelas asihan bagi seluruh alam, demi manfaat, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia.”

Kemudian sang Ayah berkata kepada semua yang hadir: “Jadi, camkanlah nasehat saya ini:

Semua yang terbentuk akan lebur, hanya kesungguhan melalui kewaspadaan yang akan berhasil.

vayadhammā saṅkhārā appamādena sampādetha.

Waktu terakhir saya sudah dekat. Tiga bulan lagi saya akan benar-benar berlalu.”

Pagi harinya, mereka pergi ke Vesali untuk menerima dana makanan. Sang Ayah memandang Vesali sekali lagi dengan sorot tatapan bak seekor gajah, dan berkata “Anakku, ini adalah terakhir kalinya ayah memandang Vesali. Sekarang anakku, marilah kita pergi ke Bhandagama.”

Di Bhandagama, dan kemudian juga di Hatthigama, Ambagama, Jambugama, Bhoganagara, sang Ayah menemui dan mengajar ke murid-murid dan pengikutnya. Tubuh sang Ayah semakin rapuh.

Dari Bhoganagara, sang Ayah minta diantar ke Pava dan mereka tinggal di hutan mangga milik Cunda kammāraputta – Cunda dari keluarga pekerja logam.

Pada pagi harinya, atas undangan Cunda, sang Ayah beserta pengikutnya berkunjung ke rumah Cunda untuk makan siang yang sudah disiapkan. Berbagai santapan dihidangkan, terutama masakan babi khusus yang lezat – sūkaramaddava.

Sang Ayah memohon agar sūkaramaddava hanya diberikan untuk dirinya dan hidangan-hidangan yang lain untuk para pengikutnya. “Cunda, apa pun yang tersisa dari sūkaramaddava ini, kuburkanlah. Karena saya tidak melihat siapa pun yang bisa memakan dan mencerna sepenuhnya sūkaramaddava ini kecuali saya saja.”

Setelah sang Ayah memakan makanan yang disediakan oleh Cunda, sang Ayah merasa rasa sakit yang sangat parah, disentri, rasa nyeri yang tajam dan menusuk. Sang Ayah menahan sakitnya dengan penuh perhatian dan jelas memahami apa yang dialaminya sehingga tidak gelisah.

Kemudian Sang Ayah meminta anaknya dengan mengatakan: “Ayo anakku, mari kita pergi ke Kusinārā.”

Dari kota Pava jarak ke Kusinārā adalah 3 gavuta, kurang lebih 8 kilometer. Berjalan sejauh itu dengan bertatih-tatih dan susah payah, mereka harus sering berhenti dan beristirahat.

Di suatu saat mereka berhenti di tepi jalan, duduk dikaki pohon. “Anakku, tolong lipatkan jubah atas saya. Saya lelah anakku dan butuh berbaring. Tolong ambilkan saya air, anakku. Saya haus dan ingin minum.”

Sang anak mengutarakan pendapatnya “Tetapi sekarang, ayahanda bisa melihat begitu banyak kereta pedati, lima ratus pedati, bersimpang siur. Genangan air dangkal di permukaan jalan selalu terlindas roda-roda, sehingga selalu keruh dan berlumpur.

Tetapi di dekat sini ada sungai Kakuttha, cukup dekat, dan airnya jernih, dingin, dan bening tembus cahaya. Jalannya mudah dan tempatnya menyenangkan. Di sana ayahanda dapat memuaskan dahaga dan menyegarkan anggota tubuhnya. “

Tetapi untuk kedua kalinya sang Ayah mengajukan permintaannya, dan anaknya menjawabnya seperti sebelumnya. Dan kemudian untuk ketiga kalinya sang Ayah berkata: “Tolong bawakan saya air, anakku. Saya haus dan ingin minum.”

Sang anak kemudian menjawab, “Baiklah Ayah” Dan dia mengambil mangkuk dan pergi mendekati genangan-genangan air di permukaan jalan itu.

Ketika sang anak mendekati genangan yang dangkal itu, yang selalu terlindas roda-roda, sehingga selalu keruh dan berlumpur, genangan itu menjadi jernih dan lumpurnya mengendap, bening, dan menyenangkan.

Kemudian sang anak berpikir: “Luar biasa dan yang paling menakjubkan adalah kekuatan dan kemuliaan ayahanda!” Sang Ayah lalu meminum air itu untuk menghilangkan dahaganya.

“Mari kita lanjutkan perjalanan kita anakku, menyeberang sungai Hiraññavati, dan pergi ke hutan pohon sala (pohon keruing) orang-orang suku Malla – mallānaṃ sālavana, di sekitar Kusinara.”

Di sepanjang jalan mereka harus berhenti dan beristirahat dua puluh lima kali. Mereka mencapai hutan Sala disaat senja ketika matahari sudah terbenam.

Rapuh

Beginilah kenyataan rapuhnya manusia, datangnya penyakit maupun penuaan akan menghancurkan semua kesehatan dan tubuhnya.

“Anakku, tolong siapkanlah alas baringan di antara pohon sala kembar itu, bagian kepalanya di utara. Saya lelah anakku, dan butuh berbaring.”

“Baik Ayah” sang anak dengan segera melakukan apa yang diminta oleh ayahanda.

Kemudian sang Ayah berbaring di sisi kanan badannya, dalam posisi singa, kaki satu bertumpu diatas kaki yang lain, dan dengan demikian beristirahat dengan penuh pengertian dan pemahaman yang jelas.

Pada saat itu pohon sala kembar pecah mekar sepenuhnya, meskipun itu bukan musim berbunga. Dan bunga-bunga menghujani tubuh sang Ayah dan jatuh serta tersebar dan berserakan di atasnya untuk seakan-akan menyembah sang Ayah.

Begitu juga bunga dadap mandarava surgawi – mandāravapupphā, bunga dan bubuk cendana surgawi dari langit menghujani tubuhnya, dan jatuh serta berserakan dan berserakan di atasnya untuk menyembah sang Ayah. Suara-suara surgawi dan alat musik surgawi berkumandang karena rasa hormat untuk sang Ayah.

Dan sang Ayah menatap anaknya, mengatakan: “Lihatlah anakku, pohon sala kembar sedang mekar penuh, meskipun kini bukan musim berbunga. Dan bunga-bunga menghujani tubuh ayahanda dan jatuh dan tersebar serta berserakan di atasnya.

Begitu juga bunga dadap mandarava surgawi – mandāravapupphā, bunga dan bubuk cendana surgawi dari langit menghujani tubuhnya, dan jatuh serta berserakan dan berserakan di atasnya untuk menyembah ayahanda. Suara-suara surgawi dan alat musik surgawi berkumandang karena rasa hormat untuk sang Ayah.

“Namun demikian anakku, bukan demikian caranya ayahanda dihormati, disujudi, dihargai, disembah, dan dijunjung ke tingkat tertinggi.

Anakku, jika ananda dan semua pengikutku, hidup berlandaskan dharma, hidup dengan tegak dalam dharma, berjalan di jalan dharma, dengan cara seperti itulah ayahanda dihormati, disujudi, dihargai, disembah, dan dijunjung ke tingkat tertinggi.

Dhammānudhammapaṭipanno viharati sāmīcipaṭipanno anudhammacārī

Oleh karena itu anakku, satu permintaanku, jika ananda ingin menghargai dan menghormatiku, senantiasalah menjalani kehidupan berlandaskan dharma, hidup dengan tegak dalam dharma, berjalan di jalan Dharma.”

Seandainya ……

kita beruntung mendapatkan pengetahuan yang dapat diandalkan, ajaran yang menunjukkan arah kehidupan yang bermanfaat dan bimbingan untuk hidup yang sentosa dan berarti…

Seandainya ……

kita anaknya yang selalu dapat menyerap ajaran dan menghayati kehidupan sang Ayah yang secara penuh dan sempurna tergugah, sehingga dengan segala naik turunnya hidup, kita bisa hidup bermanfaat, terampil, penuh kepedulian, tegar, tabah, percaya diri dan tidak gentar menghadapi apa pun…

Seandainya ……

Sang Ayah itu Buddha. Cukupkah kita sekedar membuat arca baginya? Membangun gedung megah untuk memujanya? Atau menghafalkan ajarannya? Cukupkah hanya merayakan peringatan hari-hari tertentu
dalam kehidupannya?

Apa yang akan kita lakukan untuk menghargai dan menghormatinya? Apakah kita bersedia untuk memenuhi permintaannya?

Semoga kita berani bertekad untuk tidak hanya bisa bergumam dharma, tetapi menjalani kehidupan berlandaskan dharma, hidup dengan tegak dalam dharma, berjalan di jalan dharma.

Dan ini mungkin cara terbaik untuk merayakan hari ini dan setiap hari. Tekad ini akan membuat ucapan

“Selamat Waisak” bermakna.

Selamat Waisak semuanya

Salim Lee

Seorang upasaka yang telah belajar Buddhadharma selama bertahun-tahun dengan guru-guru besar seperti Dalai Lama ke-14 dan Lama Thubten Zopa Rinpoche.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *