• Friday, 15 May 2020
  • Ngasiran
  • 0

Buddhadharma telah bertahan lebih dari 2500 tahun. Setelah melewati waktu yang begitu lama, ajaran Buddha telah menjadi pedoman hidup umat manusia, berkembang dalam banyak tradisi, negara, bahasa, dengan warna jubah yang berbeda-beda.

“Yang membuat saya bangga, meskipun begitu banyak tradisi yang berkembang, semua memiliki benang merah. Ada ajaran inti, atau ajaran-ajaran dasar sebelum ajaran ini dibungkus, dan dikembangkan sesuai dengan konteks di mana kita berada,” ujar Salim Lee seorang praktisi Buddhadharma dalam belabar (belajar bersama) melalui Google Meet, Minggu (3/5).

Namun yang menjadi persoalan terkadang banyak orang yang terlalu melekat pada bungkusan. Bungkus itu baik dalam bentuk ritual, tradisi, lembaga, dan aturan-aturan organisasi yang semakin tebal, makin kuat dikhawatirkan menutupi inti dari ajaran itu sendiri. “Apa to inti ajaran Buddhadharma sebelum dibungkus terlalu ketat dengan tradisi, ritual, dan interprestasi-interprestasi tertentu?

“Yang jelas semua ajaran Buddha itu untuk hidup ini supaya bermakna. Jelas ajaran-ajaran Buddha itu adalah cara hidup dan sikap pandang untuk mengerti dukha. Jadi ketika hidup kita berhenti tidak ada penyesalan. Selalu itu, caranya macam-macam, tehniknya macam-macam tapi semua menjurus ke sana,” jelas Om Salim.

Kalama Sutta

Diceritakan Buddha sedang melakukan perjalanan bersama orang-orang Kosala dengan sekumpulan besar bhikkhu, tiba di Kesaputta, kota para Kalama. Para Kalama yang bingung dengan para pertapa dan samana yang lewat ke kotanya bertanya kepada Buddha:

Bhagavan, beberapa pertapa dan samana datang ke Kesaputta. Mereka memaparkan dan mengagungkan ajaran-ajaran mereka sendiri, namun terhadap ajaran-ajaran lainnya, mereka mencelanya, mencercanya dan meremehkannya.

Begitu pula pertapa dan samana lainnya yang datang ke Kesaputta. Mereka memaparkan dan mengagungkan ajaran-ajaran mereka sendiri, namun terhadap ajaran-ajaran lainnya, mereka mencelanya, mencercanya dan meremehkannya.

Mereka membuat kami bingung dan ragu: Manakah di antara para pertapa dan samana yang berkata benar dan manakah yang tidak?

Mendengar pertanyaan itu Buddha menjawab:

Tentu saja kalian bingung, para Kalama. Tentu saja kalian ragu. Saat benih keraguan muncul, maka kebingungan pun muncul.

Jadi dalam hal ini, para Kalama, janganlah percaya berdasarkan keterangan, legenda, tradisi, kitab suci, hal yang kelihatannya logis dan masuk akal, kesimpulan, perumpamaan, kesepakatan berdasarkan pertimbangan tertentu, kemungkinan, atau pemikiran bahwa, ‘Samana ini adalah guru kita.’

Ketika kalian mengetahui sendiri bahwa, ‘Ini tidak bermanfaat; ini patut dicela; ini dikritik oleh para bijaksana; hal-hal ini jika diterima dan dijalankan, akan merugikan dan membawa penderitaan’ – maka kalian harus menghindarinya.

Selanjutnya, dalam kalimat yang hampir sama, Buddha menjelaskan kepada para Kalama. ‘Bila kalian sudah tau sendiri bahwa; ini bermanfaat, ini tak tercela, ini dipuji oleh para bijaksana, hal-hal itu jika diadopsi dan dijalankan akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan – maka kalian harus menerima dan menjalankannya.

“Mana ajaran yang membawa manfaat, mana yang patut dihindari, dan yang terakhir Buddha mengatakan apa yang bisa kamu lakukan. Hal-hal seperti ini harus kita rasakan di dalam dirimu. Ini sangat penting sebagai dasar cara kita mempunyai pandangan dalam hidup ini. Terutama dalam waktu-waktu seperti ini, saya kira luar biasa sekali.

“Lucu kan, suku Kalama itu datang bertanya kepada Buddha, mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang salah. Tapi beliau malah minta kamu merasakan sendiri, menentukan sendiri sesuai apa yang kamu rasakan.

Seperti dalam kondisi sekarang ini, kamu jangan hanya mengambil informasi dari tv, internet, dan lain lain. Tapi rasakan apa yang membawa manfaat,” terang Om Salim.

“Yang menjadi menarik, Buddha tidak hanya berhenti dengan menganalisa seperti itu. Lalu Beliau kemudian menerangkan sesuatu yang powerful. Ajaran yang sangat berguna untuk dilakukan,” lanjut Om.

Tanpa ketamakan (lobha), tanpa itikad buruk (delusi/moha), waspada dengan ketabahan hati meliputi semua penjuru dengan kehangatan hati.

Dengan hati yang hangat meluas tanpa batas, bebas dari permusuhan, dan itikad buruk. “Jadi oke keadaanya seperti itu, yang mana jangka panjangnya akan menimbulkan penderitaan, mana yang akan membawa manfaat. Lalu apa yang harus kita miliki? Jurus apa yang harus kita kerjakan?

Pertama, Buddha mengatakan keramahan (maitri/berteman). Sikap yang berteman, sikap yang ramah tamah. Seperti seorang teman, teman yang baik selalu hanya menginginkan sesuatu yang baik untuk temannya.

Jadi teman dalam hal ini (maîtri) adalah hati yang hangat, hati yang terbuka, hati yang peduli kepada sesamanya. Menganggap semua orang itu temannya, rekannya.

Kedua, hati yang meluas tanpa batas (apramana), yang diliputi welas asih (karuna). Artinya, tidak tahan melihat penderitaan yang ada, lalu bertanya bagaimana bisa berbuat sesuatu.

Ini lain sekali dengan nama kasihan, kemudian mengirim sembako. Bukan, urusannya bukan apa yang kamu kerjakan. Urusannya apa yang ada dalam hatimu, itikadmu. Kamu berani tidak selalu berusaha meringankan penderitaan yang ada.

Welas asih yang diterangkan Buddha dalam Kalama  Sutta di sini adalah itikadmu, keberanianmu untuk hadir meringankan penderitaan orang lain.

Ketiga mudita, artinya ikut senang kalau melihat orang lain senang. Misalnya di masa Covid-19 ini, apakah ada yang membuat kita senang. Saya sendiri melihat apa yang terjadi di Wuhan ada 42 ribu tenaga medis dari Tiongkok yang ikut membantu.

Seorang ibu waktu diwawancara dia menangis. Waktu ditanya sudah berapa lama di sini? 70 hari, ibu itu menjawab, lalu menangis. Kemudian ditanya lagi, apakah kamu sedih memikirkan keluargamu yang kamu tinggal? Dia menjawab tidak.

Saya merasa sedih, dan senang. Saya senang dengan apa yang saya lakukan di sini, tapi saya sedih meninggalkan tempat ini. Saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa penderitaan yang dialami oleh rakyat di Wuhan ini.

70 hari meninggalkan suami dan anaknya, tetapi menangis hanya karena ingin tetap membantu orang yang lebih susah. Ini lho kuncinya. Makanya bermudita ini ikut senang dengan hal-hal seperti ini. Melihat video youtube ini ada gunanya. Bagi saya sendiri paling tidak menggarisbawahi, akhirnya kemanusiaan itu akan menang.

Keempat, meliputi penjuru pertama, kedua, dan ketiga memiliki sikap keseimbangan (upekha). Keseimbangan di sini bukan menganggap susah dan senang sama. Bukan. Susah jelas susah, senang jelas senang. Tetapi cara mendekatinya, jangan ditolak, jangan dikekang.

Senang ya nikmati kamu sedang senang saja. Susah ya tidak dinikmati tetapi dijalankan saja. Upekha ini lho yang dijadikan target oleh Buddha. Hati yang seimbang, hati yang mantap dan terbuka untuk menghadapi yang senang maupun susah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *