
Foto: Ana Surahman
Hadir dalam kegiatan Gerakan 1.000 Atthasila Online, Bhante Santacitto menyampaikan pesan Dhamma yang memberikan wawasan tentang pentingnya menjalankan sila serta kebajikan-kebajikan lainnya, terutama di Hari Uposatha. Kegiatan ini diikuti oleh 1.760 umat Buddha dari 83 vihara di seluruh Indonesia melalui Zoom dan YouTube pada Sabtu (12/4) pukul 05.00 WIB. Acara ini diselenggarakan oleh PP Wanita Theravada Indonesia (Wandani) bersama Panitia Gema Waisak 2025 sebagai pembuka rangkaian Perayaan Waisak Nasional 2025 yang mengusung tema “Kebijaksanaan Dasar Keluhuran Bangsa”.
Mengawali pesan Dhamma, Bhante Santacitto memberikan apresiasi atas antusiasme umat dalam pelaksanaan Atthasila. Menurut Bhante, praktik atthasila telah menjadi tradisi sejak zaman Sang Buddha dan masih berlanjut hingga sekarang, terutama di negara-negara Buddhis seperti Sri Lanka.
“Biasanya para umat datang ke vihara di hari Uposatha, baik pada bulan gelap maupun bulan terang, untuk mempraktikkan atthasila,” ujar Bhante.
Beliau menceritakan bahwa selain menjalankan atthasila, umat juga melakukan kebajikan lain seperti berdana makanan dan mendengarkan ulasan Dhamma, yang bahkan dapat berlangsung seharian. “Oleh karena itu, saat atthasila ini hendaknya juga dimanfaatkan untuk melakukan praktik dana, bisa dengan memberikan makanan kepada bhikkhu, tetangga, atau orang-orang yang membutuhkan,” tambahnya.
Sila, Samadhi, dan Paññā: Jalan Menuju Kebebasan
Seluruh ajaran Buddha bermuara pada satu tujuan, yaitu membersihkan kekotoran batin hingga ke akar-akarnya, sehingga seseorang dapat mencapai kebebasan. Petunjuk untuk mencapainya terangkum dalam tiga kelompok besar: Sila (moralitas), Samadhi (meditasi), dan Paññā (kebijaksanaan). Oleh karena itu, Bhante mendorong umat untuk mempraktikkan bhavana (meditasi) selama Hari Uposatha.
“Kekotoran batin kita, jika boleh diklasifikasikan—seperti yang tercantum dalam kitab—ada tiga. Salah satunya adalah Vitikkama, yaitu kotoran batin yang telah termanifestasi dalam ucapan dan perbuatan jasmani. Karena begitu kuat dan kasarnya, hingga muncul dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang tidak baik. Kotoran batin seperti ini dapat dicegah atau dikendalikan dengan cara mempraktikkan sila,” jelas Bhante.
Namun, praktik sila saja tidak cukup untuk membersihkan kekotoran batin hingga ke akarnya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan meditasi. Hal ini ditegaskan Sang Buddha dalam Maha Parinibbana Sutta, bahwa sila, samadhi, dan paññā tidak dapat dipisahkan karena saling mendukung satu sama lain.
“Ketika samadhi dikembangkan bersama sila, akan membawa manfaat yang besar. Paññā yang dikembangkan bersama samadhi juga akan membawa manfaat yang besar. Dan ketika batin seseorang dikembangkan dengan kebijaksanaan, disertai konsentrasi serta moral yang baik, akan membebaskan batin dari kekotorannya—inilah pencapaian kebebasan,” tegas Bhante.
Mengenal Samadhi: Pengendalian Indria dan Kewaspadaan Batin
Bhante menjelaskan bahwa samadhi mencakup pengendalian indria (indriya samvara), yaitu upaya mengendalikan enam indria dari pikiran buruk. Praktik ini dilakukan dengan menyadari setiap perasaan yang muncul saat indria (pikiran, penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, dan jasmani) bersentuhan dengan objek eksternal.
“Misalnya, saat melihat orang yang pernah berkata kasar kepada kita, biasanya muncul kebencian. Saat itu, kita harus berusaha meredamnya dengan menyadari bahwa pikiran tersebut tidak bermanfaat. Dengan merenungkannya, kebencian akan lenyap. Begitu pula ketika melihat objek yang menyenangkan, keserakahan atau iri hati mungkin muncul. Lakukan hal yang sama—sadar dan renungkan bahwa pikiran itu tidak bermanfaat, maka ia akan hilang. Hal ini berlaku juga untuk indria lain seperti pengecapan, sentuhan, dan penciuman. Ini adalah bagian pertama dari samadhi,” lanjut Bhante.
Bagian kedua dari konsentrasi adalah sati sampajañña—kesadaran penuh setiap saat. Konsep ini mirip dengan istilah Jawa, “eling lan waspada” (selalu sadar terhadap pikiran sendiri). Dengan kewaspadaan, seseorang dapat mendeteksi pikiran buruk dan mengambil langkah untuk melenyapkannya.
“Dalam ajaran Buddha, tidak ada alasan untuk membenarkan kekotoran batin. Apa pun latar belakangnya, kebencian tetaplah buruk dan membawa penderitaan. Keserakahan juga demikian,” tegas Bhante.
Sebagai contoh, ketika mendapat perlakuan buruk atau nasib sial, seseorang perlu menyadari bahwa itu adalah buah karma dari kehidupan sebelumnya.
“Kita menerima buah karma kita—itu hal wajar. Namun, jika kita merespons dengan kebencian atau keserakahan, berarti kita sedang menanam karma baru yang buahnya akan kita terima di masa depan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membenarkan kekotoran batin, apa pun alasannya,” terang Bhante.
Bagian ketiga dari samadhi adalah santutthi atau santosa—rasa puas dengan apa yang dimiliki. Jika para bhikkhu berlatih kepuasan terhadap empat kebutuhan pokok (jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan), umat awam dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk saat menjalankan Atthasila.
Di akhir pesannya, Bhante berpesan,“Berusahalah untuk selalu eling dan waspada terhadap batin, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita sendiri. Semoga kita bersama terus tumbuh dalam Dhamma, dan semoga semua makhluk hidup berbahagia,” tutup Bhante.