
“… sedangkan bagi para hewan, mereka dapat dengan cara mendengarkan Dhamma ajaran Buddha, memeroleh manfaat untuk (terlahir kembali yang) mendukung bagi perkembangan spiritual, dan dengan manfaat tersebut, di dalam tumimbal lahir kedua, atau ketiga, mereka dapat mengikuti jalan dan mendapatkan hasil daripadanya.” Buddhaghosa (Vis 203).
Seringkah Anda ke wihara? Kalau iya, tentu Anda pernah menjumpai beberapa hewan yang berkeliaran di sekitar wihara, entah itu anjing, kucing, burung, rusa dan lain sebagainya. Hewan-hewan ini biasanya bersikap lebih jinak dan bersahabat. Lantas pernahkah terlintas dalam benak kita dan bertanya, “Apakah hewan-hewan ini dapat mendengar dan memahami Dhamma ajaran Buddha? Apakah mereka menerima manfaat dari mendengar Dhamma?”
Pertanyaan itulah yang diteliti oleh James Stewart dari Universitas Tasmania yang dituangkannya ke dalam sebuah artikel jurnal berjudul Dharma Dogs: Can Animals Understand The Dharma? Textual and Ethnographics Considerations. Di dalam paparannya, James mengemukakan bahwa ide penelitiannya berasal dari sebuah kejadian di Wihara Tissamahārāma yang terletak di Distrik Hambantota di Selatan Sri Lanka.
Pada saat itu dia menjumpai seekor anjing yang sering berkeliaran di area wihara. Anjing itu kemudian diusir oleh seorang pembantu wihara dengan menggunakan sebuah tongkat panjang. Melihat peristiwa itu, James pun berusaha mencari jawaban dengan meneliti posisi para hewan di dalam ajaran Buddha. Penelitian dilakukan dengan studi literatur dan studi etnografi – sebuah pendekatan ilmiah yang berusaha menjelaskan manusia dan kebudayaannya.
Naskah-naskah buddhis
Sebagaimana yang pernah kita baca dalam naskah-naskah buddhis, hewan memainkan peranan cukup penting dalam kebudayaan dan literatur buddhis. Beberapa bagian dari Kitab Pāli menyebutkan keberadaan hewan-hewan yang menghargai Buddha dan Dhamma. Beberapa hewan bahkan merupakan hewan ajaib, seperti ular naga maupun kinara-kinari.
Di dalam Jātaka, hewan-hewan ini digambarkan sebagai makhluk-makhluk cerdas dan berakal budi yang berusaha melakukan banyak kebaikan agar dapat terlahir di alam yang lebih baik. Lantas apakah hewan-hewan dapat mengembangkan kualitas spiritual mereka dengan mendengarkan Dhamma? Dapatkah mereka mencapai Pencerahan?
Pertanyaan terkait apakah para hewan yang tinggal dan berkeliaran di sekitar wihara maupun tempat buddhis lainnya dapat memahami Dhamma dan mengembangkan kualitas spiritual mereka mungkin berasal dari sebuah pandangan bahwa dengan merasakan energi Dhamma secara terus-menerus akan dapat memurnikan hati/pikiran (citta) mereka yang berada di dekatnya. Wihara adalah tempat berdiamnya para bhikkhu dan tempat dilakukannya banyak perbuatan bajik seperti pembacaan sutta-paritta, ceramah Dhamma, pelaksanaan Vinaya, dan lain sebagainya.
Kitab Pāli menyebutkan manfaat dari mendengarkan Dhamma ajaran Buddha, bahwa mendengarkan adalah sebuah kondisi untuk memahami ajaran Buddha. Mendengarkan Dhamma dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Di sini ditekankan perbedaan antara “mendengarkan” (suṇāti) Dhamma dengan “memahami” (vijānati) Dhamma.
Sebuah permohonan dari Brahma Sahampati kepada Buddha sebagai berikut, “Terdapat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka, yang akan pergi menjauh karena mereka tidak mendengarkan Dhamma. Sebagian dari mereka akan mampu memahami Dhamma” (Sutta Ayacana, SN 6.1 232).
Foto Ist
Mendengarkan Dhamma
Dari ungkapan di atas muncul skenario bahwa terdapat makhluk-makhluk yang kurang beruntung, yang meskipun mereka memiliki kemampuan untuk mendengarkan Dhamma, mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendengarkannya. Dengan demikian kemampuan dan kesempatan untuk mendengarkan Dhamma merupakan kondisi mutlak agar seseorang dapat memahami Dhamma. Inilah yang dimaksud dengan mendengarkan secara aktif.
Sedangkan yang dimaksud dengan mendengarkan secara pasif adalah mereka yang memeroleh kesempatan untuk mendengarkan Dhamma tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya. Dikatakan bahwa mereka yang mendengarkan “dengan saksama” akan mendapatkan buah Dhamma yang lebih besar dibandingkan mereka yang “tidak ingin mendengarkan” Dhamma (AN 7.68 1082).
Sebuah wacana di dalam Vinaya mengisahkan cerita di mana Buddha mengeluarkan seorang bhikkhu dari Sangha karena ternyata bhikkhu tersebut adalah jelmaan seekor naga. Naga itu sangat berniat untuk lepas dari kehidupan sengsaranya sebagai kaum hewan dan dengan kemampuannya dia menjelma menjadi seorang manusia dan bergabung sebagai anggota Sangha.
Buddha yang mengetahui hal itu mengusirnya dan berkata, “… Kamu adalah ular yang tidak dapat berkembang di dalam Dhamma dan Disiplin ini” (Vin-MV 1 111). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa hewan mungkin berniat untuk praktik di Jalan mulia ini tetapi tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk itu.
Tetapi mereka dapat meningkatkan kesempatan mereka dengan cara menjalankan Dhamma sebagaimana disampaikan oleh Buddha: “… Engkau, ular, pergilah, dan jalankan hari Uposatha, tepat pada hari ke-14, 15, dan 8 dari paruh bulan. Dengan demikian kamu akan segera terbebas dari kelahiran sebagai seekor ular dan kembali menjadi manusia”.
Pendekatan etnografis James dilakukan dengan mewawancarai 17 bhikkhu yang berasal dari beberapa wihara di Colombo dan Distrik Kegalle. Hasil dari analisis etnografis dan studi literatur Pāli dan Sinhala menyimpulkan bahwa bahkan hewan pun dapat memeroleh manfaat tidak langsung dari Dhamma.
Dengan berada di lingkungan wihara dan merasakan energi Dhamma, para hewan ini – yang meskipun tidak dapat memahami Dhamma (dan dengan demikian tidak mungkin mencapai Pencerahan), akan memeroleh kesempatan terlahir kembali ke alam yang lebih baik dengan mendengarkan Dhamma secara pasif. Dengan kelahiran yang lebih baik inilah yang akan dapat menunjang bagi perkembangan spiritual mereka di masa mendatang.