Buddhadharma pertama kali masuk ke Nusantara di awal abad ke-5 Masehi ketika jalur perdagangan laut yang menghubungkan antara India di Barat dan Tiongkok di Timur (Jalur Sutra) mulai dikenal. Sebelum itu, jalur perdagangan antara kedua wilayah tersebut adalah melalui jalan darat melalui sisi utara dari India, tidak melalui Nusantara.
Sebelum abad ke-5 pun sudah banyak biksu dari India yang bepergian melalui jalan darat untuk menyebarkan ajaran Buddha di wilayah Asia Tengah dan Tiongkok. Namun sejak abad ke-5, mereka mulai menggunakan jalur laut. Dan dalam perjalanan mereka, biasanya mereka akan singgah di Nusantara.
Ada seorang biksu dari India, persisnya dari kerajaan Kashmir, yang memiliki peran penting di dalam silsilah biksu Sangha di Tiongkok, bernama Gunawarman, di dalam biografi beliau, tercatat bahwa adalah beliau yang pertama kali memperkenalkan Buddhadharma ke Nusantara di abad ke-5. Beliau pada waktu itu sempat berkunjung ke Jawa dan menyebabkan seorang raja Jawa menjadi penganut Buddhadharma.
Secara umum, sejarah Buddhis di Nusantara biasanya dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
abad ke-5 hingga abad ke-8, ketika sumber informasi masih sangat jarang dan biasanya tersebar di berbagai wilayah Indonesia;
abad ke-8 hingga abad ke-10, ketika pusat kekuasaan dan kebudayaan berada di Jawa Tengah (dan Sumatera); serta
abad ke-10 hingga abad ke-15, ketika pusat kekuasaan dan kebudayaan bergeser ke Jawa Timur.
Sekitar abad ke-8 hingga abad ke-9, Syailendra sangat terkenal sebagai dinasti yang sangat berpengaruh di Jawa (melalui Kerajaan Mataram Kuno/Medang) maupun di Sumatera (melalui Kerajaan Sriwijaya). Di bawah kekuasaan mereka, Buddhadharma berkembang dengan sangat pesat di Nusantara.
Candi Borobudur adalah mahakarya yang dihasilkan oleh dinasti ini. Selain itu, tentu juga masih banyak sekali peninggalan bersejarah baik dalam bentuk bangunan, prasasti maupun kitab-kitab yang menunjukkan karakteristik Buddhadharma di Nusantara pada masa itu.
Masa kejayaan Buddhadharma di Jawa Timur dimulai sekitar 929 Masehi ketika terjadi pergeseran pusat kekuasaan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Dua kerajaan yang paling dikenang dari masa ini adalah Singosari dan Majapahit.
Abad ke-8 sampai abad ke-10
Karakteristik penghayatan Buddhadharma di Nusantara pada zaman dahulu biasanya dapat ditelusuri melalui tiga sumber yaitu: bukti peninggalan berupa bangunan, arca maupun prasasti; kitab-kitab peninggalan dari masa tersebut; dan catatan dari para musafir luar negeri.
Misalnya, kita bisa lihat bahwa dari peninggalan candi-candi di Jawa Tengah, antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu dan sebagainya, dapat disimpulkan bahwa filosofi Buddhis yang berkembang pada masa itu adalah berkiblat Mahayana. Ini bisa dilihat dari relief-relief yang diukir di Candi Borobudur (abad 9 M) yang diambil dari berbagai sutra khas Mahayana seperti Lalitawistara ataupun Gandavyuha.
Baca juga: Sekilas Mengenai Tantra
Candi Mendut (abad 9 M) memiliki arca utama yang masih lestari hingga sekarang yaitu Maitreya (yang terkadang diidentifikasi pula sebagai Vairocana dikarenakan mudra Memutar Roda Dharmanya yang sama) dan diapit oleh Avalokiteshvara dan Vajrapani, yang lagi-lagi ketiganya adalah sosok yang sangat dipuja di dalam tradisi Mahayana. Candi Sewu (abad 8 M), berdasarkan prasasti yang ditemukan, diketahui dulunya adalah bernama Manjusri-Grha, yang berarti Rumah Manjusri. Manjusri adalah sosok Buddha Kebijaksanaan yang sangat dijunjung tinggi di dalam Mahayana.
Mahayana-Tantra juga ditengarai menjadi praktik umat Buddha di Jawa Tengah pada masa itu, antara lain bisa dilihat dari Candi Borobudur yang dibangun dengan konsep mandala, yang sebenarnya merupakan inti ajaran dari praktik Yoga Tantra yang diwujudkan secara visual. Candi Kalasan (abad 8 M) yang terletak tidak jauh dari Candi Sewu juga diketahui berdasarkan prasasti yang ditemukan, merupakan sebuah bangunan kerohanian yang didedikasikan secara khusus kepada sesosok istadewata Tantra yang sangat “populer” yaitu Bhagavati Tara.
Berdasarkan catatan perjalanan dari seorang biksu Tiongkok bernama I-Tsing yang mampir ke Kerajaan Sriwijaya pada (abad 7 M), diketahui bahwa penganut Buddhadharma pada era tersebut cukup heterogen, termasuk di dalamnya adalah penganut Mahayana maupun “Pratimokshayana” (yang berarti “Kendaraan Pembebasan Pribadi”, sebuah istilah yang lebih tidak derogatif dibandingkan dengan penggunaaan istilah “Hinayana”). Namun corak ajaran Mahayana juga sangat kental di masa itu, antara lain bisa diketahui dari misalnya Prasasti Talang Tuo (684 M) yang berisi doa-doa aspirasi Mahayana.
Kemudian juga banyak ditemukan peninggalan berupa arca-arca Bodhisatva yang sangat khas Mahayana di sana. I-Tsing sendiri mengatakan bahwa Sriwijaya pada masa itu merupakan tempat persinggahan “favorit” para biksu Tiongkok yang hendak belajar ke Nalanda di India, karena mereka bisa belajar topik-topik pendahuluan di sini, khususnya bahasa Sanskrit yang merupakan bahasa utama yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Mahayana.
Dan yang paling penting adalah adanya sesosok guru besar yang memegang silsilah penting dari esensi ajaran Mahayana yaitu bodhicitta atau batin pencerahan. Beliau adalah Guru Dharmakirti Swarnadwipa, seorang mahabiksu berdarah asli Nusantara. Ketenaran beliau bahkan menyebabkan seorang biksu, yang tak kalah luar biasanya, dari Bengal (India), pun datang dan berguru kepada beliau sebelum kemudian membawa ajaran tersebut ke Tibet dan terpelihara hingga sekarang sebagai salah satu rumpun ajaran Mahayana utama di dunia saat ini.
Abad ke-10 sampai abad ke-15
Bagaimana pula dengan Buddhadharma di masa Jawa Timur kuno? Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, diketahui bahwa praktik Buddhis Mahayana-Tantra semakin mengental di era ini. Raja Krtanegara dari Singosari (abad 13 M) diketahui adalah seorang praktisi Tantra yang sangat mumpuni, khususnya Kalachakra Tantra, dan ini dikatakan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan beliau sanggup menandingi Kubilai Khan dari Mongol yang waktu itu hendak menginvasi Jawa.
Arca-arca peninggalan masa ini sangatlah khas Tantra, antara lain: Amogaphasa Lokeswara (yang masih dapat dilihat di Candi Jago) yang merupakan Avalokiteshvara dalam penampakannya sebagai istadewata Tantra bertangan delapan. Selain itu juga banyak ditemukan arca-arca istadewata Tantra lainnya seperti Bhagawati Tara, Bhairawa dan sebagainya dari era ini. Di masa ini, hubungan diplomatik antara kerajaan di Jawa (Singosari) dan Sumatera (Malayu) juga berjalan sangat erat.
Corak Buddhadharma yang dipraktikkan oleh kedua wilayah kerajaan tersebut juga mirip, yaitu Mahayana-Tantra. Ini antara lain bisa dilihat juga dari penemuan arca-arca istadewata Tantra pula di Sumatera, termasuk di antaranya adalah arca Bhairawa, Mahakala dan juga Heruka. Candi Bahal di Sumatera hingga saat ini pun sangat terkenal sebagai tempat ziarah para praktisi Tantra (khususnya Heruka Tantra), dari berbagai pelosok dunia.
Istadewata Heruka juga muncul di dalam salah satu bait dari Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular (abad 14 M) dari era Majapahit.
Selain Sutasoma, yang terkenal karena Bung Karno mengambil semboyan bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika, dari kitab ini, ada beberapa kitab yang juga sangat penting dan bisa menunjukkan jejak-jejak karakter Buddhadharma di Nusantara pada zaman lampau, antara lain: Negarakrtagama, Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya dan Sang Hyang Kamahayanan. Secara khusus, kedua kitab yang terakhir disebutkan ini juga dikenal sebagai kitab ajaran Tantra Jawa Kuna.
Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya adalah kitab yang berisikan syair-syair Sanskrit dan kemudian menyertakan pula penjelasannya dalam bahasa Jawa Kuna. Kitab ini pada dasarnya adalah berisi panduan untuk memberikan abhiseka kepada para (calon) murid ke dalam praktik Tantra. Beberapa kutipan syair dari kitab ini, antara lain:
Sang Hyang Mahayana ini kuajarkan padamu, yaitu Sang Hyang Mantranaya dari Jalan Agung Mahayana namanya. Tata laksananya akan kujelaskan padamu. Karena engkau merupakan makhluk yang baik yang pantas menerima ajaran Sang Hyang Dharma Mantranaya. (2)
Bhatara Sri Shakyamuni hingga dapat meraih kemenangan terhadap rintangan mara, yang kalah olehnya, seperti klesha-mara, skandha-mara, mrtyu-mara menyerah kalah semuanya kepada beliau, sebab kesanggupannya menaklukkan mara adalah dikarenakan tak terhingganya pengaruh samadhi sakti pada Sang Hyang Mantranaya yang ditekuninya. (5)
Jangan membicarakan, mengajarkan vajra, gantha, dan mudra kepada orang yang tidak melihat mandala, demikian pula rahasianya harus engkau sembunyikan, tidak mengajarkannya kepada orang tanpa penjelasan ajaran, juga jangan membicarakan atau menjadikannya gurauan dengan mereka yang tidak mempercayai tujuanmu, yang tidak sungguh-sungguh dalam menerima ibadah dari bhatara, jangan sampai hal itu terjadi.
Jika ada orang yang menentang jalan agung, lihatlah orang seperti itu, sengsara selama-lamanya. Karenanya janganlah hatimu tidak tulus dalam kemuliaan Sang Hyang Bajrajnana, ingatlah dengan baik kepada Sang Hyang Samaya. (12)
Kemudian, kitab Sang Hyang Kamahayanan adalah berisi sadhana Tantra Yoga berdasarkan tradisi Jawa Kuna, terutama terkait dengan teknik pengendalian nafas yang dihubungkan dengan bija-aksara. Kitab ini juga banyak menunjukkan kosmologi istadewata Tantra yang dilambangkan sebagai Sang Hyang Diwarupa, berwujud Bhatara Hyang Buddha yang mengejawantahkan dirinya menjadi Bhatara Ratnatraya (Shakyamuni, Lokeswara dan Bajrapani) dan juga Bhatara Panca Tathagatha.
Kitab ini banyak menjadi rujukan bagi para cendekiawan dalam usaha mereka untuk memahami dan mengidentifikasi istadewata dan mandala yang berada di Candi Borobudur. Beberapa kutipan syair dari kitab ini antara lain:
Jika berdiam di gunung, gua, pantai, sebuah kuti, vihara, pondok pertapaan, atau engkau tinggal di kuburan angker dan sebagainya, lengkapilah dengan tempat melakukan homa, rumah sunyata namanya, tempat persembahan, tempat arca, buatlah balai-balai, tirai, tempat duduk, dan alas tidur, segala yang menyenangkan hatimu. (2)
Bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tatacara, berdiamlah dengan memandang ujung hidung. (6)
Yang disebut mahati-dana. Seperti sang Mahasatwa, yang memberikan dagingnya, darahnya, matanya, tubuhnya, sama sekali tidak memiliki keterikatan terhadap semua itu, disebabkan belas kasihnya pada semua makhluk hidup, akibat penderitaan makhluk hidup tersebut, ada raksasa, ada harimau, ada garuda, diberikannya dagingnya, darahnya, matanya, diberikan kepada brahmana tua buta, yang menguji keberaniannya berdana, hatinya diberikan kepada seekor angsa lumpuh lapar dan menderita, menggunakan tubuhnya untuk menolong bagi yang membutuhkan, tanpa ragu-ragu. Perbuatan baik seperti itulah, yang disebut mahati-dana namanya. Demikianlah arti dana yang telah diajarkan terdapat tiga macamnya. (15)
Bagaimanakah cara melaksanakannya? Dengan bersadhana sang adwaya. Tidak terlupakan nafas am, demikian suaranya, hisaplah melalui mulut, diamkan dalam kerongkongan, jangan hiraukan masuk keluarnya nafas dari hidung; yang didiamkan dalam kerongkongan, kemudian lebur, memenuhi sekujur tubuhmu, sehingga berwarna merah matahari. Lalu buatlah nafas ah, demikian suaranya; yang didiamkan dalam kerongkongan lenyap dalam tubuh, hingga menjadi setenang rembulan, tenang menyenangkan, namanya pranayama itu, selalu lakukanlah demikian, terhapuskanlah segala kleshamu, setelah itu, kuatkan renungan pada Buddha. (51)
Demikianlah tentang Panca Tathagathadewi, yaitu: Bharali Datiswari, Bharali Locana, Bharali Mamaki, Bharali Pandarawasini, Bharali Tara. Demikianlah nama kelimanya. (83)
Demikianlah dapat kita simpulkan bahwasanya ajaran Mahayana-Tantra telah memiliki akar sejarah yang sangat kuat di bumi Nusantara ini. Tidak heran jika koneksi karma dan kekuatan praktik yang sudah sekian ratus tahun ini terbawa hingga sekarang dan praktik Mahayana-Tantra menjadi bukan sesuatu yang asing di lubuk hati terdalam dari para praktisi Buddhis di Nusantara. Namun tentu saja sekali lagi perlu ditekankan bahwa untuk memasuki ajaran Tantra memiliki syarat-syarat pendahuluan (biasa maupun khusus, sebagaimana telah disampaikan pada bagian pertama dari tulisan ini) yang harus dipenuhi terlebih dahulu sehingga tidak terjadi kesalahpahaman ataupun kesalahan praktik yang bisa saja sangat rawan terjadi, apalagi di Nusantara dewasa ini.
*Sumber pengayaan materi: Buddha di Nusantara, oleh Bambang Budi Utomo, Sang Hyang Kamahayanan, Sang Hyang Kamahayanan Mantranaya
Praviravara Jayawardhana
Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara