• Wednesday, 17 June 2020
  • Surahman Ana
  • 0

Masa pandemi seperti saat ini kadang menyisakan kejenuhan untuk tetap berdiam di rumah saja, tapi untuk bepergian pun belum berani apalagi ke perkotaan. Nampaknya menjalankan ide untuk blusukan ke area perkebunan ataupun perbukitan menjadi celah untuk sekedar melepas kejenuhan. Di bukit dan perkebunan tak ada kerumunan orang, kecuali nyamuk-nyamuk kebun yang tak pernah berpikir untuk social distance.

Pagi itu Selasa (9/06), dengan mengendarai sepeda motor, menempuh jarak 33 km menuju Desa Bagusan, Kecamatan Parakan, Temanggung. Di sana terdapat sebuah bukit yang lebih dari separuhnya telah rata dengan tanah untuk dijadikan area perumahan.

Disisakan segunduk tanah di ujung area. Bukan tanpa alasan gudukan itu disisakan, karena gudukan itu menopang serpihan-serpihan peninggalan leluhur masa silam. Tidak luas memang, mungkin hanya 20 m persegi.

Ketika melintas di pinggir area akan nampak sebuah plang bertuliskan “Situs Setapan” yang terpancang di atas gundukan, di bawah rimbun pohon bambu dan pohon-pohon perdu lainnya. Sejuk angin pegunungan, udara segar, dan pemandangan indah melingkupi seluruh kawasan. Mengiringi jejak langkah siapapun yang masuk ke area situs dengan menaiki tangga yang telah dibeton.

Bongkahan-bongkahan batu berlumut dan sebagian masih nampak berukir. Guratan-guratan pemahat masa lampau masih tetap menghiasi batu-batu yang sudah tak berbentuk sebagai kesatuan. Letak batu-batu itu berdiam pun sudah tak beraturan.

Tiga tahun silam, bahkan sebagian berada terpisah dengan bongkahan yang ada di puncak gundukan. Lebih turun sedikit, di belakang dua buah bangunan, di bawah grombolan bambu betung batu-batu itu tersembunyi di balik lapisan tanah merah.

Di puncak gundukan batu-batu telah tertata sebagai jalan berundak menuju sebuah altar untuk meletakkan sarana pemujaaan. Entah siapa yang menata ataupun memang seperti itu bentuk semula situs ini. “Tak pernah ada yang tahu persis karena memang hingga saat ini belum pernah ada penelitian secara mendalam tentang situs Setapan,” jelas Yosi, seorang pemuda pemerhati situs peninggalan sejarah.

Di bagian pojok belakang, batu-batu kecil sedikit melengkung telah terjejer, berderet hingga membentuk dua lingkaran yang menyatu menyerupai angka 8 terbaring. Di tengahnya tumbuh pohon perdu berukuran kecil, menimbulkan penampakan sebagai sebuah makam kuno.

Namun di balik kebingunan ketika melihat-lihat serakan batu, beberapa bentuk batu nampak tidak asing. “Bentuk ini merupaka sisa dari Yasti dan Anda. Itu bagian dari sebuah stupa,” imbuh Yosi.

Batu-batu kecil yang membentuk makam kuno rupanya adalah bagian dari “Anda”, dengan bentuknya yang melengkung adalah bagian dasar stupa apabila terpasang dengan lengkap dan sempurna.

Bentuk Yasti bisa dilihat dari bongkahan yang ada di samping kanan pintu masuk dan juga di bagian tengah diantara bebatuan yang tertata menenyerupai altar pemujaan.

“Yang jelas ini situs Buddhis. Bagian-bagian stupa yang nampak cukup untuk menjelaskan tentang situs ini adalah situs Buddhis,” Yosi menegaskan hasil analisanya.

Agak aneh memang, di Temanggung ternyata ada peninggalan situs Buddhis, karena dari banyaknya situs yang ditemukan di Temanggung hampir rata-rata bercorak Hindu. Namun tidak hanya dari penjelasan tentang bentuk batu yang tersisa, mitos mengenai situs Buddhis di kawasan ini kerap kali didengar oleh umat Buddha di sekitar Parakan.

Tidak jauh dari situs ini ada sebuah kampung yang terdapat umat Buddha. Salah satunya Pak Budi Harjo (Mbah Bud). “Dari beberapa cerita dulu dikatakan bahwa situs-situs yang ada di sebelah timur jalan raya merupakan situs Buddhis, sedangkan yang ada di sebelah barat jalan raya adalah situs Hindu,” terang Mbah Bud saat di temui di kediamannya sambil menyulut sebatang rokok.

Ada sebuah jalan raya yang membelah kota Parakan dan Ngadirejo, merupakan jalan penghubung kota Kendal dan Temanggung. Kawasan lereng sebelah timur Gunung Sindoro, pusat ditemukannya ratusan situs peninggalan masa lampau.

Beberapa masih bisa dilihat bentuk utuhnya sebagai sebuah candi seperti Pringapus dan Liyangan, namun yang lebih banyak sudah tak lagi berbentuk, hanya tinggal sisa-sisa bebatuan beserakan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *