Jumat Pon, (9/3) Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung terasa istimewa. Tidak seperti kebiasaan masyarakat petani desa yang ke ladang sejak pagi, pagi itu mereka tampak sibuk di rumah masing-masing.
Tenong, periuk, pikulan, daun pisang, dan tikar tampak berjejer di rumah-rumah warga. Menjelang pukul 07.00 waktu setempat, piring-piring berisi berbagai makanan mulai dimasukkan dalam tenong. Tak terkecuali periuk pun diisi dengan nasi bucu (tumpeng).
Setelah persiapan selesai, semua warga bersama-sama menuju ke jalan Desa Kemiri – Tempuran. Anak-anak, pemuda, orang tua, laki-laki, tak terkecuali perempuan, tanpa memandang suku dan agama tumpah ke jalan ini.
“Monggo Mas, lenggah mriki mawon (silakan Mas, duduk sini saja),” begitu pinta warga meminta kami, para wartawan dan pengunjung acara Sadranan.
Baca juga: Merti Desa, Selamatan Khas Buddha Jawa
Tak berselang lama, makanan pembuka khas upacara Nyadran mulai dikeluarkan dari dalam tenong. Tanpa ragu mereka menawarkan kepada kami. “Monggo dipun dahar, mundut sak senenge (silakan dimakan, ambil mana saja yang disukai),” kata mereka. Tanpa ragu, kami pun ikut makan dan srawung bersama warga.
Upacara Sadranan Desa Kemiri bisa dikatakan berbeda dengan desa lain di Temanggung. Kalau pada umumnya, Nyadran hanya diikuti oleh kaum laki-laki saja, di desa ini tidak! Kaum perempuan juga turut dalam acara menghormati leluhur ini.
Menghormat leluhur
Bagi masyarakat Jawa, terdapat berbagai tradisi dan upacara untuk menghormati para leluhur. Salah satunya adalah upacara Sadranan. Di Temanggung, khususnya pada masyarakat di pedesaan upacara ini masih lestari secara turun-temurun dan dilakukan satu tahun sekali.
Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog yang turut dalam upacara Nyadran Desa Kemiri menjelaskan bahwa dalam tradisi Jawa, apa pun latar belakang agamanya, mereka masih melakukan upacara ini, meskipun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya.
“Dulu namanya Srada. Srada itu upacara 12 tahun setelah kematian. Kalau di tradisi Jawa, semua orang melakukan itu, entah itu berlatar belakang agama apa.”
“Kalau menurut kitab-kitab yang ada, dulu Raja Hayam Wuruk, Raja Majapahit mengadakan upacara Srada dengan merawat dan membersihkan candi, milik Gayatri yang merupakan nenek dari Raja Hayam Wuruk. Gayatri mempunyai anak Tribuana Tungga Dewi, Tri Buana Tunggadewi mempunyai anak bernama Hayam Wuruk.”
“Jadi upacara Srada yang dilakukan oleh Hayam Wuruk itu untuk menghormati Gayatri. Nah, dalam perkembangannya, saya tidak tau secara antropologis, tetapi kemungkinannya upacara Srada itu karena lidah orang Jawa kemudian menjadi Nyadran,” jelasnya.
Kata srada sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti pemujaan. “Mungkin juga kalau srada itu artinya keyakinan dalam Buddhis. Karena banyak yang mengatakan bahwa Gayatri adalah penganut Buddhis, dan di Tulungaggung itu ada arca Prajnaparamita yang dianggap itu adalah perwujudan dari Gayatri,” pungkas Mbah Gun.
Berikut foto-foto kemeriahan upacara Nyadran Desa Kemiri…
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara