• Wednesday, 28 November 2018
  • Ngasiran
  • 0

Dua orang penari dari arah berbeda berjalan menuju layar putih yang terpampang di tengah panggung. Dengan kedua tangannya, seorang penari mengambil baskom sedangkan penari lainnya mengambil sebuah mangkuk berisi tinta dan kuas. Selanjutnya salah satu penari menaburkan isi baskom membentuk lingkaran di tanah, sedangkan penari-penari lainnya membuat tulisan kaligrafi ke layar putih.

Adegan ini adalah pembuka sendratari Luminous Emptiness karya koreografer Katsura Kan dan pengarah artistik Melati Suriyodharmo. Luminous Emptiness terinspirari oleh kisah perjalanan jiwa manusia setelah kematian. Kisah ini bersumber dari buku Bardo yang berisi serangkaian bimbingan manusia setelah mengalami kematian menurut ajaran Buddha Tibet.

Setiap manusia pasti mengalami kematian, tetapi bagaimana kesiapan manusia itu sendiri untuk menghadapi kematian. “Bagaimana menjelaskan ajaran Buddhis Tibetan supaya bisa dipahami di Indonesia, seperti di Indonesia yang juga ada upacara 7 hari, 40 hari setelah meninggal, karena pada dasarnya kematian adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Pesan yang ingin disampaikan adalah bagaimana kita menghadapi kematian, kalau hidup kita baik, maka kita akan siap menghadapi kematian, dan ini diajarkan di semua agama,” tutur Melati Suryodharmo.

Baca juga: Sendratari Mahakapi Jataka Memukau Penonton di Solo

Untuk mementaskan Luminous Emptiness, Putri Mbah Prapto ini memerlukan waktu beberapa bulan, mulai memikirkan konsep hingga koreografi dan berlatih intensif. “Secara pemikiran cukup lama beberapa bulan, tetapi secara intensif latihan sehari 7 jam selama beberapa minggu di studio Plengsungan, Solo milik saya. Beberapa penari profesional tetapi ada yang beberapa bukan penari. Karena untuk ini tidak semua harus penari, hanya menggunakan tubuh yang mewakili gerak roh,” jelasnya.

Penampilan Luminous Emptiness, adalah pembuka dalam malam seni pertunjukan Borobudur Writers & Culture Festival (BWCF). Acara ini digelar di Panggung Aksobya, Kompleks Candi Borobudur, (23/11). Sesuai dengan tema BWCF tahun 2018; Treveling & Diary, tema kuratorial festival tari dan teater kontemporer ini adalah migrasi.


Tujuh penampilan; Tari, Teater dan puisi tampil dalam panggung garapan Yani Mariani ini. Sangketohawa karya koreografer Ery Mefri, Drama tari Sakyamuni itu saja (perlu mati) yang disutradarai Cok Sawitri, Bedhayan Sepuh Macak Kere karya koreografer Bimo Wiwohatman, Sontoloyo karya Martinus Miroto, dan pembacaan puisi dari empat penyair; Zahid M. Naser, Arif Bagus Prasetyo, Shivram Gopinath dan Taufik Ikram Jamil. Mereka semua tampil di atas panggung rumput dengan latar belakang Candi Borobudur dan cahaya purnama.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *