• Monday, 19 February 2018
  • Chuang
  • 0

Kedamaian sebelah luar itu merepotkan, bersyarat dan ada ikutan-ikutannya yang kadang-kadang atau bahkan seringkali menjadikan kita tambah galau. Sedangkan kedamaian sebelah dalam, yang sejati, tak bersyarat dan tak ada residu yang harus kita tanggung.

Misalkan seseorang dari kota nan sibuk ingin merehatkan dirinya yang lelah tubuh dan batin. Ia punya uang, ia mencari tanah di daerah pedesaan atau pinggiran kota yang masih tenang dan asri alami. Di sana, ia bangun sebuah vila yang indah, tempat tetirah lengkap dengan taman-taman, kolam ikan, kolam berendam air panas dan dingin dan sebagainya.

Ia upah seseorang, mungkin penduduk setempat, untuk menjaga dan merawat vila itu serta untuk memasak dan lain-lain urusan yang intinya: kapan pun si orang kota perlu membasuh debu-debu kota untuk melepaskan penatnya dan merasakan kedamaian sejenak dari hiruk pikuk kota, vila itu harus selalu siap sedia memberikan semua yang ia butuhkan.

Kedamaian dan ketenangan yang ia cari dan butuhkan mungkin saja ia peroleh saat berlibur di vilanya, tetapi mungkin juga tidak. Karena kedamaian sebelah luar, kedamaian yang dicari dari benda-benda materi macam vila dan segenap isinya, bersyarat: jika segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan dan harapannya, ia bisa merasakan kedamaian.

Namun toh begitu, ada harga yang harus ia bayar, ada ikutan yang harus ia tanggung: untuk mempertahankan keberadaan vila itu demi kedamaian yang ia peroleh darinya, ia terus menerus harus menyediakan biaya perawatannya, membayar pajak-pajak dan membuat perencanaan agar seterusnya segala sesuatu bisa terus berjalan sesuai yang ia ingin dan butuhkan.

Pada akhirnya, kedamaian yang ia alami hanya sementara saat ia berada di vilanya untuk berlibur dan kembali galau ketika balik ke kota,  tetapi konsekuensi-konsekuensinya tak pernah usai.

Tetapi jika kejadiannya tak semulus itu, jika segala sesuatu tak sesuai maunya, misalnya ternyata si pengurus vila tak becus sehingga ada saja hal-hal di vila itu yang mengecewakan (atap bocor, ledeng mampet, tanaman tidak tumbuh dengan baik, atau ternyata alam pedesaan sudah mulai berubah jadi alam hiruk pikuk terkena imbas pertumbuhan kota), kepusingannya yang ia bawa dari kota bisa-bisa bertambah parah setelah tiba dan menghadapi kenyataan bahwa tempat kedamaiannya—vila-nya—ternyata tak sanggup memberikan kedamaian yang ia cari.

Kedamaian sebelah dalam berasal dari pencapaian dan pemahaman langsung akan sifat apa adanya segala fenomena, ini adalah hati yang maha-lapang yang mampu menerima apa pun dengan sepenuh pengertian bahwa begitulah adanya itu.

Karena sumbernya berasal dari dalam diri, ke mana dan di mana pun si pencapai pergi atau berada, kedamaian itu juga ada di sana. Tak peduli situasinya, tak pusing keadaannya, kedamaian akan hadir bersama ia yang hatinya maha-lapang. Dan karena berasal dari dalam maka tak bersyarat, ia pun menjadi jenis kedamaian yang merdeka dan sederhana, amat sederhana hingga tak menimbulkan ikutan apa pun yang harus ditanggung: urusannya dengan dunia menjadi berhenti sampai di sini saja.

Keren, kan, jenis kedamaian sebelah dalam ini? Iya, jelas, sepadan dengan usaha untuk mencapainya yang terlihat amat-amat sulit namun sebenarnya tak sulit-sulit amat.

Chuang

Menyukai dunia menulis, tinggal di Bali

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *