• Friday, 31 January 2025
  • Surahman Ana
  • 0

Penulis : Andreian (An)

Aku kembali memeriksa jam setelah memastikan semua perlengkapan hari ini masuk dalam tas. “Ah! Aku hanya punya tiga puluh menit untuk sampai di sanggar tepat waktu.” gumamku sembari bergegas meninggalkan kamar dengan langkah yang berat tanpa sempat merapikan tempat tidurku.

“Kakimu kenapa, Nak?” Ibu bertanya cemas melihatku kesulitan menuruni tangga.

“Biasa ,Bu, latihan.” Aku berbicara sembari terus berjalan.

“Tapi aman, kan?”

“Aman, Bu.” Kujulurkan tangan untuk bersalaman pada Ibu. “Aku berangkat, sudah hampir telat.”

“Tidak makan dulu?”

“Tadi sudah Bu setelah pulang sekolah.”

“Baiklah kalo gitu, semangat!”

“Ya!”

Aku merasa beruntung memiliki rumah di dekat jalan raya. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai di tepi jalan dan segera mencari angkutan umum. Namun sialnya ketika sampai di sana aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan angkot, metromini, atau bus. Jalanan yang ramai hanya dipenuhi mobil pribadi atau motor.

Gelisah, aku terus melihat ke arah barat dan ke arah jam tangan secara bergantian. Sekarang tinggal menyisakan 22 menit dan belum muncul pertanda apa pun. Perasaan ini semakin kacau, ada kekecewaan besar ketika membayangkan aku tidak datang tepat waktu. Bu Asih sebagai pelatih yang menjunjung kedisiplinan tentu akan kecewa. Terlebih aku tidak mempunyai alasan yang bagus untuk disampaikan padanya.

Mengingat hari besar yang kutunggu-tunggu sudah semakin dekat juga membuat air mata serasa ingin mengalir. Ya, sebentar lagi aku akan melakukan debut pertamaku sebagai seorang penari. Dan gedung Sriwedarilah yang akan menjadi saksi bagaimana usahaku selama hampir satu tahun ini dapat membuahkah hasil. Tentu menjadi suatu kebanggaan karena sejarah kecintaan pada tari berawal dari tempat itu.

Malam itu di Sriwedari, aku menonton seorang wanita tengah tampil dengan iringan musik gamelan yang begitu harmoni. Kulihat gerakan jemari wanita itu lentik, langkah kakinya mantap dan percaya diri. Aku sungguh terkesan menyaksikan bagaimana ia memainkan sampur, sungguh luwes. Gerakan leher dan ekspresi wajahnya juga menunjukan betapa ia menjiwai tari yang tengah dibawakan. Perlahan, ketika alunan gamelan itu semakin cepat seiring permainan kendang yang enggan melambat, bulir keringat mulai mengembun di dahi wanita itu. Aku jadi semakin yakin, wanita itu sudah hanyut dalam dunianya sendiri yang begitu dalam dan sunyi. Sungguh sebuah pergulatan jiwa yang memaksa aku dan puluhan pasang mata di tempat itu turut terbawa arus penghayatan hingga tataran yang paling halus. Malam itu juga aku yakin, nama Sriwedari yang diambil dari nama taman surga dalam cerita pewayangan dipilih bukan hanya karena kebetulan. Sebab, aku telah melihat seorang bidadari tengah menari di bawah sorot lampu keemasan diiringi alunan musik surgawi yang harmoni di tempat itu. Dan sejak malam itu, aku mengucap tekad, “aku akan jadi penari.”

Benar! Aku akan jadi penari, karena itu aku tidak boleh terlambat dan mengacaukan kepercayaan Bu Asih selama ini. Sudah terlalu banyak hal yang harus kulalui demi mendapat kesempatan ini. Rasa sakit yang terasa pada hari pertama latihan bahkan masih bisa kuingat. Malam itu aku tidak berani menggerakkan tubuh, sebab rasa nyeri akan segera menyergap seketika itu juga. Wajar, tari tidak lepas dari gerak yang estetis, maka sebagai penari diperlukan tubuh yang elastis. Aku sendiri tidak memiliki tubuh yang lentur. Sangat sulit bagiku sekedar untuk mengikuti gerakan cium lutut. Bu Asih sampai harus membantu mendorong punggungku dan menahannya. “Baik, sekarang tarik napasmu, lalu turunkan kepalamu ketika menghembuskannya.” Bu Asih memberi instruksi.

“Baik, Bu.” Aku mulai menarik napas, lalu kuturunkan kepalaku mendekati lutut ketika menghembuskannya. Bu Asih yang sudah bersiap di belakang segera menekan punggungku hingga maksimal.

“Tahan,” bu Asih kembali memberi instruksi, “lakukan sekali lagi dengan cara yang sama.”

“Baik!” Aku segera melanjutkan, kali ini dengan segenap usaha.

“Sedikit lagi!” jerit Bu Asih antusias. “Tahan, tahan, lakukan dengan pernapasan lagi!”

“Satu, dua, tiga,” kata bu Asih memulai hitunga, kurasa itulah hitungan terlama dalam hidupku, “ empat, lima, enam, tujuh, delapan!”

“Argh!” Rasanya benar-benar sakit, seluruh ruas punggungku merasakan nyeri dan tekanan luar biasa hingga terasa akan patah, belum lagi bagian belakang lutut dan pahaku yang tertarik hingga batas elastisitasnya. Keringat dinginku bercucuran sangat deras seakan menggantikan air mata. Napasku berat meskipun aku berusah tetap tenang ….

Hari-hari berat seperti itu terus kulalui, berbagai upaya untuk meningkatkan kelenturan seperti cium lutut, kayang, dan berbagai perenggangan lain terus kujalani. Setiap malam sehabis latihan tubuhku terasa sakit semua. Namun aku tidak menyerah, hingga perlahan kelenturanku meningkat, rasa sakit berangsur hilang setiap kali melakukan gerakan-gerakan yang sulit. Bahkan teknik dasar tari tradisional Jawa mulai kukuasai seiring peningkatan kecakapanku dalam memahami skenario dan musik.

Bu Asih akhirnya memilihku masuk dalam tim tari yang akan pentas di Sriwedari. “Aku memilihmu masuk dalam tim, tetapi kau harus bisa srisig sebelum pentas itu dimulai.” ucapan Bu Asih membuatku benar-benar bahagia.

Srisig adalah sebuah gerakan lari dengan langkah kecil dengan posisi jinjit dan lutut ditekuk. Gerakan ini sangat penting karena sering digunakan ketika berpindah tempat, masuk, ataupun keluar panggung. Terdengar sederhana memang, tetapi serisig cukup sulit bagiku. Ah iya, gerakan itulah yang pagi ini membuat kakiku sakit. Semalaman aku berusaha menguasai gerakan itu dengan mencobanya berulang-ulang. Dan di luar dugaan saat ini aku kesulitan untuk berjalan.

Sekali lagi kuperiksa jam, masih ada delapan belas menit dan situasi belum berubah. Keadaan berjalan semakin buruk dan mendesak. Sepertinya aku tidak boleh hanya menunggu. Meski jarak menuju tempat latihan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit jika ditempuh dengan kendaraan umum, aku mencoba berjalan kaki. “Setidaknya jika nanti ada angkutan umum jarak sudah semakin dekat,” pikirku.

Selangkah demi selangkah, aku menapaki jalan. Keringatku menjadi semakin cepat bercucuran karena terburu-buru dan harus menahan rasa nyeri. Aku sungguh tidak menyangka, ternyata di tengah perjuangan pelik ini, kemalangan masih saja mengikuti.

“Angkot!” aku berteriak lantang ketika melihat mobil biru kecil itu lewat dengan cepat di depanku. Sialnya pada momen yang sama supir tengah menginjak gas demi mendahului sebuah truk yang berjalan di depannya. Aku pun tertinggal angkot itu jauh di depan tanpa bisa mengejar, berteriak-teriak memanggil juga hanya membuang-buang tenaga. Ah! Rasaku semakin campur aduk, seperti ingin menangis, ingin menjerit, ingin pipis, ingin ….

Aku kembali melihat ke Barat dengan harapan hampa, waktu tinggal dua belas menit, dan jarakku masih sangat jauh. Aku kembali berjalan dengan tekad yang sama, berharap ada keajaiban tanpa melakukan usaha barangkali bisa menjadi penyesalan hidup yang sesungguhnya.

“Mau berangkat latihan ya?” Suara itu, Bodhi!

Lelaki paling tenang jika ada ujian dadakan itu sedang sibuk mencuci motor di depan rumah. “Bodhi, tolong antarkan aku ke tempat latihan, aku hampir terlambat,” ujarku.

“Eh tapi-”

“Bodhi!” Aku memotong perkataan dan menatapnya serius. “Tinggal sepuluh menit lagi!”

“Eh? Sepuluh menit? Ayo segera berangkat.”Bodhi menyalakan motor, suara derunya terdengar seperti nyanyian surgawi bagiku.

“Ayo naik!”

“Baik!”

Aku segera membonceng. Saat itu kami berangkat dengan motor masih belepotan air dan sedikit busa di beberapa tempat. Celanaku pun basah, tetapi aku tidak peduli. Dinginnya air justru membuatku merasa lebih tenang. “Aku tidak akan terlambat!” pekikku dalam hati.

Sesampainya di tempat latihan Bodhi segera berteriak, “Sana masuk!”

“Bodhi-”

“Sudah kita bicarakan nanti, ingat waktumu!” Kali ini Bodhi yang memotong perkataanku.

“Baik!” Aku bergegas masuk, di dalam semua orang sudah datang, beberapa bahkan sudah mulai pemanasan.

“Eh kamu kenapa?” Bu Asih melihatku berjalan terpincang-pincang menuju ruang ganti.

Aku menghela napas sembari memegang lutut. “Tidak apa, hanya sedikit terburu-buru, Bu.”

“Hmmm, kakimu itu yang kumaksud?”

“Sakit Bu, nyeri semua rasanya.”

“Loh kenapa?”

“Semalam saya latihan srisig, Bu.”

“Haduh, pentasmu sudah mepet, bagaimana jika belum sembuh? Jika tidak segera membaik terpaksa aku akan meminta Arati untuk bersiap sebagai cadangan.”

Aku terdiam, dadaku terasa sesak. “Saya akan sembuh tepat waktu, Bu!”

“Ya sudah, sana siap-siap. Lain kali kau harus lebih bijak dalam berlatih.”

“Baik, Bu.” Aku segera bersiap, latihan segera dimulai beberapa saat kemudian.

Aku melalui latihan sembari menahan rasa sakit. Meski demikian, semuanya berjalan cukup lancar. Hasil latihanku semalam juga cukup berhasil, bu Asih menilai banyak kemajuan dalam srisigku. Namun perjuangan tidak hanya sampai di sini, aku harus memastikan kakiku sembuh waktu pentas tinggal beberapa hari lagi.

“Kau butuh ini.” Arati menyodorkan selembar kartu ketika aku baru saja selesai berkemas. “Kau harus segera sembuh jika tidak ingin pentasmu gagal,” tambahnya.

“Fisioterapi?” tanyaku sembari melihat kartu nama dari Arati.

Gadis itu menatapku dengan ekspresi yang sulit untuk diterjemahkan. “Kau tidak ingin kugantikan bukan?”

Aku tidak sempat menanggapi karena Arati segera pergi. Entah mengapa aku tidak bisa menepis prasangka. Gadis itu bisa dibilang lebih senior daripada aku, tindakannya memberi alamat fisioterapi bertentangan dengan ekspresi wajah dan perkataannya sebelum pergi. Aku sendiri tidak yakin, yang pasti kartu nama itu ternyata sangat membantu.

“Arati, terima kasih. Kakiku akan segera sembuh. Besok tidak ada latihan, aku akan pergi ke tempat terapi itu lagi dan memastikan malam pentasku akan berjalan lancar.” Aku menemui Arati setelah latihan malam ini usai.

“Baguslah.” Arati menjawab singkat sebelum bergegas pergi, lagi-lagi tatapannya sangat sulit diterka.

Hari berganti, waktu terasa begitu cepat berlalu. Pentas pertamaku akan segera dimulai beberapa saat lagi. Sekali lagi aku memeriksa pakaian, sampur, dan riasanku untuk memastikan semuanya sudah siap. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menunggu. Sebuah tari pembuka akan segera dipentaskan sebelum penampilan dari timku.

Detak jantungku berdebar kencang, suara gamelan mengalun menyusuri ruang udara Sriwedari. Para penari itu membawakan tari gambyong dengan sangat baik. Melihat mereka dari tempat tunggu membuatku kagum sekaligus minder. Tanganku seketika terasa dingin, kakiku bergetar semakin kuat setiap detik menuju berakhirnya pementasan itu. Aku yakin, jika tidak ada riasan, wajahku pasti pucat. Terlebih napasku menjadi semakin berat dan tidak beraturan.

“Ah iya, bagaimana dengan srisigku? Apakah sudah benar?” Pikiranku mulai kacau. “Bagaimana jika aku lupa ketukan dan koreonya? Oh iya, penontonnya sangat banyak, jangan-jangan mereka adalah para ahli tari? Bagaimana jika aku membuat malu?” Aku semakin menunduk, keringat dinginku semakin tidak karuan ketika tari pembuka itu selesai. “Selanjutnya aku tampil, bagaimana ini?”

“Ayo bersiap!” Bu Asih memberi instruksi, semua penari berdiri mendekat area panggung.

“Nikmati saja, panggung itu milik kalian,” pesan Bu Asih.

Aku semakin panik, beberapa detik lagi mulai, tetapi mentalku sungguh belum siap. Tekanan ini terlalu besar, aku tidak sanggup menahannya. Rasanya ingin lari saja, aku sungguh tidak bisa. Tubuhku semakin terasa ringan, kepalaku semakin berkunang. Kupejamkan mata untuk menenangkan diri, tetapi perasaanku semakin tak terkendali.

“Hey!”

Aku terkejut, seseorang memukul pundakku dengan keras. “Kau sudah mengambil tempatku, kau pikir hanya kau yang bermimpi jadi penari? Kau pikir hanya kau yang berjuang keras?” Arati berkata setengah berteriak, semua orang menatap kearah kami detik itu juga. Bu Asih berjalan mendekat.

“Arati?” suaraku tertahan.

Arati menatapku tajam, sangat tajam. “Jangan buat aku sedih karena kesempatanku hilang di tanganmu.” Kali ini suara Arati lirih, gadis itu segera pergi setelah mengatakan kalimat itu.

“Kau tidak apa?” Bu Asih kini menatap sembari memegang pipiku.

Aku hanya mengangguk.

“Kalo begitu fokuslah.” Bu Asih mengusap kepalaku ketika musik pengiring mulai dimainkan. Aku berjalan menuju panggung teriring perkataan Arati, kepercayaan bu Asih, ingatan-ingatan tentang latihan, juga kenangan akan gambaran bidadari di tempat ini. “Aku harus berhasil.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *