Terkadang menjadi seseorang yang dikenal sebagai praktisi Dhamma yang serius membuat kita menjadi sasaran cibiran atau celaan. Meskipun kita bertekad menjalankan Dhamma sebagai panduan hidup, menjaga sila dan berusaha untuk selalu berperilaku lurus dalam setiap ucapan, tindakan maupun pikiran, toh sebagai manusia biasa yang masih belum tercerahkan kita tak mungkin lepas dari kesalahan. Namanya juga masih berlatih, kadang berhasil kadang gagal. Sementara di sisi lain, sebagian orang punya pandangan keliru bahwa setiap praktisi Dhamma yang serius secara otomatis berarti tak mungkin lagi melakukan kesalahan. Itulah mengapa tatkala kita melakukan kesalahan, kita pun dicibir dengan dikatakan, “Rajin-rajin ke wihara dan berlatih meditasi kok masih bisa begitu, ya?”
Parahnya, cibiran yang kita terima tak berhenti hanya saat kesalahan ada pada diri kita. Ketika mereka yang melakukan kesalahan terhadap kita, demi menutupi rasa malunya dan mencari ‘pembenaran’ untuk menenangkan nuraninya, mereka akan berkilah, “Kamu sebagai orang yang lebih mengerti Dhamma sudah sewajarnya bersabar terhadap kami.” Bahkan ketika tak ada kesalahan pada kita dan juga pada mereka, hanya karena kita menganjurkan dan ingin mengajak mereka untuk berlatih meditasi dan mereka tak suka, mereka mengatakan hal seperti, “Hidup itu yang biasa-biasa sajalah… Mengapa mesti dibikin rumit dengan latihan meditasi dan mempraktikkan Dhamma?”
Tentu saja, cibiran atau celaan seperti itu tidak tepat.
Tanpa bermaksud mencari pembenaran, praktik Dhamma adalah sebuah proses panjang yang sangat mustahil memberikan hasil secara sim salabim jadilah orang suci. Memang benar di dalam riwayat Buddha terdapat kisah-kisah keajaiban mereka yang tercerahkan secara seketika hanya karena mendengarkan uraian Dhamma dari Buddha. Namun orang-orang seperti itu telah menimbun jasa kebajikan yang maha besar dari kehidupan-kehidupan lampau mereka, dan jasa-jasa kebajikan itu mereka peroleh dari latihan yang lama, pengikisan cemaran-cemaran batin melalui praktik kemoralan, meditasi dan mengembangkan kebijaksanaan dengan sungguh-sungguh. Dengan begitu, pencerahan seketika yang mereka alami hanyalah puncak gunung es yang menyembul ke permukaan dari praktik Dhamma nan panjang yang telah mereka lalui.
Kita semua mau tak mau harus mengalami proses ini, pengikisan keburukan dan cemaran-cemaran batin melalui praktik Dhamma. Sulit memang, karena kebiasaan buruk dan cemaran-cemaran batin telah berada bersama kita dari sejak waktu yang lama, yang karena ketidaktahuan terus kita pupuk hingga tumbuh subur dengan akar-akarnya mencengkeram dalam. Namun sulit hanyalah keadaan sementara dari belum biasa. Saat kita membiasakan diri untuk mempraktikkan Dhamma, terus dan terus teguh meskipun seringkali masih gagal, maka lama-kelamaan kita pun terbiasa dalam berperilaku lurus melalui ucapan, perbuatan, dan pikiran. Bisa karena biasa, kata ujaran bijak. Meskipun terdengar klise dan remeh, ujaran tersebut adalah ungkapan yang mengandung kebenaran tak terbantahkan.
Jadi, apa selanjutnya?
Jika soalnya demikian, bahwa praktisi Dhamma yang sungguh-sungguh tak otomatis berarti seketika menjadi pribadi-pribadi sempurna dalam kebajikan dan kebijaksanaan, apa artinya menjadi praktisi Dhamma yang serius? Apa gunanya?
Tentu saja tetap ada manfaatnya mempraktikkan Dhamma dengan sungguh-sungguh dan kita dapat menemukan penjelasannya dalam buku-buku Dhamma. Meskipun mungkin dalam kehidupan ini kita belum tercerahkan, praktik Dhamma yang sungguh-sungguh sedikit banyak, dalam pengertian yang relatif, pasti mengubah pribadi kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan pada akhirnya, menjalankan kehidupan yang baik dengan berlatih kemoralan, meditasi dan mengembangkan kebijaksanaan adalah bagian dari cara kita menghargai kehidupan kita yang dapat diringkas dalam satu ungkapan ini: biar tak rugi jadi manusia…
Bayangkanlah bumi kita seluruhnya adalah samudera maha luas, mungkin seperti gambaran di film Waterworld. Di dunia yang melulu lautan itu, hidup seekor penyu buta yang punya kebiasan unik: tiap seratus tahun sekali si penyu buta menyembulkan kepalanya ke permukaan laut. Dan di lautan maha luas itu ada sebuah gelang-gelang kayu yang diameternya cukup bagi kepala seekor penyu. Gelang-gelang itu tak pernah diam di tempat, ia selalu terombang-ambing oleh ombak dan angin ke utara, ke barat, ke selatan, ke timur, dan segala macam arah.
Bayangkanlah lagi kini, setelah seratus tahun berlalu, si penyu buta meluncur naik ke permukaan laut untuk menyembulkan kepalanya. Tatkala hal itu terjadi, mari pikirkan, berapa besar kemungkinan kepala si penyu buta tepat masuk ke tengah-tengah lingkaran gelang-gelang di lautan maha luas nan tak bertepi yang terus terombang-ambil kian kemari oleh ombak dan angin?
Berapa?
Waw! Sangat, sangat, sangat, sangaaaaatttt… amat sangat kecil sekali kemungkinannya, bukan? Mungkin dalam format matematika akan tampak seperti ini: kemungkinan kepala si penyu buta tepat masuk ke dalam gelang-gelang kayu yang terus bergerak adalah 1:1.000.000.000.000.000.000.000.000.000… Dan seperti itulah kemungkinan bagi para makhluk untuk terlahir menjadi manusia! Kita ini, MANUSIA, adalah makhluk-makhluk amat LANGKA di semesta ini. Kebanyakan makhluk yang meninggal terlahir ulang di alam-alam rendah di neraka, alam hantu kelaparan, alam binatang, dan hanya sebagian amat kecil saja yang mampu mentas ke surga atau lahir ulang sebagai manusia.
Luar biasa, bukan?
Perumpamaan tentang si penyu buta memberi pesan kepada kita bahwa sekadar lahir sebagai manusia saja sudah amat sulit, lebih-lebih mampu terlahir ulang sebagai manusia yang mengenal dan memiliki kesempatan untuk mempraktikkan Dhamma. Mari menengok kehidupan mereka yang terlahir di tempat yang tak mengenal Dhamma, atau yang lebih parah lagi tumbuh besar di komunitas yang berpandangan sesat, pastilah sangat berat untuk bertemu dengan ajaran kebenaran. Atau renungkan juga tentang mereka yang membawa beban kelahiran lebih berat dari kita, yang memiliki keterbatasan jasmani maupun mental untuk berlatih dalam Dhamma. Tidaklah hal-hal itu menggugah kita untuk bersyukur dan terus berlatih dalam Dhamma, meskipun praktik kita masih jauh dari sempurna dan buah-buah sejati masih belum kita petik?
Demi “biar tak rugi lahir sebagai manusia”. Itu saja.
Chuang 170216
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara