Covid-19 sudah mengubah hidup banyak orang, termasuk saya pribadi. Beberapa minggu sebelumnya, saya dinyatakan positif covid-19. Tentu saja kejadian itu sempat “mengguncang” batin saya.
Betapa tidak, sejak pandemi melanda dunia dan pemerintah gencar mengampanyekan protokol kesehatan, saya selalu berupaya melindungi diri dengan memakai masker, minum multivitamin, dan rutin berolahraga.
Setiap akan bepergian pun, saya berusaha menghindari kerumunan. Suhu tubuh rutin dicek demi memastikan bahwa tidak ada gejala Covid-19 yang timbul. Pembersihan area rumah dengan menggunakan disinfektan juga beberapa kali dilakukan agar lingkungan di sekitar saya steril dari kuman, khususnya Covid-19.
Alhasil, dengan melakukan semua itu, saya yakin bisa terhindar dari Covid-19, yang saat tulisan ini dibuat sudah menjangkiti 1,4 juta penduduk Indonesia.
Meski begitu, karma yang saya miliki ternyata “berkata” lain. Saya terpaksa terkena Covid. Sebuah penyakit yang sebetulnya sudah saya hindari dan antisipasi sebaik mungkin.
Gejala awal
Harus diakui, Covid-19 adalah jenis penyakit yang berbeda dengan penyakit lain, yang pernah “singgah” ke tubuh saya. Penyakit ini mempunyai sejumlah gejala, seperti demam, batuk kering, nyeri sendi, lenyapnya fungsi indera penciuman, berubahnya rasa di lidah, dan diare.
Saya mengalami semua gejala tersebut pada awal-awal terkena Covid-19.
Untuk meredakan penyakit tersebut, awalnya saya cuma mengonsumsi obat-obat yang dijual bebas di apotek atau minimarket. Saya pikir, ini adalah jenis penyakit biasa, yang kerap muncul pada “masa pancaroba” (peralihan dari musim hujan ke musim kemarau).
Namun, setelah mengonsumsi obat-obat tadi dan hasilnya tidak mempan, maka saya mulai merasa bahwa ini bukan penyakit biasa. Saya menduga bahwa ini merupakan gejala Covid, setelah saya membaca berbagai info di internet.
Untuk memastikan dugaan tadi, saya kemudian melakukan dua macam tes, yakni Tes Swab dan PCR. Hasilnya menunjukkan positif Covid. Meski begitu, saya cukup beruntung karena gejala yang saya alami terbilang ringan. Alhasil, dokter hanya meresepkan obat dan menyarankan saya melakukan isolasi mandiri selama beberapa minggu.
Saya kemudian mengikuti anjuran dokter. Begitu saya memberi tahu bahwa saya terkena Covid, semua barang yang biasa saya pakai, seperti alat makan, pakaian, dan perlengkapan mandi, dipisahkan.
Tujuannya untuk memutus penyebaran virus, sehingga orang-orang di rumah menjadi aman. Selain itu, ruang gerak saya juga dibatasi. Saya hanya boleh berdiam di kamar, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan rebahan atau nonton youtube.
Dukkha
Walaupun terkesan santai, namun hal itu ternyata menimbulkan Dukkha dalam batin saya. Awalnya Dukkha tersebut tidak begitu terasa, tapi lama-lama kemunculannya mulai menciptakan “riak” di batin saya. Alhasil, selama berhari-hari batin saya jadi tidak karu-karuan dibuatnya.
Kejadian tersebut akhirnya membikin saya merenung, “Apa yang menyebabkan batin saya mengalami Dukkha? Di antara ketiga sebab Dukkha yang disampaikan Buddha, sebab yang manakah yang membikin batin saya bergejolak demikian?”
Buddha mengajarkan bahwa sebab Dukkha adalah Tanha. Tanha diterjemahkan sebagai nafsu keinginan yang tidak ada habisnya. Untuk menggambarkan konsep tentang Tanha, Buddha menggunakan perumpamaan tentang seseorang yang meminum air garam.
Apabila ada seseorang yang begitu haus, tetapi ia kemudian malah mengonsumsi air garam, maka kehausannya tidak akan lenyap. Kehausannya akan terus muncul, meskipun orang tersebut telah minum banyak air garam.
Demikian pula Tanha. Apabila Tanha yang timbul di batin dipenuhi, maka akan muncul Tanha-Tanha lainnya yang mungkin jauh lebih kuat dan intens. Alhasil, kalau seseorang terus berupaya memenuhinya, maka tidak akan pernah ada kepuasan.
Nah, yang jadi persoalan adalah kalau Tanha tadi tidak terpenuhi. Hal itulah yang kemudian memunculkan Dukkha. Oleh sebab itu, jangan heran, jika ada seseorang yang begitu mendambakan sesuatu, tetapi kemudian ia ternyata gagal mendapatkannya, maka ia bisa menjadi begitu menderita.
Buddha selanjutnya menggolongkan Tanha ke dalam tiga jenis, yakni nafsu keinginan yang disertai dengan pemuasan kesenangan inderawi, nafsu keinginan yang disertai dengan pandangan kekekalan, dan nafsu keinginan yang disertai dengan pandangan kemusnahan.
Nah, setelah melakukan analisis terhadap penyebab Dukkha yang muncul di batin saya, saya akhirnya menyadari bahwa nafsu keinginan untuk memuaskan kesenangan indera-lah yang paling kuat mendera batin saya.
Alasannya? Karena isolasi mandiri yang saya jalani telah “memaksa” batin saya untuk membatasi pemuasan nafsu yang diinginkannya.
Jika sebelumnya mata saya bisa melihat pemandangan yang indah, telinga saya dapat mendengar suara yang merdu, lidah saya mampu mengecap rasa makanan yang enak, hidung saya bisa mencium aroma yang wangi, dan kulit saya dapat merasakan sentuhan yang lembut, maka begitu saya terkena Covid-19, semua kesenangan inderawi itu tidak bisa dialami.
Alhasil, batin saya pun dilanda Dukkha. Saya merasa stres, bosan, dan kesal karena nafsu keinginan yang muncul di batin saya tidak bisa terpenuhi.
Meski begitu, untungnya, nafsu tersebut hanya bertahan sebentar saja di batin saya. Sebab, saya kemudian mencoba “berdamai” dengan nafsu keinginan yang muncul. Saya berupaya melepas Tanha tersebut dengan menerima kenyataan yang sedang saya alami. Pada titik itulah, batin saya berhenti bergolak. Batin saya pun menemukan ketenangan. Plong!
Ambil himahnya
Biarpun bukan sesuatu yang menyenangkan, namun pengalaman tersebut kemudian menimbulkan kesan yang dalam bagi saya. Saya merasa mendapat beberapa “hikmah” darinya.
Yang pertama, saya jadi bisa mengetahui bahwa kadar Tanha di batin saya masih cukup pekat. Setelah bertahun-tahun mempelajari dan mempraktikkan Ajaran Buddha, ternyata batin saya belum juga terbebas dari Tanha. Alhasil, saya mesti meningkatkan latihan demi mengikis Tanha di batin saya.
Yang kedua, saya bersyukur bahwa masa-masa sulit yang saya alami sekarang sudah berlalu. Saya bersyukur bisa melewatinya dengan baik, dan bisa sembuh dari penyakit yang merenggut banyak korban di dunia ini. Kini saya “mengamini” kata-kata Buddha bahwa kesehatan adalah kekayaan yang utama. Makanya, saya mesti menjaga dan mensyukurinya sebaik mungkin.
Yang ketiga, saya berterima kasih kepada orang-orang di sekitar yang sudah memberikan dukungan. Saat saya tidak bisa melakukan apapun, ternyata masih ada keluarga dan teman yang berbaik hati kepada saya dengan memberikan materi atau pun ucapan yang menghibur hati. Alhasil, berkat dukungan tadi, saya bisa memperoleh informasi tentang langkah yang mesti dilakukan demi menyembuhkan penyakit tersebut.
Akhir kata, saya hanya ingin berkata bahwa pengalaman ini memang layak dikenang, tapi tidak untuk diulang. Makanya, agar terhindar dari Covid, protokol kesehatan mesti dilaksanakan sebaik mungkin. Semua itu tak hanya dilakukan demi kebaikan diri, tetapi juga demi kebaikan orang-orang terkasih.
Salam.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara