Dalam keseharian hidup hingga dewasa ini, masih sering kita jumpai penilaian yang menganggap sesama kita yang tak memiliki anggota tubuh lengkap atau baik sebagai “orang-orang cacat” atau “orang-orang dengan kondisi fisik yang tak sempurna”. Kekeliruan terbesar dari ungkapan seperti itu, yang barangkali tak pernah disadari, adalah kenyataan bahwa sesungguhnya tak ada manusia yang sempurna.
Apakah memiliki dua tangan, dua kaki, dengan jari-jari seluruhnya 20, mata+telinga masing-masing dua, hidung+mulut masing-masing satu, dan semua berfungsi dengan baik dapat disebut sempurna?
Secara sekilas dan dalam pengertian terbatas, ya! Tapi bila dilihat keseluruhan dan mendalam, tidak! Bahkan yang tercantik atau tertampan pun masih saja mengeluhkan ada bagian-bagian tubuhnya yang menurut mereka tidak memuaskan. Jika semua sungguh sempurna, tak ada orang yang akan mengeluh atau pergi ke dokter bedah plastik. Dan jika tubuh yang mudah terlihat ini saja sudah tidak dapat disebut sungguh sempurna, apalagi batin yang lebih tak terlihat. Hanya mereka yang tercerahkan sempurna memiliki batin tanpa cela.
Seperti kebanyakan manusia awam, saya sendiri memiliki banyak ketidaksempurnaan. Secara fisik seluruh anggota tubuh saya lengkap, tapi secara fungsi beberapa indera tak sebaik yang seharusnya. Mata dan telinga saya hanya berfungsi setengah dari kemampuan kebanyakan orang yang disebut “normal”. Saya harus memakai kacamata dan juga alat bantu dengar (ABD). Selain itu, sistem keseimbangan tubuh saya pun tidak baik, reflek mata dan jelajah pandangnya terbatas sehingga amat berbahaya bagi saya untuk nengendarai mobil atau motor. Itu membuat saya sulit pergi ke mana-mana, terutama di pulau dengan transportasi umum yang “antara ada dan tiada” seperti Bali.
Pada awalnya keterbatasan ini tak jadi soal besar. Tapi lama-lama, ketika mulai beranjak dewasa, ketergantungan kepada orang lain dalam hal mobilitas sempat membuat saya berkecil hati. Saya juga sempat mengalami ejekan dan menjadi bahan tertawaan di sekolah karena sering tulalit jika diajak bicara atau dipanggil guru untuk maju ke depan, atau ketika absensi (karena waktu itu belum memakai ABD. ABD masih amat jarang dan mahal, tidak seperti sekarang yang mudah dibeli dan lebih terjangkau).
Dengan berlalunya waktu dan bertambahnya wawasan, juga karena pelatihan yang menumbuhkan sikap lebih bisa melepas, kini saya tak lagi memandang segala keterbatasan itu sebagai sesuatu yang memalukan, mengecilkan hati, dan sebagai alasan untuk terus bermelodrama dengan lakon “Malangnya Aku, Oh Malangnya Aku”. Alih-alih saya mulai bisa menerima keadaan itu dengan ringan hati. Kepada beberapa kawan dan kerabat, saya sering bercanda, “Mataku memang setengah buta, tapi paling tidak masih bisalah buat membedakan duit 100 ribu dari 10 ribu, dan gadis cantik dengan yang biasa.” :-). Lebih dari itu, saya juga menyadari keterbatasan itu justru kadang memberikan beberapa keuntungan bagi saya.
Apa saja keuntungan itu?
Sebagai contoh, karena ketidakmampuan saya dalam hal mobilitas, ke mana pun pergi saya selalu memiliki seorang sopir atau “tukang ojek” pribadi. Saya tidak pernah perlu berlelah-lelah ria selama perjalanan. Saya cukup duduk manis di jok penumpang atau di samping “pak kusir yang sedang mengendarai kereta”, santai menikmati pemandangan atau suasana kota.
Lebh mengasyikkan adalah soal telinga saya yang oleh seorang teman sekolah dulu pernah disebut sebagai “antena yang kurang tinggi” (maklum, anak jurusan teknik elektronika di STM, sekarang SMK).
Ketika saya memerlukan suasana sunyi karena lelah dengan bisingnya dunia perkotaan modern atau karena ingin bermeditasi, saya tidak perlu bersusah-payah mencari tempat hening di pelosok hutan rimba sana. Saya cukup masuk ke kamar saya, menutup pintu, melepas alat bantu dengar (ABD) dari telinga saya, dan… bim salabim… ajaib, dunia langsung menjadi hening. Tak ada lagi suara-suara keponakan yang menjerit-jerit atau tertawa, suara galak dari sinetron jelek di tivi, atau musik berisik dari hape entah siapa. Dan meditasi di kamar sendiri serasa meditasi di hutan hening sunyi senyap nun rimba sana..
Asyik, kan?
Chuang 060811
*) Chuang bisa ditemui di www.tokopedia.com/ugahari
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara