• Saturday, 2 February 2019
  • Junarsih
  • 0

Masih seperti hari-hari lalu, duduk diam di teras rumah bersama kekasih tersayang. Kekasih yang selalu setia. Tidak akan marah meski jari-jariku selalu menari di atasnya. Setiap hari aku bersihkan sela-sela terkecil dari tubuhnya agar terlihat indah. Meski dia pernah rapuh, aku tidak pernah menyuruhnya bangkit lebih sempurna.

Aku hanya ingin dia berjalan sebagaimana mestinya dan semampunya. Aku tidak ingin menjadi manusia yaang suka menuntut berlebihan, tak terkecuali kekasihku ini. namun, bila masanya sudah tiba, aku bisa apa? Aku hanya bisa mneguburkan seluruh kenangan pahit manisku dalam sebuah memory bernama hardisk.

Saat aku penat, cairan hitam dari buah pohon kopi sedikit membuatku tenang. Apalagi tidak ditambah dengan pemanis tambahan. Sungguh luar biasa rasanya. Mungkin aku hanya bisa duduk diam saja, tapi aku terlalu banyak memikirkan segala hal sampai aku lupa untuk melakukannya. Maklum, aku adalah tipe pemikir tanpa suka bertindak apapun. Setidaknya itu lebih baik daripada hanya bicara tanpa bertindak. Harapanku sangat sederhana, jangan sampai ada orang lain sepertiku yang hanya suka duduk diam tanpa melakukan apa pun.

Aku bersyukur masih dilahirkan di dunia manusia. Meski tidak banyak hal yang aku lakukan. Tapi, sebuah perbuatan yang kemungkinan orang lain sulit untuk melakukannya itu menjadi sangat mudah untukku lakukan. Menolong orang lain setiap waktu. Mengapa bisa aku katakan demikian? Karena aku tipe pemikir, tetapi tetap bisa menolong. Karena aku tahu mereka dari batas pikiranku. Sehingga aku bisa mengutarakan sedikit ucapan agar mereka tidak tersesat dalam jaring yang sama. Bisa jadi orang lain menganggapku bodoh, tapi inilah aku. Aku merasa pandai dengan diriku sendiri.

“Perkenalkan, aku Reina. Aku pindahan dari salah satu SMA di Surabaya. Aku suka membaca buku dan bersenda gurau dengan secangkir kopi. Mungkin terdengar aneh untuk teman-teman semua. Tapi inilah perkenalan sederhana dariku,” ucapku saat pertama kali masuk di bangku kelas yang baru.

Ini bukan pertama kalinya aku pindah sekolah, sudah sekitar tiga kali aku pindah. Bukan karena tidak betah, tapi mengikuti tempat dinas ayah. Tidak mungkin ayah akan meninggalkan putrinya sendirian di rumah. Aku sudah tidak punya ibu. Ibu sudah tiada sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia meninggalkanku diam-diam, tanpa bertutur kata, lenyap perlahan suara lembutnya. Sampai saat ini, ayah tidak pernah mengatakan apa yang terjadi dengan ibu, karena aku tidak pernah bertanya. Aku tidak ingin mengulang air mata yang sama dengan bertanya kepada ayah.

Di sekolah yang baru ini, aku punya teman yang baik. Teman yang sama sepertiku. Teman yang setiap hari suka menolong orang lain dengan pikirannya. Namanya Dainda, dia cantik, tinggi semampai, memakai kacamata, karena ada sedikit masalah di kornea matanya, rambutnya selalu terurai sepunggung, dan memiliki poni yang menutupi dahinya. Kebetulan dia duduk sebangku denganku. Dia sering bercerita banyak tentang orang-orang yang sudah ditolongnya.

Suatu hari, aku dan Dainda berjalan kaki di taman kota pulang sekolah. Tiba-tiba, aku melihat seorang ibu yang menggendong bayinya hendak menyeberang. Ada yang aneh dari ibu itu. Benda cair berwarna merah membasahi kepalanya.

“Inda, kamu lihat Ibu itu! Ada yang aneh di kepalanya?”

“Mana, Rein?”

“Itu, Ibu yang mau nyeberang jalan”

“Rein, buruan kita harus tolong Ibu itu. Dia hampir terserempet motor”

“Mbak-mbak, tahu kedai kopi dekat sini tidak?” datanglah seorang Bapak menghampiri kami.

“Eh, Bapak. Iya pak, diujung jalan itu ada Apotik, nah di sebelah apotik itu ada kedai kopi pak,” jawabku dengan sedikit kaget.

“Terima kasih ya Mbak.”

“Iya, Pak, sama-sama,” jawabku kompak dengan Dainda.

“Inda, barusan aku seperti sedang melamun deh. Ada Ibu-ibu gendong bayi, terus malah keserempet motor. Di jalan itu!” ucapku sambil menunjuk ke arah jalanan.

“Bentar deh Rein, barusan aku juga melamun hal yang sama. Sampai-sampai kita kaget kan tadi ditanya sama Bapak-bapak itu.”

“Iya, Nda. Nda… Nda… Nda.. lihat, itu Ibu-ibu yang hampir keserempet. Ayo Nda kita tolongin.”

Sontak Aku dan Dainda berlari sekencang mungkin. Dari arah berlawanan ada sepeda motor yang berjalan kencang hampir menabrak Ibu yang menggendong bayi. Beruntung, Ibu itu selamat, meski sempat terjatuh karena tangannya kami tarik.

“Makasih ya, Nak, udah menyelamatkan Ibu.”

“Iya, Bu, sama-sama.” Tuturku dengan nafas sedikit tersengal-sengal.

“Lain kali, kalau hendak menyeberang ikuti lampu lalu lintas ya Bu.” Ucap Dainda kepada Ibu itu.

Inilah aku, dan juga Dainda. Kami setiap hari melakukan hal yang belum tentu orang lain bisa lakukan. Kata ayah, aku istimewa. Sampai-sampai, aku selalu diajak ke vihara untuk bermeditasi. Kata ayah, supaya aku lebih kuat, lebih tenang.

Di samping itu, aku tidak akan pernah lupa dengan kekasihku dan juga secangkir kopi untuk menuliskan semua kisah yang pernah aku lewati.

Junarsih

Bahagia dengan alam, terutama gunung. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *