• Monday, 28 October 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Penulis : Andreian (An)

Hesti masuk ke kamar dengan wajah yang masam, perkataan ayahnya di ruang tamu beberapa saat yang lalu benar-benar membuat hatinya serasa ditikam sembilu. “Kau anak perempuan, bagaimana aku bisa tidur dengan tenang jika setiap hari aku hanya melihatmu mengepal jemari?”

Air mata mulai mengalir di dalam kegelapan kamar yang suram, malam ini Hesti tidak berniat untuk menyalakan lampu kamar demi menyembunyikan kesedihannya dari dunia. Meski selama ini ia sudah terbiasa dengan cara mendidik ayahnya yang cenderung keras dalam menasehati, tetapi kali ini dia benar[1]benar kesulitan memenangkan perasaan. “Kau anak perempuan, bagaimana ayah bisa tidur dengan tenang jika setiap hari aku hanya melihatmu mengepal jemari?” Suara itu kembali menggema dalam telinga Hesti setiap kali ia mencoba untuk memejamkan mata.

Cuaca cerah di sekolah hari ini tidak merubah mood Hesti yang sedang buram. Hingga pelajaran berakhir dan anak-anak bantara memasuki ruang kelas gadis kelas satu itu masih berdiam.

“Hari ini ada perekrutan bantara, siapa yang ingin bergabung?” Kak Tania, seorang anggota bantara menawarkan dengan gayanya yang riang.

Semua orang dalam kelas itu diam dan mulai merenung, hanya Hesti yang langsung mengangkat tangan dan menyatakan minatnya untuk bergabung, “Saya!”

“Hesti?” pekik seisi kelas itu keheranan. Selama ini Hesti sering izin atau membolos kegiatan pramuka dengan berbagai alasan, wajar jika teman sekelasnya merasa heran dengan keputusannya.

Hesti tersenyum untuk pertama kali sepanjang hari ini ketika melihat respon teman-temannya. “Boleh kan Kak?” katanya.

“Boleh.” Kak Tania mencatat nama Hesti pada selembar kertas kecil beserta nama Aldi dan Arum yang mendaftar kemudian. “Setelah latihan kalian bertiga jangan langsung pulang, akan ada sedikit pengarahan.

Sore itu sekitar dua puluh calon bantara berkumpul termasuk Hesti, Aldi, dan Arum. Sejak sore itu juga, Hesti mulai sering aktif dalam kegiatan pramuka dengan menjalani berbagai pelatihan dan tes untuk menyiapkan diri sebagai anggota bantara. Sebenarnya masih ada perasaan yang membuat Hesti tidak sepenuh hati mengikuti kegiatan, tetapi keberadaannya yang mulai diakui dalam kelompok tersebut perlahan menimbulkan rasa nyaman sehingga ia bisa terus bertahan.

Meski sebenarnya Hesti menyadari masih ada sekat di antara mereka. Namun sekat itu tidak dapat bertahan lama. Ketika rangkaian pemantapan telah sampai pada puncaknya mereka dapat lebur dalam satu rasa. Ah, siapa sangka? Puncak dari semua itu adalah malapetaka yang begitu mencekam dan mengerikan.

Hari minggu, Hesti dan regunya sudah siap di sekolah ketika jam menunjukkan pukul enam pagi. Hari ini akan ada perkemahan di lereng gunung sebagai syarat terakhir pelantikan. Para peserta berangkat ke lokasi pukul tujuh pagi setelah apel dan persiapan, dari sana mereka akan diantar naik mobil ke satu titik yang telah disepakati. Kemudian mereka harus berjalan beberapa kilometer membelah hutan pinus menuju sebuah air terjun di sisi timur gunung.

“Kau tidak takut naik mobil pickup seperti ini?” Aldi membuka pembicaraan sembari berpegangan pada palang besi di sisi kiri mobil untuk menjaga keseimbangan.

Hesti juga berpegangan di palang besi itu. “Tidak, ini sangat menyenangkan.” jawab Hesti.

Mereka pun saling bertatapan. “Ah iya, ngomong-ngomong mengapa kita yang ditunjuk jadi pemimpin sementara?” Hesti mengaluhkan pembicaraan.

“Hmm tidak tahu, kita laksanakan saja dengan senang hati,” kata Aldi sembari tersenyum, “kau memimpin regu puteri sedang aku memimpin regu putera, kombinasi yang pas.”

“Apa maksudmu?”

Aldi terlihat kikuk, rona wajahnya berubah. “Hehe tidak kok, yang jelas kita lakukan saja. Eh lihat, kita sudah semakin dekat.”

Hesti memasang wajah keheranan, pertama karena perkataan Aldi dan yang kedua karena pemandangan jalan raya.

“Aaaa!” Orang-orang dalam mobil itu memekik kaget, yang lain sibuk memegang barang-barang. Jalanan yang mereka lalui mulai menanjak dan meliuk. Semua yang ada di atas mobil terguncang hebat berkali-kali. “Awas!” Aldi terus berteriak memperingatkan ketika jalan di depan sulit delewati. Beruntung perjalanan mencekam itu tidak berlangsung lama, mobil berhenti di depan sebuah tugu dan mereka segera turun setelah menenangkan diri masing-masing.

“Aman?” Kak Tania keluar dari mobil bagian depan, wajahnya terlihat merona karena sedari tadi tertawa mendengar histeria yang terjadi.

“Aman kak,” jawab Hesti asal.

Perjalanan pun dilanjutkan. Bebeberapa kilo meter mereka menyusuri hutan pinus dengan jalan setapak yang meliuk dan terjal. Meski lelah, lantunan lagu terus disenandungkan, gelak tawa, dan obrolan tidak berhenti mengema ke penjuru hutan. Hanya Hesti yang sedikit mengeluarkan suara, ia sibuk mengagumi pemandangan alam yang jarang ia lihat selama ini. Terlebih ketika sampai di air terjun, Hesti benar-benar kagum melihat berkubik-kubik air berjatuhan dari ketinggian.

“Ayo kita segera dirikan tenda, cari ranting kering, dan siapkan dapur.”Aldi memberikan komando.

“Siap!” Kelompok itu menjawab serentak dan segera menjalankan tugas sesuai pembagian yang telah dilakukan sebelumnya. Hingga sore menjelang mereka masih sibuk. Sebelum senja sirna dua tenda telah berdiri, setumpuk ranting kering sudah disusun rapi, dan perlengkapan masak sudah siap. Kini mereka hanya perlu menata barang dalam tenda selagi Hesti, Nita, Budi, dan Kak Tania mulai memasak.

“Kita harus cepat memasak sayur dan lauk, meski sudah membawa bekal nasi untuk malam ini, sarapan tadi pagi pasti sudah tandas karena perjalanan berjam-jam dan persiapan perkemahan yang melelahkan.” Kak Tania menjelaskan sembari memotong buncis.

Tim logistik tidak menjawab, tetapi mereka bergerak dengan lebih cepat dan efisien. Sekilas gerakan mereka sama cepat dengan gerakan reranting yang bergoyang karena angin yang semakin kencang. Benar juga, angin menjadi semakin kencang dari waktu ke waktu. Tanpa ada yang menyadari, pergerakan angin membawa perubahan cuaca dengan munculnya awan hitam dari arah barat. Senja yang masih menyisakan jejak matahari tiba-tiba menjadi gelap sebelum waktunya.

“Hujan!” pekik Bambang ketika setetes air menghujam wajahnya. Ia bergegas memasuki tenda lelaki ketika jutaan bulir hujan berjatuhan bersamaan. Tidak lama, angin semakin kuat, sedangkan kilat mulai menghiasi langit yang mulai malam. Semua orang menjadi panik dan berusaha menyelamatkan barang bawaan. Mereka menggendong tas dan mengangkat barang sembari berdiri melingkar di tengah tenda ketika menyadari saluran air yang dibuat di sekeliling tenda tidak mampu menapung air. Kekacauan semakin parah ketika angin membuat pasak tenda terpental sehingga nyaris roboh. Hujan benar-benar leluasa menyerang seisi tenda dalam kondisi gelap yang mencekam. Adapun cahaya, hanya perapian di dapur yang masih bertahan. Tenda yang dibuat dari terpal dengan ukuran kecil dan tidak terlalu tinggi membuat tempat masak itu belum kalah oleh angin dan hujan. Sementara keberadaan batuan yang menghimpit kompor membuat apinya masih terjaga meski terpontang-panting. Sungguh keadaan yang memilukan karena gema suara petir berpadu dengan jerit kepanikan dan keputusasaan.

“Hesti, tinggalkan masakanmu, teman-teman membutuhkan komando. Persiapkan segalanya untuk menghadapi kondisi terburuk.” Kak Tania berkata dengan tegas sembari menahan agar terpal tidak terangkat angin.

Hesti menatap binar mata Kak Tania, menghela napas, lalu bergegas dengan penuh keyakinan.

“Tenang teman-teman, mari kita bekerja sama mengatasi semua ini. Sekarang kosongkan tenda lelaki, pindahkan semua barang lalu berkumpul di tenda puteri.” Hesti berteriak lantang melihat teman-temannya semakin panik.

“Baiklah, pertama nyalakan senter lalu keluarkan jas hujan.” Cahaya mulai menyala satu persatu menampakan ekspresi wajah ragu dan bibir pucat yang dikulum kelu.

“Herman, Nadia, Sari, lembarkan jas hujan kalian di atas tanah, lalu letakan semua barang di atasnya. Arum, Rudi, dan Karman, gunakan jas hujan kalian untuk menutup barang.”

Mereka bergerak dengan cepat. “Aldi, mengapa kau diam saja? Cepat ambil alih komando untuk mempertahankan tenda.”

Aldi gagap, tapi ia segera tanggap, “Ba-baik, ayo semuanya! Keluarkan tali rami dari tas kalian. Jono, Tio, dan Bahar ambil tali itu serta bawa ke empat titik utama tenda, tanam lagi pasaknya lalu ikat dengan lebih kuat. Yosep, Ahmad, dan maria, kalian bersamaku. Kita robohkan tenda sebelah untuk memperkuat tenda ini.”

Hesti tersenyum.“Bagus, sisanya bersamaku untuk mempertahankan dapur. Gunakan jas hujan kalian untuk menghalau hujan dan angin dari api dan masakan.

Harapan kembali muncul dalam kelompok itu, suhu dingin karena udara dan air tidak lagi terasa karena pikiran setiap orang yang fokus dan jasmani yang terus bergerak demi menjalankan tugas masing-masing. Teriakan yang menggema seiring derap hujan dan petir telah berubah dari kepanikan menjadi koordinasi dan teriakan semangat yang menggetarkan dada.

“Bertahan sebentar lagi, masakan akan segera siap.” Kak Tania menyemangati Hesti dan teman-teman yang tengah membuat benteng manusia dan jas hujan di antara nyala api.

“Aldi! Segera selesaikan tendamu.” Hesti melolong menyaingi bunyi hujan.

“Ya, tenda kita sudah semakin kuat!” Aldi menjawab sembari menahan pasak dengan tangan dan menarik tali rami dengan giginya. “Yosep, Arum, dan bahar, masuk ke dalam tenda, gunakan jas hujan yang tersisa untuk alas, lalu keluarkan perlengkapan makan dan bekal nasi.”

“Baik!” jawab mereka serentak.

“Hesti, makanannya sudah matang.” Kak Tania membawa angin segar.

“Aldi!?” Hesti memekik.

“Siap, Hes!”

“Bagus, ayo kita bawa masakan ini. Buat payung dari mantel lalu berjalan beriringan. Pastikan tidak banyak air hujan yang masuk dalam panci dan membasahi makanan lain.” Hesti memberi komando.

Hujan masih deras saat semua orang telah duduk melingkar di dalam tenda. Masakan hangat dan nasi sudah tersedia di sana. “Kita baru makan tadi pagi, sekarang kita harus makan agar badan kita tetap hangat dan perut tidak kosong.” Hesti membuka percakapan.

“Baiklah, jumlah nasi yang masih kering dan layak makan hanya sedikit, bagi nasi itu ke dalam lima piring. Jadi setiap empat orang mendapat jatah satu piring. Ambil lauk dan sayur yang cukup, pastikan semua dapat. Oh iya, masih ada kerupuk yang bisa dimakan.” Aldi memberi komando disambut kesigapan para anggota.

“Ya, mari kita berdoa sebelum makan.” Kak Tania memimpin setelah pembagian selesai.

Suasana hening dalam tenda itu membuat keributan di luar terdengar lebih mengerikan. Angin semakin malam semakin menggila. Cuaca di gunung memang kejam, cukup kejam untuk sekali lagi mementalkan dua pasak utama dengan sebuah sentakan yang hebat.

“Ya Tuhan!” Hesti memekik, semua orang kembali mendengungkan suara keputusasaan.

Sekilas Hesti memejamkan mata, dia teringat kisah seorang pedagang yang mampu menyelamatkan kelompoknya dari panasnya padang pasir karena ia terus percaya dan berpikir akan menemukan air dan melewati kegersangan.

“Jangan menyerah!” Hesti memekik sekali lagi, “biarkan anginnya, kita selesaikan makan malam ini. Sekarang dua orang memegang jas hujan untuk menghalau air masuk dalam piring, lalu dua orang lainnya makan satu suap. Lakukan bergantian hingga makan malam ini habis, setelah itu kita selesaikan masalah tenda bersama-sama.”

Kak Tania juga ikut makan, tapi dia lebih sering tersenyum. Melihat generasi penerus begitu kompak membuatnya senang. Sayang, kesenangan itu lagi-lagi menguap terbawa cuaca. Meski makan malam berhasil, tetapi keadaan semakin parah. Anak-anak kini sedang memperbaiki pasak. Namun angin mampu mengoyak beberapa tali rami.

“Bagaimana ini? talinya tidak sampai, susah menyambung,” Bambang masih berusaha mengikat.

Hesti mendekat, lalu dengan satu sentakkan ia melepaskan hasduk. “Ini, gunakan untuk menyambung.”

Bambang tersenyum, dia segera menggunakan hasduk, bahkan tali peluitnya untuk memperkuat sertiap sisi tenda. Ada sedikit tawa ketika usaha Bambang itu ternyata ditiru oleh sebagian anggota. “Darurat!” kata setiap orang sebelum melepas atribut. Dan akhirnya, ketika malam semakin matang, semua anggota dapat kembali memasuki tenda. Para lelaki berkumpul dan saling menempelkan punggung demi menghangatkan tubuh, begitu juga para wanita. Meski sedikit, mereka menemukan makanan kecil yang masih bisa dimakan. Suasana menjadi sedikit hangat karena makanan dan candaan menyebar di antara rombongan itu.

Hesti kali ini sudah mulai terbiasa, ia larut dalam candaan meski rasa khawatir masih ia rasakan. Saat ini hujan memang masih lebat, meski petir sudah jarang tetapi suara air terjun terdengar sangat bergemuruh. Kondisi tenda juga tidak sepenuhnya baik.

“Kretek!”

“Suara apa itu?” Aldi berdiri melihat sekitar.

“Tiang utamanya!” Hesti memekik melihat retakan pada tiang utama tenda. “Ayo segera keluar!”

Suasana menjadi mencekam. Keluar dari tenda orang-orang kembali terpapar hujan dan angin secara langsung. Tenda yang sudah miring kini benar-benar roboh karena tiang utamanya telah patah. Kali ini sulit untuk mencari solusi, mengganti tiang dengan kayu lain sama halnya dengan mengulang mendirikan tenda.

“Bagaimana sekarang Hes?” Aldi menatap nanar.

Kali ini gadis itu tidak segera menjawab, ia mempertimbangkan banyak hal. Malam yang kian dingin, cuaca yang memburuk, tenda roboh, teman-temannya yang semakin menggigil dan putus asa.

“Bagaimana kalo kita kembali dan mencari pemukiman terdekat?” Bambang memberi saran.

“Benar Hes, kau sudah tidak tahan.” Arum berkata memelas.

Hesti menghela napas. “Tidak, sebaiknya kita bertahan di sini.”

“Jangan terlalu memaksakan diri Hes,” sergah Nadia.

“Benar kata Nadia, kau tidak melihat kondisi sudah seburuk ini?” Rudi menimpali.

“Aku mempertimbangkan banyak pulang dan resiko. Kalian tidak sadar air terjun meluap dan aliran airnya begitu deras? Bila kita bisa menyeberang, perjalanan menyisir hutan berarti melewati jalan setapak curam dan licin di bawah guyuran hujan. Sebelumnya saja kita butuh beberapa jam untuk melewati sisi barat hutan ini dan sampai di titiberangkatan. Dengan penerangan yang terbatas, tetap bertahan di sini mungkin adalah pilihan terbaik.” Hesti menjelaskan pendapatnya, sementara yang lain berdiri mengelilinginya sembari ikut berpikir.

“Hesti benar, tapi kita juga harus melakukan sesuatu agar bisa bertahan. Udara semakin dingin, semua barang dan pakaian kita basah, sementara badai belum menunjukan pertanda akan reda.” Aldi angkat suara diikuti anggukan setuju.

“Sekarang jam berapa?” Hesti mulai membuat rencana.

“Sebelas lebih tiga,” sahut Karman cepat.

“Baiklah, mari bertahan untuk beberapa jam ke depan. Karena hujan ini sangat lebat sebaiknya kita masuk dalam tenda. Ambil semua tiang lalu kita buat tenda bivak. Bentuk bivak yang landai pasti lebih aman dari terpaan angin.”

“Kau benar!” Aldi kembali bersemangat.

“Sekarang yang harus kita lakukan adalah menahan tenda, memasang alas di tengah dengan jas hujan. Kemudian empat orang bertugas melepas tiang depan dan belakang, karena pasak sudah kuat maka yang perlu dilakukan adalah menindih empat sisi dengan sesuatu yang berat. Lalu kita lintangkan satu tongkat di tengah agar udara bisa masuk. Gunakan tas sebagai landasan tongkat.” Hesti kembali menghela napas, “Baiklah, ayo kita mulai. Siapa yang bersedia bertugas di luar?”

Delapan orang mengajukan diri, sementara yang lain segera bergegas masuk menyiapkan di dalam tenda. Tidak lama tiang tenda sudah di rubuhkan, empat sisi telah ditarik dan ditindih batu, sedang di tengah tongkat sudah dilintangkan sehingga terdapat rongga untuk keluar masuk udara. Sekilas tenda itu terlihat seperti tempurung kura-kura. Dan dengan beralaskan jas hujan, semua anggota duduk saling berhimpitan demi membuat kehangatan. Kali ini suasana tenda hening tanpa obrolan, mungkin karena dingin dan lelah, diam menjadi pilihan terbaik. Beberapa orang bahkan mulai menguap dan merasa kantuk walau kondisi tubuhnya basah kuyup dan dalam posisi duduk.

Satu demi satu anggota terlelap, mungkin Hesti dan Kak Tania yang terakhir terjaga. Suasana tenda itu jadi tenang, keadaan di luar juga berangsur tenang. Ketika Hesti akhirnya terbangun, hujan sudah reda dan angin kembali normal. Ia keluar melihat keadaan, saat itu mungkin jam tiga pagi. Langit setelah badai selalu cerah, maka Hesti bisa melihat rembulan bercahaya bulat sempurna di sisi jutaan bintang berkelip bersamaan. Hati Hesti bergetar, panorama malam yang begitu indah terbentuk dari loncatan air terjun yang membiaskan cahaya langit menjadi warna-warni yang samar.

“Bapak, aku suka membuka jemari. Besok akan kulakukan di rumah juga.” ujar Hesti sembari tersenyum, pelangi yang terbentuk di sisi air terjun dan di bawah rembulan ikut tersenyum.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *