Rumah tipe 36 ini masih seperti dulu, saat pertama kami beli. Tidak banyak yang berubah. Warna cat dan semua perabot masih sama. Tidak banyak yang berubah atau bertambah. Meja, sofa, lemari pajangan, sampai jam dinding, masih sama seperti dulu, hanya warnanya sudah kusam dan modenya sudah ketinggalan zaman. Warna cat rumah juga sudah kusam, dimakan usia.
Aku tidak punya banyak waktu memerhatikan keadaan rumahku sendiri. Aku sibuk dengan kegiatan mengurus rumah tangga, membuat aneka kue dan camilan untuk dititipkan ke sekolah dan warung. Penghasilan suamiku tidak besar sehingga aku harus membantu mencari tambahan agar cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.
Hari ini aku memutuskan untuk bersantai sejenak, kemarin aku lembur membuat banyak pesanan kue untuk arisan. Kupandangi pigura foto yang ada di meja. Foto keluarga kami. Aku, suami, dan Dea putri semata wayang kami. Aku merindukan saat berkumpul bersama. Nonton televisi bersama, makan bersama, atau jalan bersama ke mal. Aku rindu kebersamaan. Kini semua tinggal kenangan. Suamiku meninggal dua tahun lalu. Aku harus bekerja lebih keras, aku sekarang berperan sebagai ibu sekaligus ayah bagi Dea.
Dea sekarang duduk di kelas 8. Ia sekarang sering menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Sepulang sekolah Dea sering ke rumah temannya, mengerjakan tugas sekolah, katanya. Aku tidak bisa memaksa Dea untuk langsung pulang ke rumah. Aku berusaha memaklumi, remaja punya kesibukan sendiri dan ingin punya waktu bersama teman seusianya. Ngumpul dan ngobrol bersama teman-teman seusianya. Aku juga pernah remaja, aku tersenyum mengingat masa remajaku.
Aku menatap kalender meja. Astaga! Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sudah dua bulan ini Dea tidak menitip untuk dibelikan pembalut. Mungkinkah Dea sekarang sudah tidak malu lagi membeli pembalut ke warung? Tapi naluriku sebagai seorang ibu merasakan kekhawatiran, seperti ada yang tidak beres.
Aku langsung menghubungi ponsel Dea.
“Sekarang Dea di mana?”
“Di rumah Desy Ma, ada apa? Masih buat tugas, belum selesai.”
“Oke, begitu selesai, langsung pulang ya?”
“Baik Ma…”
Perasaanku sedikit lega setelah berbicara dengan Dea. Dari nada suaranya, tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi entah mengapa, perasaanku tetap tidak enak. Duduk sendiri di ruang tamu, hanya memandang jam dinding, menunggu kepulangan Dea. Waktu terasa berjalan begitu lambat.
* * * * *
Aku mendengar suara motor mendekat, pasti itu ojek online yang mengantar Dea pulang. Aku segera membuka pintu menyambut kedatangan Dea. Aku berusaha menahan diri untuk tidak bertanya dulu. Aku menawarkan Dea untuk makan dan mandi dulu. Kami makan bersama. Aku tidak banyak mengobrol seperti biasanya. Biasanya aku menanyakan keadaan sekolahnya, apa kabar temannya, dan hal lain. Aku segera ingin bicara dengan Dea, mencari tahu apa yang membebani pikiranku. Dea langsung mandi setelah selesai makan, sementara aku membereskan perlengkapan makan.
Aku menunggu dengan perasaan tidak menentu.
* * * * *
“Dea, duduk di sini sayang. Mama ingin tanya.”
“Iya Ma.”
Aku menarik napas panjang sebelum memulai percakapan. “Dea, gimana kabar Rena?” aku masih bingung harus memulai dari mana.
“Baik Ma.”
“Di sekolah tidak ada kesulitan mengikuti pelajaran?”
“Semuanya lancar-lancar saja Ma.”
“Oh iya, kok Dea nggak nitip Mama untuk beli pembalut lagi? Dea sudah tidak malu beli pembalut sendiri?”
“Belum ada tanda-tandanya kok Ma. Nanti kalau butuh, Dea akan titip Mama. Di lemari pakaian masih ada sisa yang lama.”
“Kapan Dea mens terakhir?” tanyaku hati-hati.
“Ng… sekitar dua setengah bulan lalu Ma.”
* * * * *
Obrolan malam itu belum melegakan hatiku. Belum tuntas. Mungkin siklus mens Dea yang tidak teratur atau memang ada hal lain yang harus kukhawatirkan. Lewat pembicaraan panjang lebar, akhirnya aku berhasil mengorek keterangan tanpa membuatnya merasa dipojokkan atau terluka. Sekitar dua setengah bulan lalu Dea belajar kelompok berempat di rumah Ramon. Sheila dan Nindy pulang duluan. Kata Dea, ia merasa sangat ngantuk dan akhirnya terbangun sudah di kamar Ramon.
Dea merasakan sakit yang luar biasa di pangkal pahanya, tapi ia tidak berani bercerita padaku. Pertama karena aku terlihat sangat sibuk dan capek menjadi orangtua tunggal. Kedua ia tak ingin membuatku khawatir dan mencoba mengatasi sendiri masalahnya. Langit serasa runtuh saat aku mendengar ceritanya.
Sebagai orangtua, aku merasa gagal menjaga anakku satu-satunya. Aku tak sepenuhnya mengerti, apakah pembekalanku kepada Dea tentang pendidikan seks masih kurang atau Dea belum sepenuhnya menyadari apa yang menimpanya atau belum mengerti risiko kehamilan di usia sangat muda. Entahlah…
* * * * *
Apa pun yang terjadi, aku harus kuat. Aku harus kuat menghadapi ini semua demi Dea. Tidak ada yang dapat diminta bantuan untuk masalah ini. Aku sampai pada kesimpulan, dalam hal ini Dea tidak sepenuhnya salah. Ia positif hamil setelah dua kali aku melakukan tes dengan test pack.
Perjuangan panjang dimulai. Dengan bantuan seorang pandita, aku berhasil meminta keluarga Ramon bertanggung jawab membiayai segala kebutuhan Dea hingga melahirkan nanti. Dea terpaksa diungsikan ke suatu tempat dan cuti sekolah dengan alasan berobat. Itu hal yang paling penting untuk ditangani saat ini. Hal itu yang paling sulit aku dapatkan. Keluarga Ramon bersikeras minta kandungan Dea diaborsi. Apa pun yang terjadi, aku tidak mungkin menyetujui pembunuhan ini.
* * * * *
Delapan bulan kemudian…
Dea sudah masuk sekolah lagi. Dea terpaksa mengulang kelas 8. Mungkin ini bagian terberat dalam hidup kami, setelah kepergian suamiku, ayah Dea. Aku dan Dea menghilang sekitar delapan bulan, hidup di sebuah vila, tanpa pernah bersosialisasi sama sekali. Dea keguguran saat bayi yang dikandungnya memasuki usia tiga bulan. Setelah semua pulih, barulah kami kembali ke rumah dan menjalani hidup “normal” kembali.
Satu beban berat telah berlalu, aku harus tetap kuat menjalani hari-hari kami. Kembali menjadi ibu sekaligus ayah bagi Dea, plus seorang “psikolog” untuk memulihkan mental Dea yang harus menjalani beban sangat berat di usianya yang masih sangat muda.
“Berbuat kesalahan adalah hal yang manusiawi, tapi melakukan kesalahan yang sama adalah sebuah kebodohan,” begitu kalimat motivasi yang pernah kubaca. Aku harus membekali Dea agar lebih selektif memilih teman.
Dulu, aku terpaksa berbohong ke pihak sekolah. Aku mengatakan Dea sakit kanker dan bukan hamil. Aku melanggar sila keempat dari Pancasila Buddhis, tapi aku sekuat tenaga berjuang untuk mempertahankan janin yang ada di dalam kandungan Dea. Aku tidak mungkin membunuh, apa pun yang harus kami hadapi, aku siap.
Catatan:
Kisah ini hanyalah fiktif belaka, namun banyak terjadi di sekitar kita. Seks pranikah adalah salah satu ancaman bagi buah hati kita (entah mereka laki-laki ataupun perempuan). Mari bekali mereka dengan pengetahuan Dhamma dan pendidikan seks agar mereka tidak mendapatkan info yang salah di luar sana.
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara