• Sunday, 21 October 2018
  • Lani Lan
  • 0

Cuaca sangat panas dan lembab, banyak orang disekitarku dan suasana terasa membosankan. Hidup enggan mati pun tak mau, begitulah rasanya kecewa. Sudah satu bulan ini aku merasa bebas, tidak perlu harus ke vihara. Baca paritta, meditasi cukup di rumah bahkan berdana juga ada kotak dana di rumah.

Sengaja disediakan untuk kebiasaan selesai kebaktian memasukan dana di kotak dana. Satu minggu masih semangat, dua minggu masih semangat, minggu berikutnya rasanya tidak perlu dan hari pun berlalu seperti biasanya.

Aku tidak terpaku lagi dengan harus baca paritta pagi dan sore, meditasi sebelum tidur dan memasukan uang ke kotak dana. Hari berikutnya aku menjalani kehidupan yang biasa saja sibuk dengan pekerjaan, nonton televisi, membaca buku, jalan-jalan dan kumpul dengan teman-teman. Asyiknya. inilah keindahan hidup, ketika kita bebas melakukan apa pun sesuai keinginan kita.

Kosong

Malam minggu yang gemerlap suasana kafe membuatku larut dalam obrolan yang tak berkesudahan bersama teman-temanku. Sambil menikmati secangkir kopi cappuccino dan kentang goreng, tertawa terbahak-bahak dan sesekali menitikkan air mata saking terharunya. Di sela-sela obrolan yang mengasyikan bunyi nada whatsApp menyela.

“Ka, apa kabar?”

Sepuluh menit aku membiarkan pesan itu terbengkalai tanpa balasan dan belum dibaca.

“Ka, aku kangen ke vihara,”

Degh! Segera kubuka pesan itu. Anak itu namanya Kristiawan, dan biasa dipanggil Tian. Bocah berumur sepuluh tahun itu sudah tiga bulan tidak nampak di vihara. Tian adalah anak yang rajin dan tidak pernah melewatkan hari minggu untuk ikut Sekolah Minggu. Selalu tersenyum dan antusias untuk bertanya serta selalu penasaran jika jawabannya kurang pas. Rambutnya selalu dipotong cepak, mempunyai mata bulat dengan kedua bola mata berwarna hitam pekat.

Tian mengirimkan foto sebuah gambar bendera buddhis yang ia lukis sendiri serta gambar sebuah vihara. Tak lupa ia sisipkan gambar perempuan dengan nama Viola, itu aku.

“Aku sayang Kak Viola. Terima kasih sudah membimbing Tian selama ini,” itu adalah pesan berikutnya.

Aku terpaku membaca pesan itu, dalam keramaian aku merasa kesepian. Ada sebuah kerinduan yang menyeruak di dalam hati. Ingin memeluk Tian dengan sangat erat. Aku beranjak ke kamar kecil rasanya sudah tidak bisa di tahan karena cuaca malam yang makin dingin. Mataku menatap cermin yang terpampang lebar di toilet. Aku memang egois! Ada yang lebih membutuhkanku daripada sekedar menuruti perasaanku. Inginku melawan hati walau berat kuungkapkan. Kubuka handphone-ku kembali tanpa pikir panjang ku balas pesan Tian.

“Oke Tian, besok ketemu di vihara ya. Kak Viola juga kangen sama Tian nih.”

Tian langsung membalas dengan emoticon senyum dan peluk.

“Aku gak mau ke vihara kalau gak ada kak Viola.”

Aku senyum sendiri, tak berapa lama kemudian ada getaran dasyat yang mengguncang gedung kafe. Semua orang berteriak histeris ketakutan dan berhamburan keluar. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha lari sekencang-kencangnya dan saling bertabrakan dengan yang lain.

Di luar pohon-pohon bergoyang dan suara-suara histeris terdengar. Mataku mencari keberadaan teman-temanku yang entah di mana posisinya. Gedung sebelah kafe bergoyang ke kanan – kiri dan tak lama kemudian ambruk seketika. Aku berdiri dengan kaki gemetaran, mata melotot dan tak mampu berkata apa-apa, dalam hati mengatakan ‘amitofo’. Reno menyeret tubuhku seketika dan tak kurasakan apapun, aku masih dalam keadaan linglung. Gempa! Baru saja terjadi gempa.

“Viola, sadar!” Reno menepuk-nepuk pipiku. Sebuah cahaya menyeret kesadaranku dengan rasa sesak yang membuat napasku terengah-engah. Huah! Aku menjerit. Hampir saja reruntuhan bangunan itu menguburku hidup-hidup jika Reno terlambat untuk menyelematkanku. Di sebelahku hampir semua orang menangis termasuk teman-temanku. Sebagian ada yang terluka, ringan dan parah bahkan ada yang meninggal.

Bukan beberapa lagi tapi puluhan nyawa melayang seketika dalam hitungan detik. Aku tak kuasa menahan tangis, betapa waktu tidak bisa dilawan. Kakiku masih lemas, Reno memapahku, darah mengucur dari lengan Reno, aku masih setengah sadar. Betapa aku tak berdaya, tak bisa apa-apa. Sirine ambulan terus berdatangan, betapa kacaunya kota ini. Kami menuju rumah sakit, suasana yang mencekam menusuk relung hati. Aku duduk di samping Reno yang sedang dibalut perban tangannya.

Tangisan pecah kembali terdengar, mataku samar melihat anak kecil yang sedang ditangisi oleh kedua orangtuanya disampingnya.

“Tian…” teriak suara wanita. Jantungku berdegup kencang mendengar nama itu. Kukedipkan mata ini berulang-ulang sampai penglihatan perlahan jelas. Perlahan kakiku melangkah ke arah mereka. Tangan dan kakiku makin gemetar, keringat dingin kurasakan mencambukku berulang-ulang. Lorong rumah sakit serasa ruangan pembekuan es. Aku mendorong wanita yang memanggil nama Tian. Aku hanya bisa menganga, suaraku habis. Tangan Tian melambai ke arahku. “Kak Viola…” dan hembusan napasnya berakhir.

Mama-ku menarik dan memelukku erat dan serasa dunia ini runtuh seketika, aku jatuh dan tidak sadarkan diri.

………………………….

Angin sepoi menyapu wajahku, trauma masih menggelayuti pikiranku. Aku berdiri diantara puluhan anak yang sedang melakukan kebaktian dengan kondisi bangunan vihara setengah retak. Terkadang ingin lari dan tak peduli namun lagi-lagi nurani berbisik, kalau bukan saat ini kapan lagi?

Wuzz! Sekelebat tanganku berat, sebuah genggaman lembut yang kemudian terasa ringan. Aku tahu itu adalah Tian. Terima kasih Tian, sudah memanggilku kembali dalam kerumunan tawa bocah-bocah polos yang menganggapku keluarga mereka.

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *