Di sebuah kelas, saya terdampar bersama tujuh teman lainnya yang memutuskan mengambil mata kuliah Fenomenologi Agama karena bermaksud mengelak dari mata kuliah wajib lainnya yaitu mata kuliah agama tertentu yang merupakan identitas pengelola yayasan pendidikan tersebut. Kebetulan universitas swasta tempat kami bernaung tidak menyelenggarakan mata kuliah agama yang lengkap seperti universitas-universitas negeri yang memang lebih menawarkan banyak pilihan mata kuliah agama sesuai agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Saya sendiri lebih tertarik dengan sesuatu yang baru ketimbang mengulang pelajaran agama tertentu tersebut selepas tiga tahun penuh saya ikuti selama SMA. Toh lagi-lagi karena sekolah tempat kami bernaung tidak menyelenggarakan mata pelajaran agama lain selain agama yang diampu oleh si penyelenggara institusi pendidikan.
Kembali melayangkan ingatan ke kelas Fenomenologi Agama, kelas yang tak banyak peminat ini dibuka santai tanpa perlu mempelajari salah satu teori agama apa pun. Namun tak lama kemudian berangsur-angsur berubah menjadi sebuah diskusi mencekam bagi beberapa teman ketika ada pertanyaan pamungkas yang dilontarkan oleh dosen pengampu. Pertanyaan pamungkas ini adalah sebuah pertanyaan yang mungkin terasa sangat mudah bagi teman-teman beragama lain, namun menjadi momok bagi pemegang Kartu Tanda Penduduk dengan tulisan Agama Buddha.
“Siapa di sini yang beragama Buddha?” tanya Pak Dosen. “Coba kemukakan pendapat Anda mengenai permasalahan tadi dari sudut pandang agamamu,” lanjut Pak Dosen. Secara refleks saya seperti biasa mengangkat tangan, namun betapa terkejutnya saya ketika saya lihat hanya saya dan kedua teman lainnya yang mengaku beragama Buddha, sementara keempat lainnya diam-diam saja dan cenderung menunduk tanda menghindar.
Sebegitukah takutnya teman-teman saya kala itu, jangankan bangga, sekadar orang tahu pun tidak berkenan. Apakah generasi muda seperti saya masih malu memiliki status Kartu Tanda Penduduk yang bertuliskan Buddha di kolom agamanya?
Ingatan ini terus berkecamuk di pikiran saya, dari bingung bercampur kecewa, namun menjadi pemicu semangat yang menentukan ke mana arah hidup saya berlanjut hingga saat ini. Bersyukur saya masih memiliki ikatan karma untuk bertemu agama Buddha di Sekolah Dasar dan Menengah. Bersyukur saya memiliki kesempatan menjadi pengurus organisasi siswa bidang Agama Buddha. Bersyukur saya memiliki kesempatan berkecimpung aktif di kepengurusan organisasi kemahasiswaan Buddhis dan pemuda vihara. Bersyukur saya memiliki kesempatan mengajar materi Agama Buddha di Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat Republik Indonesia. Bersyukur saya memiliki kesempatan menangani beberapa proyek desain vihara tanpa pamrih.
Hingga kini, bersyukur saya memiliki kesempatan menjadi Dosen Pembimbing untuk para mahasiswa yang berminat mempelajari Agama Buddha sebagai kajian Tugas Akhir mereka. Ya, disinilah kini saya berkecimpung, di dunia pendidikan bidang interior dan arsitektur, di bawah institusi Pendidikan Tinggi berbasis Kristiani, namun sedikit banyak aktivitas yang saya lakukan tak lepas dari keberadaan saya sebagai seorang warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk bertorehkan kata Buddha di kolom agama.
Delapan tahun sudah saya menjalani profesi ini dengan sukacita dan saya masih satu-satunya staf pekerja yang beragama Buddha di Fakultas yang saya geluti. Namun sudah belasan bahkan puluhan mahasiswa yang saya bimbing dan uji untuk topik Tugas Akhir yang berkenaan dengan ajaran Agama Buddha. Fakta yang cukup mengejutkan adalah bukan hanya mahasiswa yang beragama Buddha saja yang tertarik dengan topik ajaran Agama Buddha, banyak umat Kristiani juga. Bahkan pengalaman yang membuat saya takjub adalah ketika membimbing seorang mahasiswa Muslim yang melakukan kajian desain vihara di mana dia dapat menguasai dan paham akan penjelasan konsep ajaran Buddha jauh lebih baik dibanding mahasiswa yang beragama Buddha sekalipun.
Sungguh sebuah pemandangan yang cukup miris bagi saya jika teringat masa-masa kuliah di kelas Fenomenologi Agama. Sebuah pil pahit dan beban bagi saya sebagai pelaku profesi di bidang pendidikan. Akankah hal ini terus berulang hingga puluhan tahun mendatang. Di satu sisi bangga akan begitu seriusnya umat agama lain yang mempelajari ajaran dan sejarah agama Buddha, di sisi lain menyayangkan mereka yang sudah memiliki ikatan agama Buddha tak dapat kesempatan melihat jauh ke dalam akan indahnya ajaran tersebut bahkan kabur dan menghindar.
Saya kembali bersyukur atas hal tersebut, ternyata menjalani profesi di bidang ini, di lingkungan yang sangat minoritas, masih dapat bersentuhan dengan ajaran Buddha. Bahkan lebih bersyukur lagi karena dapat berbagi dan berdiskusi Dharma. Semua berkat ikatan karma saya dengan orangtua saya yang masih mencantumkan kolom agama Buddha di Kartu Tanda Penduduk saya dan kartu identitas mana pun.
Bukan hanya sekadar bangga masih mencantumkannya saja, namun bagi saya ini adalah gerbang yang membuka saya bertemu dengan kesempatan-kesempatan belajar Dharma bahkan berbagi Dharma. Oleh karena itu, saya akan simpan baik-baik Kartu Penduduk saya, karena bagi saya itu bukan sekadar penunjuk identitas belaka, namun sehelai ikatan penuntun Dharma.
*) Artikel ini adalah juara harapan Lomba Menulis Artikel “Bangga Menjadi Umat Buddha”
yang diselenggarakan oleh BuddhaZine
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara