“Kita adalah mesin-mesin survival – kendaraan robot yang diprogram tanpa sadar untuk melestarikan molekul-molekul egoistis yang disebut gen. Inilah kenyataan yang membuat saya takjub.” – Richard Dawkins, The Selfish Gene.
Ciri organisme hidup, yang membedakannya dengan benda mati, adalah keberadaan gen di dalam tubuhnya. Secara sederhana, gen bisa dianggap sebagai serangkaian rumus yang menentukan bentuk dan mekanisme tubuh suatu organisme. Warna kulit juga rambut, panjang lengan dan kaki, jenis kelamin, orientasi seksual, serta seluruh “diri” kita ditentukan oleh rumus tersebut.
Gen yang tak ingin mati
Gen ini memiliki kecenderungan untuk lestari, ia ingin abadi, tak pernah mau mati. Karenanya, ia menuntut kita – wadah yang memuatnya – untuk “hidup seribu tahun lagi”, tak boleh kenal apalagi bersahabat dengan ajal. Tak peduli bagaimana pun caranya, ia memaksa kita untuk berjuang sekuat tenaga demi bertahan hidup, terus-menerus, selama-lamanya.
Faktanya, kemampuan sel-sel kita untuk senantiasa memperbarui diri ada batasnya. Saat sel-sel itu kehabisan daya untuk tetap mengada, tubuh kita beserta seluruh gen di dalamnya terpaksa menyerah pada maut. Oleh sebab itu, gen yang tak sudi mati membujuk kita dengan embel-embel keindahan roman serta kenikmatan seksual agar gemar melakukan aktivitas reproduksi.
Manusia jadi punya hobi paling mengasyikkan: membuat keturunan, melahirkan anak-anak, yang fungsi utamanya tak lain adalah sebagai wadah bagi perpaduan antara gen kita dan gen pasangan kita.
Baca juga: Belajar Berkorban dari Sebuah Sel Bakteri
Dengan demikian, meskipun suatu ketika masa berlaku tubuh kita habis, gen-gen itu tetap hidup di dalam tubuh anak-anak kita. Peristiwa ini berlangsung berulang kali hingga gen-gen itu tetap lestari sejak nyaman berdiam dalam tubuh nenek moyang hingga riang bergembira menikmati kesegaran badan cucu buyut kita.
Rumusan singkat dari proklamasi para gen yakni: we must survive and replicate. Apa pun yang terjadi, kita (gen, dan organisme sebagai konsekuensinya) mesti “mati-matian” berusaha untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Inilah formula dasar yang terprogram dalam tubuh setiap organisme – dari yang paling primitif (virus, bakteri, jamur) hingga yang paling canggih (mamalia, manusia). Rumusan ini berlaku universal, tak bisa diubah, dan bersifat memaksa atas seluruh organisme yang ada di dunia.
Dhamma-lah yang jadi solusi
Sayangnya, perintah wajib tanpa kecuali yang diamanatkan bagi kita untuk selalu menjaga denyut jantung dan sesering mungkin bercinta itu tak disertai panduan yang detil dan clear. Gen membutakan mata dan menulikan telinganya pada kenyataan bahwa (terlalu) sering manusia merasa bingung dan (sangat) kesulitan saat mesti menunaikan ibadah biologisnya.
Bertahan hidup itu berat. Tubuh harus diberi makan, minum, istirahat, buang air, bergerak, dijaga jangan sampai jatuh sakit, dicegah dari jutaan ancaman kecelakaan, dan seterusnya.
Melanjutkan keturunan itu sulit. Kita mesti menemukan lawan jenis yang mau diajak kawin, melakukan hubungan seks yang – meskipun nikmat – umumnya tak cukup hanya sekali dua kali, menjaga kandungan selama sembilan bulan, melahirkan bayi dengan bertaruh nyawa, juga bertahun-tahun merawat anak-anak sampai kelak mereka mampu untuk hidup mandiri dan melanjutkan keturunan mereka sendiri.
Akibat dari repotnya dua misi vital itu, banyak sekali – lebih tepatnya: semua – manusia jatuh dalam penderitaan. Manusia-manusia yang malang jadi kelelahan, tertekan, frustrasi, sampai tak jarang mengalami gangguan jiwa atau bahkan bunuh diri. Itu baru dampak ke dalam diri, belum efek yang mengarah ke luar diri. Manusia saling sikut, saling sikat, saling jegal, saling benci, saling dendam, saling bunuh, dan seterusnya.
Meskipun demikian buruk eksesnya, sayangnya rumus gen (manusia) itu tak bisa diubah. Ya, secara teoritis memang bisa, namun umumnya dianggap tidak etis, menyalahi “kodrat penciptaan”, juga dikutuk oleh berbagai pihak-pihak yang punya otoritas sebagai tindakan yang “tidak manusiawi”.
Baca juga: Anicca, Filosofi Buddhisme yang Dapat Mengubah Cara Anda Melihat Kehidupan
Lantas, jika gen sedemikian egoistisnya, sedemikian kejamnya menyiksa batin manusia, sedangkan mengeditnya pun haram dilakukan, bagaimana kita bisa bebas dari belenggu derita?
Jawabnya: Dhamma.
Buddhadhamma, yang secara historis lahir lebih dari 2.000 tahun yang lampau, telah menyediakan jawaban yang sangat akurat untuk pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang bahkan baru bisa dirumuskan pada abad ke-20 setelah para saintis brilian di garis depan ilmu pengetahuan mulai menemukan eksistensi gen dan mengenali sifat-sifatnya.
Dhamma, dengan ragam istilah India kunonya, mengajak manusia untuk menyadari bahwa hidup kita terbelenggu (dukkha) oleh kehendak gen untuk abadi (penyebab dukkha). Buddhisme juga menegaskan janji bahwa kita bisa mengatasi kehendak gen (lenyapnya dukkha) dengan serangkaian teknik olah tubuh dan mental tertentu (cara melenyapkan dukkha).
Tak perlu panjang lebar menguraikan itu semua, sebab para pembaca situs ini pasti sudah cukup akrab dengan Dhamma. Saya juga tak ingin bertingkah seperti guru sekolah dasar mendikte murid-muridnya dengan untaian postulat yang akan dengan mudahnya terlupakan. Mari kita bersama-sama membuka pintu perenungan dengan beberapa pertanyaan berikut:
1. Mengapa para bhikkhu tidak bekerja mencari uang dan hidup hanya dengan sokongan umat perumah tangga? Bukankah, sebagai manusia, para bhikkhu harus berjuang untuk mempertahankan hidupnya?
2. Mengapa para bhikkhu tidak kawin dan kemudian melahirkan serta merawat anak-anak? Bukankah, sebagai manusia, para bhikkhu harus berusaha untuk melanjutkan keturunan?
3. Mengapa jalan hidup kebhikkhuan nampak sama sekali bertentangan dengan kehendak gen untuk abadi? Apa tujuan mereka saat melancarkan pertempuran melawan rumus dasar organisme ini?
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara