Remaja berseragam putih abu-abu itu berhambur seolah ingin menyergapku, raut muka yang tak sama terlukis di wajah mereka. Aku berhenti berjalan dan berdiri di satu sisi menatap dengan rasa kosong. Hampa serta pandangan kabur, perlahan gelap, seketika gelap hanya ada sebuah cahaya titik yang bersinar, kelopak mataku terbuka, muncullah terang beserta suara-suara bising.
Remaja-remaja yang mengenakan seragam putih abu-abu itu sudah tidak ada. Tawa yang gemuruh, ejekan-ejekan serta teriakan-teriakan itu menghilang. Aku tampak linglung, melirik jam tanganku. Sebuah angkot melaju kencang… wuzzz! Aku menepuk kepalaku. Apa yang kupikirkan? Lalu kulanjutkan berjalan kaki, kebiasaan menuju tempat kerja.
Inilah hidup. Aku tidak tahu apa sebuah rasa ini. Senyum mengembang di bibir, menikmati suasana pagi yang mulai bising. Angin menyapa lembut membelai rambutku, suara-suara renyah mengiringi langkahku. Wajah-wajah yang tak kukenal namun sering kulihat itu mulai menunjukkan keasliannya. Senyum diiringi beban, keringat dari wajah yang mulai layu, raga renta yang berjuang pasrah. Seketika mata ini berkaca, entah untuk mereka atau diriku sendiri, langit mulai biru menunjukkan kegagahannya.
“Selamat pagi,” ucap seorang teman.
“Pagi juga,” jawabku.
Tanganku menyeka keringat yang tanpa sengaja jatuh. Kutenangkan hati, dunia ini luas seluas apa yang ada di pikiranmu. Senyum itu sempurna menarik bibirku tanpa ragu membalasnya dengan lengkungan paling indah. Mengingatkanku akan dirinya yang kucintai untuk pertama dan terakhir. Meski bukan dia, ya di mana dia, sedang apa, dan apa yang dipikirkannya? Segala terka menerjang pikiranku.
Setiap kali membuka mata, sebelum menengok ke arah jendela, sebelum melihat langit pagi yang meneduhkan dan matahari yang menghangatkan, di pelupuk mata ini hanya ada dirinya. Dia yang telah mengunci hati ini untuk tidak tertarik pada pria lain. Jika dia jodohku, kan kuterima semua demi cinta walau harus kutunggu nanti atau esok hari bahkan selamanya.
Pertama kali menatap matanya, aku tak kuasa menahan rasa bahagia. Perasaan yang selama ini belum pernah hinggap bahkan melebihi rasa mendapatkan hadiah terindah dari seorang sahabat.
“Maaf,” katanya, saat dia tanpa sengaja menyentuh jemariku tatkala memberikan sebuah buku. Mata yang meneduhkan dengan senyum yang mempesona. Kuulurkan tanganku dengan reflek.
“Puteri,” kataku yang terus menangkap tatapan matanya.
“Letto,” balasnya dengan senyum sumringah. Waktu seolah berhenti, ditempat ini hanya ada kami berdua bersama angin berdesir yang menyapu lembut wajah kami. Aku baru memejamkan mata ini saat merasakan sesuatu yang hangat menempel pada telapak tangan kananku. Perlahan tangan Letto terangkat dan mendarat di atas buku, seolah buku itu mau jatuh. Mataku melebar saat tersadar tangan itu telah menjauh dan sekarang tampak salah tingkah. Aku menarik napas, berusaha untuk tetap tenang.
“Ada yang bisa saya bantu lagi?” kata Letto sambil menatapku tanpa berkedip. Dalam hitungan detik, wajahku bersemu merah. Senyuman tampak tersungging dibibirku kemudian menggelengkan kepala. Letto tersenyum, membalikkan badan kemudian melangkah pergi. Walaupun setengah mati aku ingin menahannya namun aku enggan tidak tahu alasannya.
Aku menatap taman depan perpustakaan yang tampak di kejauhan, lalu menghela napas. Semenjak bertemu dengan Letto, aku tersenyum lebih sering daripada yang kulakukan setiap hari. Dan lebih menyukai buku-buku ketimbang ngerumpi dan bergosip bersama teman-teman. Aku melirik jam tangan, tak lama lagi Letto akan keluar dari perpustakaan. Berkat Letto, aku tahu banyak hal. Hari-hari yang kuhabiskan diperpustakaan bersamanya benar-benar magis. Aku belajar namun tidak sadar bahwa aku sedang belajar. Yang aku tahu, aku merasa bahagia saat melakukannya.
Hubungan kami kian hari makin dekat, kami seolah saling membutuhkan. Aku baru saja mengembalikan buku novel ke rak ketika menyadari ada langkah yang mendekatiku. Senyumku mengembang, dan terkejut saat melihat orang yang sedang kupikirkan sudah berdiri dihadapanku.
“Hai,” sapanya.
Aku melirik Letto yang sedang menatapku, lalu mengalihkan pandangan.
“Ada apa?” tanyaku sambil sibuk berpikir. Letto terlihat begitu riang, apapun yang membuatnya riang itu bukan urusanku, yang harus kulakukan sekarang adalah mengatakan sesuatu padanya. Letto harus tahu perasaanku, entah ini suka atau cinta, aku ingin mengatakannya sekarang.
“Kamu kenapa Put?”
“Aku…”
“Mau ngomong apa? Aku duluan saja ya, coba tebak?” tanya Letto. Selama beberapa saat, aku menatap Letto dengan senyum lemah.
“Hmm, pasti kamu banyak pilihan dalam hidupmu sekarang ya?”
“Yup! Aku berhasil mendapatkan beasiswa itu, kamu tahu, masa depanku akan seperti matahari yang terbit setiap hari, cerah dan selalu bersinar,” balas Letto dengan girang. Aku menarik napas dalam-dalam berusaha menguasai segala emosi antara kecewa, senang dan terharu. Saat melihat tatapan mata itu tergenang air mata mencoba menyelami isi hati anak lelaki itu.
“Letto, selamat ya. Walaupun nanti kita jauh, jangan pernah melupakan aku ya,”
Letto meraih kepalaku, lalu merengkuhnya. “Cengeng,” ucapnya. Semakin menahan air mata, semakin deras air mata berderai. Seumur hidup ini pertama kali aku menangis sesakit ini. Selama sepuluh menit aku menangisi hatiku, hari ini aku harus terbiasa dengan hidup yang tidak menarik. Kembali ke kehidupan lama yang sepi.
“Sampai kapan pun, kamu masih punya aku,” hibur Letto. Aku mengangkat kepala dengan mata basah. Aku kehilangan kata-kata. Aku merasakan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutku menghilang.
Sejak saat itu, duniaku berubah. Sampai sekarang Letto tetap abadi dalam memori, waktu telah mengubah semuanya. Sepuluh tahun lalu, berbeda dengan sepuluh tahun sekarang. Berbeda jarak, waktu dan cara hidup membuat kami asing. Perasaan ini masih sama seperti sepuluh tahun lalu namun Letto tidak akan pernah tahu, karena bagi seorang pria cinta hanyalah masalah waktu dan tempat yang tepat. Saya hanya butuh Letto.
“Puteri, mau hujan, pulang yuk!” ajak Rita teman sekerjaku. Aku menyadari mata ini mulai terasa perih. Rintik hujan mulai turun dari langit yang kelabu. Aku menunggu hujan turun lebih deras supaya bisa menenggelamkanku dalam suaranya.
Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.
Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara