“Bu Fenty, sudah denger kabar terbaru belum? Itu, istrinya Pak Sabar sekarang balik ke rumah orangtuanya,” kata Ibu Dani, si pemilik warung. “Pak Sabar kepergok istrinya, lagi jalan bareng wanita selingkuhannya,” Bu Dani tersenyum puas karena baru saja menyampaikan gosip terbaru.
“Bu, beli merica bubuk sebungkus,” kataku memotong pembicaraan hangat dua ibu rumpi itu. “Sebentar, Bu Ria,” kata ibu pemilik warung. Tampaknya mereka lagi tanggung, pergunjingan mereka terhadap tetangga sedang panas-panasnya, tak boleh terputus, sekalipun oleh calon pembeli.
“Bu Dani, maaf saya pulang dulu. Lupa matiin kompor,” kataku. Itu hanya alasanku, aku tak akan kembali ke sana, tapi belanja ke warung lain. Aku tak tau, mengapa ada banyak wanita yang suka sekali bergunjing. Tetangga terdekat mereka, kalau ketemu di arisan seperti sahabat baik. Ngobrol asyik sambil ketawa-ketiwi, eh … pas ketemu ibu lain, teman sendiri malah digosipin.
Aku malas kumpul dengan ibu-ibu seperti itu. Entah saat sekolah dulu, saat bekerja, termasuk dengan teman di lingkup rumah ibadah. Martin, suamiku sepemikiran denganku. “Jangan ngerumpiin orang lain,” suamiku mengingatkan. “Iya Pa. Mending ngurus anak atau masak saja di rumah,” kataku. Suamiku tersenyum dan menunjukkan jempolnya.
Banyak banget manusia toksik. Suka mencampuri urusan orang lain. Bukan hanya ibu pemilik warung tadi, anggota grup WA teman SMA, sampai teman di lingkungan tempat ibadah. Sudah ada grup resmi, tapi kemudian mereka buat lagi grup baru, khusus buat bergosip. Edan bener!
Aku dapat fakta. Ibu pemilik warung yang sibuk mengurusi rumah tangga orang lain, ternyata putrinya yang baru beberapa bulan menikah sekarang kembali ke rumah orangtuanya. Tak jelas sudah bercerai atau pisah begitu saja. Kini ia hanya bantu jaga warung saja.
Cinta, teman grup WA SMA lain lagi. Ia bersahabat dengan Lesti. Nggak ada hujan, nggak ada angin, tiba-tiba chat denganku dan cerita aib Lesti. Duh … mengapa menceritakan aib sahabat sendiri? Padahal Lesti sering bantu Cinta untuk urusan ekonomi. Nggak heran sih kalau warganet Indonesia terpilih sebagai netizen yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara!
Uh … mengapa begitu banyak hal-hal negatif bermunculan di sekitar kami akhir-akhir ini. Saat pandemi Covid-19, kios tempat suami berjualan terpaksa tidak dilanjutkan. Pemasukan tak mampu menutup biaya sewa, biaya listrik, iuran sampah dan keamanan, termasuk untuk jatah preman.
Suami terpaksa banting setir jadi pengemudi ojol motor. “Nggak perlu gengsi, karena anak istri perlu makan,” kata suamiku. Sebenarnya jauh di lubuk hatinya, aku yakin ada rasa malu. Tapi demi istri dan anak ia lakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Sebelum suami jadi pengemudi ojol, kami sudah coba menghubungi beberapa teman dari lingkungan rumah ibadah. Siapa tau ada yang butuh karyawan. Apa daya, semua menjawab tak ada lowongan. Kami tak pernah menduga begitu dinginnya respon mereka. Bahkan ketika aku membuat camilan dan menawarkan kepada mereka, tak ada yang membeli! Padahal suamiku termasuk umat yang aktif.
Di saat seperti ini aku harus berterima kasih kepada mendiang Mamaku. Dulu aku diminta membantu beliau di dapur, jadi aku punya kemampuan memasak. Ini yang coba kujadikan peluang menambah penghasilan keluarga. Iseng aku menawarkan nasi bungkus murah, hanya Rp6.000 per bungkus. Nasi, telur dadar setengah, orak-arik tempe, dan mi goreng. Aku juga membuat beberapa variasi menu murah meriah, lalu aku tawarkan via medsos. Aku bersyukur, meski tak banyak, ada saja orderan yang masuk.
Kejadian tak terduga justru dialami suamiku. Saat duduk termenung di pangkalan ojol, seseorang menepuk bahunya. “Pak Martin ‘kan? Suaminya Maria Magdalena?” tanya orang itu. “Iya, betul,” jawab suamiku. Orang itu kaget mengetahui suamiku kini jadi pengemudi ojol. Ia teman sekolahku.
Singkat cerita, setelah ngobrol ia menawarkan lowongan sebagai sopir. “Maaf Pak Martin, sebenarnya saya agak kurang enak hati menawarkan lowongan ini,” begitu suami menceritakan ucapan Pak Samuel.
Suami minta pendapatku. “Mama sih terserah Papa saja. Diterima boleh, tapi kalau Papa belum siap untuk jadi sopir, ya tolak saja,” jawabku. Suamiku tidak gengsi, ia terima tawaran itu. Maka suamiku jadi sopir Pak Samuel. Tidak banyak yang harus suamiku kerjakan. Anak beliau sekolah online, istrinya jarang keluar rumah, orderan yang harus diantar pun jarang.
Suamiku yakin, itu adalah cara halus Pak Samuel untuk membantu keuangan kami saja. Mungkin Pak Samuel agak sungkan kalau hanya memberikan uang dan ia juga khawatir suamiku akan menolaknya. Jadi, suamiku lebih banyak jadi teman ngobrol Pak Samuel di tokonya. Teman ngobrol yang digaji.
Ketika pandemi Covid-19 mulai agak mereda, Pak Samuel meminta suamiku jadi pemain piano setiap hari Minggu, menggantikan pemain piano mereka yang meninggal.
Kali ini pun suamiku minta persetujuanku. Aku tak bisa memberikan jawaban. “Papa putuskan saja, Mama selalu mendukung Papa,” hanya itu jawabanku. Aku tahu itu pilihan dilematis. Hari Minggu saatnya kami beribadah, suamiku justru harus bekerja. Bukan itu saja, aku memikirkan bagaimana tanggapan orang-orang. Seorang yang aktif di tempat ibadah, lalu jadi jarang ikut ibadah karena bertugas di rumah ibadah lain.
Benar saja, yang aku khawatirkan terjadi. Ketika ibadah offline sudah diperbolehkan, kami hadir untuk pertama kali setelah sekian lama ibadah online. Sikap teman-teman jadi berubah. Kami jadi merasa tak betah berlama-lama di sana. Begitu selesai, basa-basi sejenak, kami langsung pulang.
Kami sudah terbiasa dan nyaman dengan masa pandemi. Lebih nyaman beribadah online. Lebih praktis, hemat waktu, dan hemat biaya. Selain itu, suamiku merasa kecewa atas sikap para pengurus. Semua yang diucapkan, jadi berbanding terbalik saat dipraktikkan. “Cuma banyak teori, praktiknya nol besar,” kata suamiku.
Aku yakin ada satu hal lagi yang membuat suamiku bersikukuh tak mau lagi rutin ke rumah ibadah. Ada rasa malu kepadaku. Saat sebelum menikah, kami berdua beda keyakinan. Untungnya kami tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, semua keyakinan sama-sama mengajarkan kebaikan. Hanya saja karena di negara ini pernikahan bisa disahkan jika satu keyakinan. Jadi salah satu dari kami harus mengalah.
Akhirnya aku, Maria Magdalena, memutuskan “ikut” keyakinan suami saat pencatatan pernikahan. Seiring berjalannya waktu, aku jadi ikut aktif karena menemani buah hati kami ikut sekolah Minggu.
Semua berubah. Zaman dulu, soal agama sangat sensitif. Rasanya tak ada yang berani bilang kalau ia tak punya agama. Suka atau tidak suka, harus pilih satu agama untuk dicatatkan di KTP. Sekarang dengan santainya orang-orang berani bilang ia agnostik, bahkan dengan beraninya bilang ia seorang ateis.
Kami berdua sering mendiskusikan hal ini. Iya, bagi kami, “pakaian” tidaklah terlalu penting. Apa gunanya berpenampilan agamis, tapi kelakuannya seperti iblis? Apa gunanya berdebat dengan mengeluarkan banyak ayat tapi tidak menjadi manusia yang bermanfaat?
Minggu pagi ini kami bangun pagi-pagi sekali. Kami dapat pesanan 200 nasi bungkus dari orang baik hati. Kami diminta untuk mengantarkan pesanan ke rumahnya, ongkos Grab Car pulang pergi ditanggung pemesan. Wow! Nasi bungkus akan dibagikan kepada orang-orang kurang mampu di jalanan.
Aku, suami, dan Fanny, buah hati kami sudah di dalam mobil. Perjalanan ini akan menyusuri jalan-jalan yang dulunya sering kami lewati. Pusat perbelanjaan, deretan pertokoan, beberapa rumah ibadah, dan traffic light, semua tampak masih seperti dulu, tak banyak yang berubah.
Karena keterbatasan ekonomi, kami jarang ke luar rumah. Tak takutkah dicap jelek, antisosial? Tak mau bergaul? Terserah saja. Netizen atau orang-orang memang bebas berkomentar.
Seperti yang sekarang ramai dibicarakan tentang childfree. Mereka mengecam pasangan yang menikah tapi tak ingin punya anak. Segala ayat digunakan untuk mengecam. Luar biasa aneh! Menikah atau tidak, punya anak atau tidak, itu hak pribadi setiap orang. Ingin punya anak atau tidak, itu tidak merugikan orang lain.
Mengapa justru orang-orang yang punya banyak anak tapi tak terurus, tak bisa memberikan fasilitas yang layak (anak kurang makan, pendidikan, …), menghasilkan generasi yang jadi beban negara, justru tidak dikecam? Anda peduli dengan pendapat orang-orang semacam itu? I don’t care!!!
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara